Kata kunci: Stres perlu diterima dengan sukacita, kenali dan terima batas kesanggupan kita memikul stres, beban berat dipecah menjadi kepingan kecil, rayakan setiap sukses kecil, menikmati relasi, hobi dan menjadi berkat yang efektif bagi banyak orang.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama dengan kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Manajemen Stres" bagian pertama. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Pak Sindu, kalau kita bicara tentang stres itu sebetulnya sudah sangat akrab dalam keseharian kita, bahkan anak kecil pun sudah bicara, "Aduh, stres, Ma, banyak belajar", menyerap dari orangtua dan orang-orang sekitarnya. Tapi apa sebetulnya stres itu ?
SK: Jadi memang stres itu serapan dari kata bahasa Inggris. Stres itu artinya tekanan, kondisi stres berarti kondisi yang mengalami ketertekanan. Kalau menurut Bu Yosie sendiri dalam percakapan masyarakat, "Aku stres, aduh aku stres", menurut Bu Yosie, kira-kira itu stres pada umumnya positif atau negatif ?
Y: Negatif, Pak. Stres itu identik dengan masalah, beban, penderitaan hidup.
SK: Betul, itulah yang sebenarnya kita mengerti, tetapi sesungguhnya kebenarannya, Bu Yosie, stres itu merupakan sebuah curva normal. Kalau kita ingat di masa sekolah dulu, SMP terlebih SMA kita mengenal yang namanya grafik dari grafik X, Y, nanti ada yang namanya curva, akhirnya menjadi sebuah garis lurus, garis yang melengkung, meliuk-liuk, itu curva. Dalam hal ini stres itu lebih tepat digambarkan sebagai curva normal atau dalam bahasa lainnya itu curva bel karena bentuknya seperti bel, artinya begini dimana garis horizontal atau garis yang mendatar adalah tentang tingkat stres, level stres. Dengan perkataan lain, ketika angkanya bertambah semakin kanan berarti semakin stres. Stresnya semakin tinggi, sementara garis Y atau garis yang vertikal atau yang tegak, itu adalah tingkat produktifitas. Jadi ketika angka 1 ke angka 2 ke angka3 ke angka 5, berarti bertambah produktif. Kembali kepada stres sebagai curva normal. Misalnya stresnya di level 1, produktifitasnya misalnya juga di angka 1. Tapi ketika stresnya bertambah di level 2, produktifitasnya di level 2, curva normal. Stresnya ditambah ke angka 5, ternyata produktifitasnya di angka 5. Itulah sebenarnya yang disebut stres positif atau dalam bahasa teknis eustress. Eu dari bahasa Yunani yang akhirnya diadopsi dalam bahasa Inggris, euthanasia, euphoria, ada nama di Alkitab Eunike, artinya baik. Jadi ini realitas, sebagaimana misalnya kira-kira kalau kita sekolah sama sekali tidak diberi PR apa yang terjadi ?
Y: Malas, Pak, ogah-ogahan.
SK: Malas kita tidak belajar apa-apa, tapi ketika sekolah diberi PR, mengalami stres tidak ? Aduh diberi PR, dikerjakan, mengeluh, tapi apa hasilnya dalam penguasaan materi pelajaran itu ?
Y: Semakin menguasai.
SK: Semakin menguasai, semakin produktif. Ditambah lagi ada ulangan minggu depannya. "Aduh, stres, harus belajar, menghafal, latihan soal", tapi apa akibatnya ? Semakin menguasai, semakin produktif. Sama kita di pekerjaan, karena ada pekerjaan, stres, tugas kantor, tugas di pabrik, tapi karena kita kerja, kita mendapatkan uang untuk kita bisa makan, untuk kehidupan kita, keluarga kita. Diberi tugas lebih banyak lagi, kita semakin belajar, semakin menguasai bidang itu malah kita bisa naik level, naik karier. Ataupun dari wirausahawan kecil, kita mendapatkan bisnis yang lebih banyak akhirnya kita menjadi pengusaha level menengah, kita semakin produktif, jadi ini stres yang baik, yang kita butuhkan. Malah kalau orang tidak punya stres, lebih cepat meninggal. Kita saksikan, saya mendapat kesaksian dari mantan guru-guru saya masa dulu di Sekolah Menengah, cerita waktu sekian puluh tahun kemudian. "Aduh, Sindu, saya mau pensiun ini tapi saya mau belajar, saya tidak mau menganggur setelah pensiun. Saya lihat senior saya yang pensiun lebih cepat meninggal. Malah sakit-sakitan, meninggal". Tapi ketika setelah pensiun, dia malah sengaja cuci baju sendiri, menyapu, mengepel dulu dilakukan istri, sekarang dia yang melakukan, dia cari aktifitas berkebun, aktifitas keluar rumah, sekalipun tidak menghasilkan uang, tapi karena ada stres tubuh bergerak, pikiran bergerak, dinamis, sama seperti yang lalu, tanpa berlebihan tentunya, dia hidup dalam jangka waktu masih lebih panjang daripada teman senior yang meninggal muda oleh karena tidak punya stres sama sekali.
