Kata kunci: Kendalikan anak dengan fleksibel, buka pintu dialog dan dengarkan pendapatnya, meskipun anak berada diluar kendali orang tua tapi tidak pernah berada diluar kendali Tuhan, gabungkan kasih dan ketegasan, penerimaan dan pendisiplinan
TELAGA 2023
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada. Kita bertemu kembali dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Necholas David, akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi, seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Kendorkan Kendali, Tetapi Jangan Lepaskan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
ND: Pak Paul, dalam kesempatan ini kita ingin berbicara tentang bagaimana kita membesarkan anak. Menurut Pak Paul, bagaimana sikap kita ketika anak sudah bertambah besar dan kita sebagai orang tua yang sudah menemani sekian lama, bagaimana seharusnya sikap kita?
PG: Membesarkan anak mengharuskan kita untuk bersikap fleksibel, misalkan tidak seharusnya kita memerlakukan semua anak sama, sebab pada kenyataannya mereka tidak sama. Ada anak yang langsung takut mendengar teguran, tapi ada pula anak yang tidak takut. Itu sebab kita mesti fleksibel, selain dari itu kita pun mesti fleksibel dalam pengertian, tidak seharusnya kita menerapkan sistim kendali yang sama pada setiap fase kehidupannya. Pada kesempatan ini secara khusus kita akan menyoroti fase dewasa awal, yaitu fase usia antara 18 hingga 30 tahun. Inilah fase dimana anak-anak mulai berkuliah, ada yang tinggal di rumah. Ada yang tidak dan bahkan ada pula yang sudah bekerja.
ND: Dalam fase ini tentunya orang tua sudah melewati 17 tahun, cukup lama membesarkan anak dan sekarang mungkin anak-anak juga berada dalam tempat yang jauh dari orang tua, begitu ya Pak Paul?
PG: Betul, jadi pada saat ini anak-anak memang sudah tidak lagi kecil, sudah memasuki usia dewasa awal. Nah, kebanyakan memang akan tidak lagi di rumah, meskipun ada yang di rumah, tapi tidak bisa tidak, kehidupan mereka sekarang sudah jauh berbeda, mereka sudah lebih mandiri.
ND: Tapi tetap ya, Pak Paul, sebagai orang tua kita harus memantau atau memerhatikan mereka.
PG: Betul, Pak Necholas, tidak berarti karena mereka sekarang sudah memasuki bangku kuliah atau bahkan ada yang sudah mulai bekerja, kita lepas tangan sama sekali, tidak tahu apa yang terjadi dalam hidup mereka. Kita tetap mesti memunyai relasi dengan mereka. Sedikit banyak memunyai gambaran apa yang tengah terjadi dalam diri atau hidup mereka dan sedapat mungkin juga kita memberikan bimbingan atau masukan bila memang kita melihat mereka perlu untuk mendengar masukan kita.
ND: Sebagai orang tua yang punya anak di usia tersebut, apa saja Pak Paul, yang perlu kita perhatikan?
PG: Pertama yang perlu kita ketahui adalah makin ketat kita mengendalikan anak di fase-fase sebelumnya, makin besar kecenderungan anak akan memberontak di fase dewasa awal. Jadi kalau kita membatasi anak sedemikian rupa sehingga anak itu tidak memunyai kebebasan untuk memilih. Kita mengatur semuanya, kita mengambilkan keputusan untuknya dan pada waktu keinginannya dan keinginan kita bertabrakan, kita akan memaksakan kehendak kita. Nah, bila inilah pola kita mengendalikan anak di fase-fase sebelumnya, besar kemungkinan di fase dewasa awal ini, anak akan memberontak. Namun yang perlu kita sadari adalah ini, sesungguhnya belum tentu anak memberontak terhadap nilai-nilai kehidupan yang telah kita tanamkan dan anut, misalkan kita menanamkan nilai kejujuran, kerja keras, kita menekankan nilai pentingnya berbakti kepada Tuhan, pentingnya mengasihi sesama. Belum tentu dia sebetulnya memberontak terhadap nilai-nilai itu. Biasanya pemberontakan anak lebih dikarenakan dia tidak nyaman dengan cara kita mengendalikannya, yaitu searah dan memaksakan serta kurang memberi ruang berdialog. Sekali lagi inilah yang dilawannya, inilah yang coba dipatahkannya. Belum tentu nilai-nilai moral atau agamawi yang kita anut.
