Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Ketika Tuhan Mengambil Pasangan Hidup Kita". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND : Pak Paul, dalam mengarungi bahtera rumah tangga kita selalu diingatkan untuk setia pada pasangan hingga maut memisahkan kita. Jadi sebetulnya setiap pasangan sudah menyadari bahwa suatu hari nanti mereka akan berpisah, namun mengapa proses berpisah ini bisa terasa sangat mengagetkan dan menyakitkan?
PG : Pak Necholas, salah satu ketakutan terbesar kita adalah kematian orang yang kita kasihi dan di antara semua orang yang kita kasihi mungkin kematian pasangan hidup adalah yang terberat, tidak bisa tidak kematiannya membuat kita bersedih dan seringkali membuat kita pincang, walau ada banyak penyebab kematian ternyata hanya ada dua waktu, atau ‘timing’ kematian, yaitu secara tiba-tiba dan secara perlahan-lahan. Mari kita melihat dampak keduanya pada yang ditinggal dan apa yang dapat dilakukan untuk menghadapinya. Yang pertama, kematian secara tiba-tiba, pada umumnya reaksi awal kita adalah terkejut dan tidak percaya bahkan didalam kasus kematian yang didahului sakit selama beberapa bulan, kita masih tetap dapat merasa terkejut dan tidak percaya. Kita berkata bahwa baru beberapa waktu yang lalu dia begitu sehat dan tidak ada gejala apa-apa tapi sekarang ia telah tiada. Walau kita menyaksikan kematiannya dan sudah menguburnya, kita masih sulit percaya bahwa dia sudah pergi. Kematian secara tiba-tiba tidak memberikan kepada kita kesempatan untuk berduka sebelum kematian bahkan didalam kasus kematian yang hanya didahului sakit selama beberapa bulan, kita tidak memunyai waktu yang cukup untuk berduka sebab biasanya kita terlalu sibuk mengurus kesehatannya dan mendampinginya secara intensif. Itu sebab dalam kasus-kasus seperti ini kita mulai menjalani proses berduka setelah kematian. Singkat kata, setelah kematiannya barulah dapat kita memersiapkan diri untuk hidup sendiri.
ND : Seseorang yang mengalami kematian pasangan secara mendadak ini, menjalani proses berduka setelah peristiwa tersebut. Bagaimana dengan orang yang sudah menyadari bahwa kesehatan pasangannya semakin menurun ?
PG : Oke, mari sekarang kita melihat kematian yang secara perlahan-lahan ya. Pada umumnya reaksi awal kita sewaktu mendengar diagnosis yang diberikan kepada orang yang kita kasihi adalah terkejut tetapi tetap optimis, kita berharap perawatan yang diberikan akan dapat menyembuhkannya dan kita percaya bahwa Tuhan pasti mengabulkan doa kita yang meminta kesembuhannya. Namun sebenarnya di lubuk hati terdalam, kita tetap merasa cemas disamping berdoa dan berharap, kita pun merasa takut kehilangan dia. Didalam perjalanannya sewaktu kita melihat bahwa pasangan tidak membaik tetapi malah melemah kita mulai menerima kemungkinan bahwa dia akan pergi meninggalkan kita. Untuk membesarkan hatinya biasanya kita memilih untuk tidak memerlihatkan kesedihan apalagi ketakutan. Sedapatnya kita menghiburnya dan membicarakan perawatan yang masih tersedia. Dalam kasus kematian yang terjadi secara perlahan-lahan kita memulai proses berduka sebelum kematian. Kita mulai membayangkan kematiannya dan perasaan kita ditinggal olehnya, proses berduka akan terus berlanjut setelah kematian, bisa beberapa bulan, bisa beberapa tahun sampai kita siap untuk berkata, "Selamat tinggal" kepadanya.
ND : Didalam menjalani proses berduka ini, baik sebelum maupun sesudah kematian, hal-hal apa saja yang turut berandil di dalamnya ?