Y: Oh, menarik sekali ya, Pak. Jadi kita tidak boleh berprasangka buruk dengan stres dulu karena sebetulnya stres dalam level tertentu sangat efektif untuk kita.
SK: Dan dibutuhkan, dalam hal ini, Bu Yosie, ada level optimum tadi seperti curva normal, curva bel, melandai, naik naik naik sampai titik tertentu titik yang tertinggi. Kita misalnya stresnya di level 20, itu batas optimum, batas maksimal kita, ketika kita mendapat stres di level 20 itulah produktifitas kita yang paling tinggi. Diberi sekian PR malah kita semakin menguasai, diberi sekian tugas malah semakin banyak karya positif, karya unggul yang kita hasilkan. Itu titik optimum tapi jangan lupa ada curva bel, semakin lama semakin naik sampai titik tertentu, tertinggi ditambah lagi, tambah turun tambah turun. Seperti itu, satunya naik, satunya menurun, jadi ketika level 20 stresnya, produktifitas di angka 20. Tapi ketika di level 21 produktifitas di level 19. Ketika stresnya di level 25 ternyata produktifitasnya di angka 15. Di level 30 ternyata produktifitas di level 5, tambah menurun, tambah menurun diberi banyak aduh tidak mampu, akhirnya mulai menunda-nunda, tidak mengerjakan tugas, diberi tugas kantor mulai sakit-sakitan, sakit lambung, migraine, tidak masuk kerja banyak pekerjaan terbengkalai. Itu namanya distres, diskualifikasi, disintegrasi, diskonek, sesuatu yang negatif. Inilah yang perlu kita hindari karena itu stres yang negatif, stres yang buruk malah bisa mengganggu kesejahteraan tubuh, kesehatan jiwa kita, kesehatan relasi sosial kita atau bahkan kesehatan spiritual kita dengan Tuhan.
Y: Ini juga menambah wawasan saya Pak, saya kira pertama stres itu buruk semua ternyata ada yang baik. Berarti pentingnya kita mengenali batas optimum kita sebagai pribadi.
SK: Betul. Kita bersyukur tahun 1967 ada sepasang psikiater yang bernama Thomas Holmes dan Richard Rahe yang melakukan penelitian empiris atau penelitian lapangan terhadap lebih dari 5000 pasien medis. Singkat kata mereka menghasilkan yang disebut Skala Stres Holmes dan Rahe, kalau kita mau googling kita bisa menemukan. Ketik saja skala stres Holmes dan Rahe, nanti akan muncul sebuah daftar paling tidak ada daftar minimal ada 36 peristiwa dalam kehidupan kita dengan angka skore stresnya, dimana angka tertinggi adalah untuk peristiwa kematian suami atau kematian istri. Skala stresnya 100. Kemudian ada lagi tentang perkawinan, skala stresnya 50. Ada lagi yang nomor 24 ketika orang mengalami perpindahan tempat tinggal, dulu dari rumah ini ke tempat yang lain atau ke kota lain maka angka stresnya 20. Dan yang paling rendah, berlibur, ternyata berlibur juga ada stresnya, tapi skornya yang paling rendah yaitu 13. Holmes dan Rahe menemukan kalau total stresnya dari beberapa peristiwa hidup kita kurang dari 150, maka kemungkinan kita untuk mengalami sakit fisik risikonya kecil. Tapi kalau total skor stres kita dari beberapa jenis peristiwa yang kita alami dalam minggu itu antara 150 sampai 299 maka kita punya potensi sedang untuk mengalami sakit fisik, tetapi nilai total skor stresnya kita 300 ke atas maka kita mengalami risiko yang lebih besar untuk mengalami sakit fisik.