ND: Jadi kalau bukan dalam hal nilai, anak itu sebetulnya memberontak dalam bentuk apa, Pak Paul?
PG: Ada beberapa misalnya, anak yang menolak untuk menekuni bidang tertentu yang selama ini kita arahkan atau sarankan. Misalkan kita tekankan bahwa, "Kamu ini memunyai kemampuan yang baik untuk menjadi seorang insinyur, seorang ahli teknik". Di usia dewasa awal kita terkejut sewaktu dia berkata, "Saya tidak mau, saya akan memilih bidang yang lain". Atau dia selalu berkata dia akan tetap tinggal di rumah. Dia tidak akan kuliah jauh tapi begitu dia lulus SMA, dia putuskan dia mau pergi jauh, tidak mau lagi tinggal bukan saja serumah tapi sekota dengan kita. Sebetulnya ini bentuk-bentuk perilaku yang digunakan anak untuk memberontak tapi bukan terhadap nilai-nilai kehidupan atau moral kita, melainkan terhadap cara-cara kita yang memang kita selama ini gunakan. Atau misalnya yang lain lagi, ada pula anak yang berhenti pergi beribadah seperti yang selama ini dilakukannya. Jadi biasanya setiap minggu dia pergi ke gereja, tapi sekarang dia tidak lagi pergi ke gereja. Nah sudah tentu kita kaget, takut, tapi sebetulnya belum tentu dia memberontak terhadap iman yang kita miliki, atau ada anak yang bergaul bahkan berpacaran dengan teman yang tidak kita setujui. Nah, belum tentu yang tidak kita setujui ini adalah orang yang memang tidak baik, tidak bermoral atau apa, belum tentu, belum tentu. Tapi memang misalkan secara ekonomi tidak setara dengan kita, atau secara penampilan tidak seperti yang orang tua kita idealkan, tapi sekali lagi belum tentu ya, pemberontakan anak memilih pacarnya ini merupakan pemberontakannya terhadap nilai- nilai yang kita miliki. Sekali lagi inilah caranya dia untuk mendobrak, melepaskan diri dari kendali kita, bukan terhadap nilai-nilai kehidupan kita.
ND: Seolah-olah anak itu ingin menantang orang tua atau dia ingin mengatakan, "Saya juga bisa punya kebebasan sendiri untuk mengatur hidup saya".
PG: Betul sekali sebab di masa yang lampau, Pak Necholas, mereka merasa dikungkung, tidak diberi ruang untuk menjadi dirinya sendiri. Jadi itu penting, kita mulai mengendorkan kendali, mulai dari anak remaja, bukannya waktu sudah kuliah, bukan! Waktu masa remaja, perlahan-lahan kita kendorkan, kita buka pintu dialog, kita dengarkan keluhannya, benar-benar ya dengarkan pendapatnya, hargai pemikirannya, mulai percayakan kepadanya untuk mengambil keputusan meskipun tidak selalu sesuai dengan keinginan atau selera kita. Jadi kita hanya batasi ruang gerak anak, hanya untuk hal-hal yang penting, seperti misalnya relasinya dengan Tuhan, respeknya terhadap kesucian, hormat terhadap sesama dan berhikmat dalam bersikap dan bertindak, jangan gegabah, jangan ambil keputusan berdasarkan apa yang dirasakannya saat ini. Jadi, inilah hal-hal yang kita tetap mau tekankan dan ajarkan kepada anak kita.
ND: Bisa dikatakan orang tua seharusnya hanya mengendalikan anak itu dalam prinsip-prinsip. Jadi dalam praktiknya kalau dia ada salah-salah sedikit, ya sudahlah kita jangan sampai terlalu mengatur, sampai terlalu detil. Apa begitu maksudnya, Pak Paul?