PG : Ada beberapa faktor yang memengaruhi proses berduka, Pak Necholas. Pertama, adalah kualitas hubungan kita dengan pasangan. Pada umumnya hubungan yang sehat dan intim akan membuat kita merasakan kehilangan yang besar dan panjang. Kepergiannya meninggalkan lubang yang besar didalam hidup kita, lubang yang tidak pernah bisa diisi oleh apa pun atau siapa pun. Hubungan yang tidak sehat dan tidak intim akan bisa membuat kita lega karena kita sekarang sudah lepas dari relasi yang buruk dan sekarang dapat menutup lembar kelam didalam hidup kita serta memulai yang baru. Tapi sebaliknya hubungan yang tidak baik juga dapat menimbulkan pelbagai perasaan yang terus berkecamuk setelah kematian pasangan seperti rasa marah dan rasa bersalah. Kita marah karena diperlakukan tidak baik olehnya dan kita merasa bersalah sebab kita pun memerlakukannya secara tidak baik. Disini kita dapat melihat perbedaannya, dalam relasi yang sehat dan baik, kedukaan dan pemulihan berjalan perlahan tapi lurus sedang dalam relasi yang tidak sehat dan tidak baik kedukaan dan pemulihan berjalan singkat tapi meliuk-liuk dan penuh kebingungan serta tidak tuntas.
ND : Apakah ini berarti bahwa pasangan dengan relasi buruk sebetulnya tidak dapat dikatakan pulih karena pemulihannya tidak tuntas?
PG : Bisa dikatakan begitu sebab sampai kapan pun kalau dia mengingat pernikahannya dengan pasangannya yang tidak sehat, perasaan-perasaan itu akan muncul, akan kembali berkecamuk, marahnya, rasa bersalahnya, kekecewaannya, lukanya, jadi sampai kapan pun kalau dia mengingat, semua perasaan ini akan kembali mengemuka. Sedangkan dalam pernikahan yang sehat dan yang intim kita memang akan berat kehilangan pasangan kita tapi perasaan kita itu lebih homogen, lebih satu, lebih sewarna yaitu kesedihan karena kehilangan orang yang kita kasihi dan sekarang kita merasakan betapa susahnya hidup sendiri. Tapi hanya itu, tidak banyak, kalau pun ada hanya di awal saja, perasaan bersalah atau kecewa atau marah, itu hanya sementara saja. sebab kita manusia yang normal, kadang kita melakukan kesalahan dan kita akan ingat itu, tapi memang bedanya dengan pernikahan yang tidak sehat dan tidak baik biasanya setelah kematian pasangan perasaan-perasaan itu turut mengiringi kita sampai waktu yang panjang.
ND : Selain dari relasi dengan pasangan, apa faktor yang lain yang turut berandil dalam proses kita berduka ini?
PG : Yang berikut adalah kesiapan kita untuk hidup sendiri. Apabila kita sangat bergantung pada pasangan, tidak bisa tidak kepergiannya menyisakan pekerjaan rumah yang berat, kita harus belajar dan menguasai begitu banyak hal baru yang tadinya dikerjakan oleh pasangan. Jika sebelumnya kita tidak harus menguras tenaga untuk berpikir dan memutuskan sesuatu, sekarang kita harus melakukannya. Sudah tentu semua ini akan memakan waktu yang tidak singkat tapi itu tidak berarti kita tidak akan pernah dapat melakukannya, kita pasti dapat asal kita mau belajar dan tidak ragu untuk bertanya. Kecenderungan kita adalah meminta anak atau kerabat untuk melakukannya, alias menjadi pengganti pasangan. Tidak apa bila memang kita tidak sanggup, tapi sedapatnya kita tidak membebani anak atau kerabat karena itu dapat mengganggu relasi kita dengan mereka dan mengganggu keluarga mereka sendiri.
ND : Dengan demikian sebaiknya setiap pasangan yang keduanya masih sehat ini dan menyadari kemungkinan perpisahan, mereka belajar untuk tidak bergantung 100% kepada pasangan?
PG : Itu adalah sesuatu yang memang kita mesti terima bahwa kita akan berpisah dan akan hidup sendiri, maka ada baiknya kita mulai memersiapkan diri, tidak sepenuhnya bergantung pada pasangan, belajarlah hal-hal yang dilakukan oleh pasangan, ketahuilah apa yang dilakukannya sehingga bila saatnya tiba kita harus berpisah, kita sudah lebih bisa hidup sendiri.
ND : Adakah peran dari keluarga besar, orangtua, kakak adik atau bahkan anak dalam menolong kita melewati masa-masa yang sulit ?