Y: Ini bicara tentang kaitan mental dan fisik kita, ya Pak. Betapa mental kita memengaruhi fisik kita.
SK: Tidak heran ada muncul gangguan psikosomatis, mungkin sebagian dari kita sudah akrab dengan psikosomatis. Dokter yang akan bicara, "Kamu tidak sakit, ayo sedang mikir apa, ada stres apa, ayo cerita cerita". Atau ini "papa mamanya keluar dulu, biar anaknya cerita kepada saya". Akhirnya dia cerita, "Iya aku tertekan, dok, bapa ibuku ingin aku putus dari pacarku, padahal aku telanjur sayang, bagaimana?" Akhirnya konseling di ruang praktek dokter itu. Itulah psikosomatis, yang sakit tubuhnya tapi karena tekanan jiwa, karena distres, bukan eustress. Stres yang melampaui batas optimumnya sehingga menyerang fisik maka tidak heran muncul kata, "Mens sana in corpore sano", apa itu Bu Yosie ?
Y: Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
SK: Amin. Ada keterbalikannya, dua arah, jiwa yang sakit akhirnya tubuh sakit tapi sebenarnya sama. Tubuh yang sakit membuat jiwa sakit. Kalau kita pola makannya buruk, tidak ada olah raga sama sekali, tidurnya tidak beraturan bahkan kurang tidur, tidak heran, tubuh kita sakit akhirnya jiwa kita tertekan karena tubuhnya tidak bisa apa-apa, malah kesakitan. Dalam hal ini ada buku yang bagus sekali, terjemahan dalam bahasa Indonesia berjudul "Emosi-Emosi yang Mematikan". Si Penulis ini, Dr. Don Colbert menjelaskan di bagian awal buku itu, menarik, bahwa hasil survei membuktikan sebagian besar kedatangan pertama kita sebagai seorang pasien di ruang dokter, sebagian besar karena emosi yang tertekan. Angkanya lebih dari 60%, itu bukan karena semata-mata keracunan makanan, kaki kita terjepit di pintu, bukan, tapi karena distres yang kita pikul berhari-hari, berminggu-minggu, akibatnya emosi yang negatif itu merusak atau mengganggu tubuh kita di salah satu organ. Itu lebih dari 60%.
Y: Kalau begitu betapa pentingnya kita melakukan "manajemen stres" ini. Bagaimana cara mengubah stres menjadi fresh?
SK: Tepat, bagaimana supaya dari stres kita menjadi segar? Bagaimana kita tetap pada level eustress, tidak sampai distres yang terus-menerus. Yang pertama pecahlah beban besar menjadi kepingan-kepingan kecil. Misalnya kita di pekerjaan ditarget oleh atasan kita dengan tugas yang sangat besar dan berat sekali. Kita bisa distres, tidak usah dikerjakan, ditunda minggu depan, cari yang ringan-ringan dulu. Kita akhirnya tidak melakukan apa-apa, karena lumpuh mengalami distres. Dalam hal ini lakukanlah seperti yang dikatakan Tuhan Yesus di dalam Matius 6:34, Tuhan Yesus berkata, "Semua kita jangan kuatir akan hari esok, karena hari esok punya kesusahannya sendiri, kesusahan sehari cukuplah untuk sehari". Jadi kita pakai hikmatnya Tuhan Yesus ini, mari kita kapling-kapling kekhawatiran kita, stres kita, sebatas yang kita sanggup untuk 1 hari itu, atau 1 jam itu. Jadi kecil-kecil, kecil lha aku masih bisa lakukan. Lakukan lagi, kecil yang kedua. Kapling yang kedua selesaikan, aku bisa selesaikan, kerjakan lagi kapling kecil yang ketiga bisa diselesaikan. Sedikit-sedikit lama-lama menjadi bukit, solusi kecil solusi kecil, solusi kecil, lama-lama solusi besar kita nikmati dari masalah, tantangan, beban tugas yang kita hadapi. Mari bagi-bagikan tugas, target hari ini apa, target besok apa, target lusa apa, jangan semua target dikerjakan sekaligus, itu mustahil. Penyelesaian yang kecil, lama-lama akan memunculkan bukti penyelesaian yang tuntas dan tercapai.
