Kuasa Kesepakatan Pasangan Suami Istri

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T571A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Abstrak: 
Rumah tangga yang bahagia adalah rumah tangga yang mengalami kesatuan misteri Kristus dan jemaat lewat kesepakatan suami dan istri, tujuan Allah atas pernikahan mencari kebahagiaan bersama lewat menghadirkan Kristus, mau belajar dan bertumbuh terus-menerus, kesepakatan pasangan suami istri juga akan melahirkan anak-anak yang bahagia.
Audio
MP3: 
Play Audio: 


Ringkasan

Mengapa penting kesepakatan pasangan suami isteri?

Kitab Kejadian 2:24 dan dikutip dalam surat Efesus 5:31 menuliskan: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging." Allah mendesain seorang pria meninggalkan kedua orangtuanya dan dengan istrinya membentuk satu unit keluarga baru. "Keduanya menjadi satu daging" menunjukkan bahwa Allah mendesain pernikahan bersifat monogami di mana pasangan suami dan istri membentuk kesatuan yang tak terpisahkan sehingga ketika suami mengasihi istrinya, pada saat yang sama dia mengasihi seorang yang menjadi bagian dari dirinya sendiri.

Jadi secara hakiki sejak penciptaan manusia, kesepakatan pasangan suami istri merupakan kehendak dan rancangan Allah. Ketika tak sejalan dengan kehendak Allah, berarti kita sedang berseberangan dengan Allah dan bahkan melawan Allah. Dan dari sana justru akan lahir ketidaktertiban dan kekacauan.

Pertama, tanpa kesepakatan, berarti suami dan isteri tidak saling memenuhi kebutuhan emosi satu sama lain. Padahal setiap kita diciptakan Allah dengan kebutuhan dikasihi, diterima, dihargai dan dihormati keberadaannya. Dalam pernikahan, Allah menghendaki suami istri saling memenuhi kebutuhan tersebut lewat kesatuan dan kesepakatan. Ketika suami dan istri membiasakan menjalani hidup sendiri-sendiri dan tanpa kesepakatan, maka keduanya tanpa sadar sedang "berselingkuh" dengan sesuatu dan seseorang.

Bisa "berselingkuh" dan mengalami keterikatan secara tidak sehat dengan hal-hal yang terlihat positif seperti aneka hobi, kegiatan, klub dan kesibukan baik kesibukan pekerjaan, pelayanan, kegiatan sosial maupun hal-hal yang terlihat negatif seperti: rokok, narkoba, pornografi.

Bisa juga berselingkuh dalam arti sesungguhnya dengan pria intim lain atau wanita intim lain yang dimulai dengan perselingkuhan emosional.

Semakin jalan sendiri-sendiri, maka akan semakin menjauh dan semakin terbuka arah ke perselingkuhan dan perceraian.

Kedua, tanpa kesepakatan pasutri maka ibaratnya bahtera rumah tangga memiliki dua nakhoda dengan arah yang saling berbeda. Bahtera tidak akan sampai tujuan. Anak-anak pun mengalami kebingungan dan bertumbuh menjadi pribadi yang tidak sehat jiwanya.

Apa yang terjadi bila terjadi kesepakatan pasangan suami istri?

  1. Mencapai kebahagiaan pernikahan sebagaimana desain Allah. Mengalami misteri kesatuan Kristus dan jemaat. (Efesus 5:32)
  2. Anak-anak tumbuh dalam atmosfir keluarga yang sehat: merasa aman, dikasihi, terarah, bertujuan dan menjadi sosok yang matang.

Kesepakatan pasutri apa saja?

Di antaranya berkenaan tujuan hidup pernikahan dan keluarga, pengelolaan penghasilan suami istri, model pengasuhan anak, pengelolaan rumah tangga.

Bagaimana membangun kesepakatan pasangan suami istri?

  1. Bersihkan dari distorsi masa lalu: luka emosional, keyakinan-keyakinan salah, kebiasaan buruk.
  2. Belajar dan bertumbuh terus-menerus membangun pola pikir serta kebiasaan benar tentang kesepakatan pasutri: merendahkan diri; memuji-mengapresiasi-berterimakasih. Lewat mentor, Firman Tuhan, bacaan, seminar, kamp, termasuk berbagai topik di www.telaga.org. , baik secara pribadi maupun berpasangan.

Bagaimana jika seorang diri yang mau bertumbuh sedangkan pasangan tidak bersedia saat ini?

Tetaplah menjadi sosok pribadi yang bertumbuh dan mengerjakan bagian kita. Memperluas lingkar pengaruh. Pernikahan adalah sebuah sistem. Ketika salah satu bertumbuh dan berubah, maka akan memengaruhi lainnya. Ingat, sikap dan respons diri yang benar lahir dari pendewasaan diri dan memengaruhi relasi termasuk dengan pasangan.

Batasan: Bertoleransilah untuk hal-hal yang tidak esensial, tidak membahayakan dan tidak melanggar moralitas. Mengakomodasi kelemahan dan keterbatasan satu sama lain.