PG : Ada, makin kuat dukungan keluarga dan kerabat, makin sanggup kita melalui masa kedukaan. Pada umumnya hal terberat yang mesti dihadapi adalah kesendirian, jadi kehadiran mereka sangat berarti untuk meyakinkan kita bahwa mereka tetap mengasihi kita dan mengisi kekosongan yang kita rasakan.
ND : Jadi disini keluarga yang lebih senang hidup bersama atau berdekatan memunyai kelebihan karena mengurangi kesendirian ini?
PG : Tepat, makin dekat hubungan kita dengan kerabat, makin membantu kita dalam melewati masa kedukaan sebab mereka akan memberikan perhatian yang kita butuhkan, mereka akan mengulurkan tangan sewaktu kita memerlukan pertolongan mereka. Jadi kalau kita dikelilingi oleh orang-orang yang dekat dengan kita dan mengasihi kita, kita akan lebih dapat melewati kedukaan dengan lebih baik. Tetapi kalau kita tidak memunyai kerabat atau kalau pun punya hubungan kita tidak begitu baik atau kita punya anak tapi hubungan kita dengan anak tidak juga terlalu baik, pada umumnya kita akan merasakan kesendirian itu pada waktu menjalani kedukaan.
ND : Lalu bagaimana dengan kehidupan rohani kita, bagaimana kedekatan kita dengan Tuhan dapat membantu kita melewati kesulitan ini?
PG : Apabila kita berjalan erat dengan Tuhan semasa sebelum kepergian pasangan dan terbiasa memandang hidup dari lensa Tuhan, kita akan lebih tegar menerima penetapan Tuhan ini, yakni membawa pulang pasangan ke rumah-Nya yang kekal. Kita akan mengamini ucapan Tuhan kita Yesus, "Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati" (Yoh.11:25). Kalau kita memang hidup akrab dengan Tuhan, kita akan lebih bisa menghadapi kedukaan sebab kita bukan saja melihat kematian, kita juga akan melihat kebangkitan bahwa pasangan kita dan kita nanti akan sama-sama dibangkitkan, hidup bersama di dalam Rumah Tuhan sampai selama-lamanya.
ND : Pak Paul, dalam hal kematian pasangan secara tiba-tiba karena ini kejadian yang tentunya tidak terduga dan siapa saja bisa mengalaminya, saya pernah mendengar sebuah ide tentang bukan asuransi kesehatan melainkan asuransi emosional. Kita dengan sengaja merekam pesan-pesan kita untuk orang-orang yang kita kasihi dan kita berharap mereka bisa mendengar atau menonton setelah kita meninggal. Bagaimana menurut Pak Paul ide ini?
PG : Saya kira ini ide yang baik, apalagi bila anak-anak masih kecil. Kalau anak-anak sudah besar, kita sudah memunyai begitu banyak memori dengan mereka, mungkin mereka tidak perlu lagi melihat kita atau video kita atau apa, tapi bila anak-anak masih kecil dan mereka tidak begitu mengenal kita dan dalam rencana Tuhan kita harus pergi, tidak ada salahnya dan bahkan baik buat kita merekam apa yang ingin kita sampaikan kepada mereka, supaya mereka memunyai ingatan tentang kita. Bisa berkenalan dengan kita lewat video yang kita tinggalkan kepada mereka.
ND : Sebaliknya dalam kasus kematian yang terjadi secara perlahan-lahan, ada kalanya seseorang yang sudah sedemikian lama dia merawat pasangannya yang sakit dan dia merasa sudah sangat siap untuk berpisah bahkan, mohon maaf, dia sudah lelah dengan kondisi sakitnya pasangan, apakah boleh dia diam-diam berharap pasangannya ini lebih cepat dipanggil Tuhan?
PG : Boleh dalam pengertian dia adalah manusia terbatas, kita semua manusia terbatas jika kita harus merawat seseorang bahkan sampai bertahun-tahun, kehidupan kita berhenti karena kita harus merawat pasangan kita yang sakit, saya kira wajar jika tebersit keinginan kalau saja ini bisa berakhir. Sudah tentu berakhir disini berarti bisa kesembuhan atau kematiannya. Jadi ijinkanlah diri merasakan itu, bermimpikan itu, itu bukan sebuah kesalahan atau dosa, itu sebuah cetusan rasa letih. Kita bukannya menginginkan pasangan kita meninggal dunia, bukan, kita hanya rasanya tidak sanggup lagi menjalani hidup yang berat ini karena harus merawatnya. Jadi bagi saya ungkapan, cetusan, pikiran seperti itu manusiawi. Tidak ada yang perlu disesalkan atau disalahkan, kita bukanlah orang yang jahat sewaktu berpikir seperti itu. Kita manusia yang terbatas kadang jadi akhirnya lelah, rasanya tidak sanggup lagi melanjutkan hidup seperti ini.