Y: Jadi dengan kata lain, sangat penting planning ya, Pak. Membuat target harian, target mingguan, tentunya disesuaikan dengan kita. Yang berikutnya, Pak.
SK: Betul, tepat. Yang kedua adalah rayakan setiap sukses kecil. Seperti kata Bu Yosie tadi kita perlu planning, kita lakukan sesuai kemampuan kita, kapasitas kita, stres optimum kita seberapa kita bisa menanggung. Betul, tapi ketika hari kelima mulai lelah. Hari pertama berhasil, hari kedua berhasil, hari keempat berhasil, tapi sekarang kelelahan, habis energinya. Inilah perlu namanya perayaan. Target-target kecil yang sudah kita lakukan, buatlah juga perayaan-perayaan kecil.
Y: Misalnya apa, Pak ?
SK: Misalnya dari hobi kita, hobinya Bu Yosie apa ?
Y: Jalan-jalan.
SK: Ok, nanti aku setelah selesaikan tugas ini, aku akan jalan-jalan. Jalan-jalan itu sebagai hadiah. Berakit-rakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Dalam hal ini, itu strategi. Ada hikmat dalam kitab Amsal 18:14a, "Orang yang bersemangat dapat menanggung penderitaannya". Semangat, semangat, semangatnya bukan hanya dikatakan pada diri sendiri, tapi kita bisa dalam bentuk perayaan-perayaan kecil. Misalnya saya menikmati hobi bersepeda pagi, saya mengalami distres untuk misalnya dalam membuat naskah khotbah, aduh berat untuk memulainya. Tantangan yang besar, akhirnya, "Sindu, cukup 1 jam, apapun pikiranmu setelah itu kamu bisa bersepeda pagi". Setelah 1 jam mengetik, tapi ‘kan menghasilkan sesuatu, bersepeda. Atau setelah 1 jam, enak ya, tambah lagi 1 jam, mengetik lagi. Enak ya, tambah lagi 1 jam. Jangan berpikir 5 jam ! Waduh 5 jam berat, akhirnya kita mencari alasan ambil makanan kecil, buka kulkas, tanya anggota keluarga kita, bantu pasangan kita, kesannya baik ternyata pelarian.
Y: Akhirnya tugasnya tidak selesai-selesai.
SK: Satu jam saja, satu jam saja, bisa.
Y: Ternyata kita mampu ya.
SK: Itulah strategi, taktik, pecah-pecah tapi juga ada perayaan-perayaan kecil yang bisa kita lakukan.
Y: Menarik, ya Pak. Disesuaikan dengan kesenangan kita, supaya kita ‘excited’ dan tidak perlu menunggu hadiah orang lain, karena kalau ditunggu tidak dapat-dapat. Tidak aneh ya secara psikologis. Memberi apresiasi buat diri sendiri. Berikutnya, Pak, apa lagi yang bisa kita lakukan untuk mengelola stres kita ?
SK: Yang ketiga, kenalilah dan terimalah batas kesanggupan. Sebagaimana yang dibahas di bagian awal, Bu Yosie, masing-masing kita ada batas optimum untuk menanggung beban stres. Jadi kenali seberapa kita sanggup, jangan melihat orang lain. Kalau melihat orang lain, muncul wah, rumput orang lain lebih hijau ya, rumah orang lain lebih indah, prestasi orang lain lebih gemerlap, selalu begitu, setop. Memang firman Tuhan juga mengatakan, "Janganlah membanding-bandingkan diri dengan orang lain". Apa yang Tuhan taruh, potensi, kesempatan, batasan yang Tuhan izinkan, terimalah dan rayakan, artinya itu batasan kita, jalani sebagaimana saya teringat satu kisah dari buku "Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif", Stephen Covey datang kepada bawahannya mau memberi tugas tambahan, namun apa yang dilakukan oleh orang tersebut, "Pak Covey, coba lihat di tembok saya, ini ada papan, saya sudah tuliskan hari ini targetnya apa, besok apa, lusa apa dan sampai satu bulan kemudian. Menurut Pak Covey dari tugas ini mana yang perlu saya hapus dan saya terima tugas baru Bapak". Wah, terkejut Stephen Covey, wuih hebat juga bawahannya. Setiap hari ada targetnya sampai 1 bulan kemudian, dia melihat betapa produktifnya dan bertanggungjawabnya bawahan ini sampai akhirnya ia berkata, "Sudah tidak usah, aku akan beri tugas ini kepada orang lain". Jadi seorang ini membuat perencanaan, membuat target yang sesuai dengan kemampuannya secara tertata sehingga dengan cara komunikasi seperti itu, atasannya menjadi segan untuk menambah tugas baru. Karena kalau menambah tugas baru ini berarti harus mengubah target yang sudah dibuat 1 bulan kemudian. Ini cara bentuk komunikasi asertif, jadi kita perlu berani berkata, "Tidak", "Say no" maaf ya aku ingin membantu kamu, aku ingin, cuma maaf aku seminggu ini sedang padat, bagaimana kalau minggu depan, aku akan membantu kamu, aku sudah menyediakan setengah hari untuk menolong kamu, tapi untuk minggu ini maaf. Kita harus berani mengatakan seperti itu, ini juga sebuah teladan dari Alkitab, sebagaimana kalau kita melihat dari Kitab Keluaran 18. Kisah tentang apa, Bu Yosie ?