ND : Jadi apa yang kita harapkan itu boleh dikatakan wajar atau normal?
PG : Ya, sudah tentu kita tidak berdoa kepada Tuhan, meminta Tuhan mencabut nyawanya. Tidak ya. Kita sebetulnya sayang, kita tidak mau kehilangan dia, tapi kita juga mau jujur berkata apa adanya kepada Tuhan, bahwa kita lelah sekali. Apakah normal atau wajar bagi kita waktu melihat pasangan menderita, berharap atau berdoa supaya Tuhan mengambilnya ? Itu juga wajar, mengapa sekali lagi bukan karena kita tega atau kejam, bukan, tapi justru kita tidak tega melihat dia menderita seperti itu, dalam kesengsaraannya kita berharap Tuhan memanggilnya supaya dia tidak lagi harus menderita. Sekali lagi kalau sampai ada orang yang berdoa karena tidak tahan melihat pasangannya menderita sebegitu beratnya, meminta Tuhan untuk mengambilnya, itu adalah doa yang wajar. Tapi kita tahu bahwa yang menentukan pada akhirnya adalah Tuhan. Kalau sampai ia meninggal dunia itu bukan karena doa kita, sama juga seperti yang tadi saya katakan, jikalau karena kita terlalu letih, karena telah bertahun-tahun merawat pasangan yang sakit akhirnya kita berharap Tuhan memanggil dia, misalkan tidak lama setelah itu benar-benar Tuhan memanggil dia, itu adalah karena kehendak Tuhan, bukan karena doa kita orang itu tiba-tiba meninggal dunia. Jadi kita tetap berserah kita tahu Tuhanlah yang menentukan umur kita di dunia ini.
ND : Dari pengalaman Pak Paul biasanya berapa lama waktu yang diperlukan hingga seseorang dapat melewati proses berduka ini, baik yang kematian secara mendadak maupun kematian secara perlahan-lahan, kapan bisa dikatakan proses berduka itu normal dan kapan bisa disebut berkepanjangan sehingga orang ini memerlukan pertolongan.
PG : Secara umum diperlukan waktu antara setahun hingga tiga tahun, Pak Necholas, sudah tentu masa ini sangat nanti dipengaruhi pula oleh, tadi kita sudah singgung kualitas relasinya, semasa masih hidup dengan pasangan juga dukungan kerabat dan anak. Jikalau kita mendapatkan dukungan yang baik dari kerabat, dari anak, kita akan bisa melewati masa kedukaan ini dengan lebih cepat. Atau misalkan kehidupan kita itu bertambah buruk setelah pasangan kita meninggal. Bertambah buruknya macam-macam, bisa jadi karena usaha kita tidak berjalan baik atau apa, sudah tentu hal-hal yang tidak menyenangkan kalau terjadi pada hidup kita setelah pasangan kita meninggal, itu bisa memperburuk kedukaan kita, karena kita makin susah tapi kita makin merasa sendirian. Sebelumnya kita bisa bicara, tapi sekarang tidak bisa bicara dengan dia lagi, kita harus tanggung semua sendiri. Secara umum saya berkata antara setahun sampai tiga tahun, tapi memang tergantung banyak faktor yang telah kita bahas yang dapat memengaruhinya. Menjawab pertanyaan kapankah bisa disebut berkepanjangan sehingga orang ini memerlukan pertolongan, kapankah bisa dikatakan normal? Ini memang bergantung pada yang tadi kita bicarakan, kalau setelah misalnya setahun, dua tahun, tiga tahun, orang itu terus berkubang didalam kedukaan, kita memang harus, tidak bisa tidak, memerhatikan apakah ini wajar atau tidak wajar. Kadang-kadang memang kenapa tidak bisa melepaskan kedukaan ini atau melepaskan orang yang kita kasihi ini karena ada hal-hal yang lain, yang akhirnya ikut campur didalam proses kedukaan dan menyulitkan. Sebagai contoh, misalnya ada seseorang sewaktu menikah, berdosa, ia tidak setia kepada pasangannya, tapi ia tidak pernah memberitahukan pasangannya, setelah pasangannya meninggal, ia teringat dia pernah berbuat dosa, ia mengkhianati pasangannya