Y: Imam Yitro.
SK: Betul, imam Yitro, jadi imam Yitro itu datang menemui menantunya Musa dan dalam visitasinya melihat mengapa dari pagi sampai malam, Musa duduk di tempat yang sama dan di hadapan dia mengantri ribuan orang Israel untuk berkonsultasi, untuk konseling dimana Musa menjadi konselor atau mediator dari setiap masalah dari orang-orang ini. Imam Yitro memberi saran, Sudahlah begini saja, kamu buatlah gugus tugas, para gembala, konselor atau mediator dan sebarlah itu di tiap 12 suku Israel, dimana tiap 10, tiap 50, tiap 100, tiap 500, tiap 1000 ada secara berjenjang. Yang mediator di level 10 tidak bisa, naik ke level 50, yang 50 tidak bisa, naik ke 100 dan seterusnya. Dengan cara itu supaya kamu bisa mengelola tugasmu sesuai dengan kesanggupanmu. Dan puji Tuhan, Musa seorang yang senang diajar dan sepenuh hati menindaklanjuti rekomendasi mertuanya ini, maka apa yang terjadi? Musa pun bisa kembali hidup seimbang, bisa ketemu istri dan anaknya dengan baik, menikmati istirahatnya juga, hobinya, dia pun makin efektif melaksanakan kursi kepemimpinan untuk berfokus pada hal-hal yang strategis dan ribuan orang Israel pun juga puas, sama-sama puas, terlayani karena ada outline 24 jam untuk penggembalaan yang mudah diakses ketika dibutuhkan. Jadi kita bisa mengambil hikmat disini, Bu Yosie, bahwa bukanlah tindakan yang egois kalau kita mengenali, menerima dan mengkomunikasikan batas kesanggupan kita kepada orang lain, malah dengan cara demikian justru kita akan makin efektif, menjadi berkat bagi banyak orang.
Y: Menarik, Pak. Baik, Pak, sebelum kita melanjutkan ke bagian kedua, kesimpulan apa yang bisa Pak Sindu berikan, mungkin dua tiga kalimat, Pak.
SK: Stres itu sesuatu yang perlu kita terima dengan sukacita karena dia membuat kita bikin hidup lebih hidup, namun kita juga perlu mengenali batas kesanggupan kita untuk memikul stres, masing-masing berbeda. Kenalilah batas itu dan ketika batas itu terlampaui, itu akan menjadi distres dan mari kita kelola bagaimana distres itu tidak terus-menerus menjadi distres, tapi kita ubah menjadi eutress dengan cara yang pertama, pecahlah beban besar menjadi kepingan-kepingan kecil, yang kedua rayakan setiap sukses kecil, yang ketiga kenali dan terima batas kesanggupan, maka dengan cara begitu kita akan merayakan kehidupan stres menjadi bagian yang sehat dalam hidup kita dan sekaligus kita menikmati Tuhan, menikmati relasi, menikmati hobi, menjadi berkat yang efektif bagi banyak orang.
Y: Menjadi pribadi yang efektif, ya Pak.
SK: Amin.
Y: Terima kasih banyak Pak Sindu.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M. Phil. dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Manajemen Stres" bagian yang pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara Telaga yang akan datang.