tapi tidak pernah memberitahukan pasangannya, ini bisa menimbulkan rasa bersalah yang berkepanjangan. Akhirnya walaupun sesungguhnya dia sudah oke, dia bisa melanjutkan hidup tapi terus mengalami depresi, murung terus sebab dirundung oleh rasa bersalah itu, ia tidak bisa lagi berdamai, mengakui perbuatannya kepada pasangannya. Itu sebagai salah satu contoh, hal-hal tertentu yang bisa akhirnya memerpanjang masa berduka dan jika itu terjadi tentu sebaiknya orang itu mencoba untuk mendapatkan pertolongan. Kita sebagai pihak keluarga atau kerabat bisa memerhatikan beberapa tanda-tanda ini, jika hanya di awal misalnya ayah kita atau ibu kita tidak mengurus kebersihannya, cara berpakaiannya, misalnya tidak mandi atau apa, tidak makan teratur, di awal-awal itu kita masih akan toleransi, itu adalah bagian yang wajar dari kedukaan, atau sering menangis itu juga bagian yang wajar, tetapi misalkan terus berlanjut, sudah setahun makin hari makin kurus, tidak mau makan, tidak nafsu makan, tidak pernah lagi mau ketemu teman-teman, maunya dirumah saja, besar kemungkinan di saat itu kedukaan sudah menyeberang menjadi depresi. Menjadi sebuah gangguan, jadi bukan lagi hal yang alamiah, kehilangan kita berduka, sudah menjadi hal yang tidak alamiah, alias menjadi sebuah gangguan. Di saat itu kita memang perlu membawa ayah atau ibu kita ke seorang dokter, psikiater atau seorang ahli jiwa, atau seorang konselor atau hamba Tuhan.
ND : Setelah berduka ini seandainya ada pasangan yang ingin memulai kehidupan dengan pasangan yang baru dan dia ingin membina rumah tangga baru, kira-kira biasanya berapa lama waktu yang dirasa cukup untuk memulai hal ini dan apa saja yang perlu diperhatikan?
PG : Dia perlu melakukan 2 hal, pertama memang dia perlu perlahan-lahan melepaskan diri dari hubungannya dengan pasangannya yang telah meninggal, misalkan ada hal-hal yang menyakitkan hatinya, yang dia perlu maafkan, kekecewaannya, ketakutannya dan sebagainya, itu perlu dia bereskan. Kedua, misalkan dia bertemu dengan orang lain, dia perlu perlahan-lahan membangun relasi itu. Kecenderungan orang yang mau menikah untuk kedua kalinya adalah beranggapan, "Ah saya sudah pernah menikah, saya tahu apa itu menikah, tidak perlu lagi menjalin relasi yang panjang untuk saling mengenal". Ternyata ini keliru karena orang yang kedua ini adalah orang yang berbeda, jadi kita perlu menyesuaikan diri. Misalkan secara garis besarnya saja, secara umum, berapa lama waktu yang diperlukan untuk melewati kedua fase itu, paling sedikit saya kira sekitar dua tahun.
ND : Bagaimana dengan ada orang yang setelah pasangannya meninggal dia ingin selalu ada memori tentang pasangannya, jadi kamar pasangannya tidak pernah diubah susunan perabotnya, atau ada barang-barang milik almarhum ini yang tidak dibuang, semua seperti semula apakah hal ini dapat diperkenankan atau bagaimana menanggapi orang seperti ini ?
PG : Menurut saya ini hal yang wajar, dia memang masih ingin terus mengingat suaminya atau istrinya, barang-barang itu merupakan perlambangan keberadaan pasangannya dalam hidupnya. Dia tidak mau melupakan, dia tidak bisa melupakan, dia mau tetap hidup bersama dengan pasangannya meskipun pasangan sudah tidak ada di dunia ini tapi ingatan itu masih ada, jadi dia menyimpan barang-barang tersebut. Menurut saya itu tidak apa-apa.
ND : Baik, Pak Paul, terima kasih untuk perbincangan kita pada hari ini. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Ketika Tuhan Mengambil Pasangan Hidup Kita". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.