PG: Betul sekali. Saya baru-baru ini melihat sebuah video yang dilakukan oleh seorang pendeta bernama Andy Stanley dan dia mewawancarai ayahnya yang baru saja minggu lalu dipanggil pulang oleh Tuhan, Pdt. Charles Stanley. Dia menghargai papanya dalam wawancara itu, berkata begini, "Papa ini memberikan kepada saya kebebasan dan sekaligus meletakkan tanggungjawab pada saya untuk menanggung konsekwensi perbuatan saya". Dia bercerita bahwa dia pernah mendapatkan tilang tiket karena mengebut dalam berkendaraan, sudah tentu waktu dia pulang memberitahukan ayahnya, dia takut bahwa ayahnya akan bukan saja memarahinya, tapi melarangnya untuk misalnya mengendarai mobil. Tapi yang dilakukan ayahnya adalah setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Andy, ayahnya Pdt. Charles Stanley hanya berkata, "Ya sudah, kalau begitu kamu hadapi semuanya". Maksudnya apa? "Ya tiket itu, tilang itu kamu bayar". Dia berkata, dia kaget sudah tentu, ayahnya tidak memarahi, tidak mengambil haknya untuk menyetir kendaraan dan juga jengkel karena dia harus berusaha mengumpulkan uang, membayar dendanya, tapi dia berkata, itu mengajarkan dia untuk mengambil keputusan dengan bijak. Hal-hal seperti ini yang kita harus lebih kedepankan dalam mendidik anak terutama di usia remaja dan dewasa awal.
ND: Kalau dari kasusnya Pdt. Andy Stanley, justru setelah dia besar mengikuti jejak ayahnya sebagai hamba Tuhan juga, dia keluar dari ‘First Baptist Church’, kalau tidak salah, kemudian mendirikan gerejanya sendiri dan terbukti juga bahwa gerejanya bisa berkembang dengan sangat baik.
PG: Betul sekali memang dia juga bercerita waktu dia harus keluar dari gereja yang digembalakan oleh ayahnya, setelah 10 tahun melayani disana, itu merupakan pergumulan yang berat sekali, tapi tanpa disadari oleh Pdt. Charles Stanley, apa yang ditanamkannya pada diri anaknya sejak dia muda, berbuah. Bahwa anak ini menjadi anak yang bertanggungjawab, tidak mengambil keputusan dengan gegabah. Hanya mengambil keputusan kalau tahu ini penting dan baik dan benar kata Pak Necholas tadi, dia merintis sebuah gereja yang baru dan Tuhan memberkati gereja itu dan beliau juga sekarang menjadi seorang hamba Tuhan yang dipakai Tuhan secara luas di Amerika Serikat ini.
ND: Baik, dalam poin yang pertama tadi, Pak Paul sudah sampaikan, bahwa sebagai orang tua jangan sampai menjadi terlalu ketat dalam mengatur anak, kemudian apa lagi Pak Paul, hal yang perlu diperhatikan oleh orang tua yang memunyai anak usia 18 sampai 30 tahun ini?
PG: Kedua yang perlu kita ketahui adalah fase dewasa terutama seusai kuliah adalah masa dimana anak berkesempatan untuk menjadi dirinya sendiri, tanpa harus takut kehilangan restu dan dukungan orang tua. Bila di masa remaja dan di masa perkuliahan anak masih bergantung pada orang tua, maka di masa dewasa anak tidak lagi bergantung dan dapat berdikari. Jadi di saat ini anak baru dapat menyatakan sikapnya, apa adanya, tanpa rasa takut terhadap orang tua. Itu sebab bila kita bereaksi keras dan mengeluarkan ancaman kepadanya, biasanya anak malah makin berani dan makin menantang. Jadi jagalah emosi, jangan sampai keluar perkataan yang merendahkan anak, ingatkan anak akan keputusannya dan konsekwensinya tapi jangan menekannya. Jadi di fase dewasa kita lebih harus berhati-hati menjaga mulut kita, menjaga emosi kita, jangan sampai kita memutuskan tali atau jangan sampai kita menanamkan benih kegetiran, kepahitan pada anak, sebab di usia dewasa ini, hampir dapat dipastikan reaksi anak akan sangat drastik. Karena apa? Tidak lagi bergantung kepada kita dan kalau pun belum sepenuhnya mandiri, dia sudah dewasa sehingga dia lebih bisa hidup sendiri tanpa harus bersandar pada kita. Nah, kalau sampai terjadi apa-apa di usia ini, seringkali dampaknya berat atau fatal. Tidak jarang di usia-usia dewasa kalau ada keributan dengan orang tua, mungkin masih bisa disambung, dijahit kembali relasi yang sudah tercabik ini, tapi biasanya sulit dan biasanya meninggalkan bekas yang dalam dan berkepanjangan. Sekali lagi, saya tekankan, hati-hati dengan perkataan dan emosi kita.
ND: Karena di usia tersebut anak biasanya memang sudah punya identitas dia sendiri, ya Pak Paul?
PG: Betul sekali, jadi di masa remaja memang anak mencoba-coba identitas dirinya, mana yang cocok, mana yang tidak cocok. Nah, di usia dewasa awal, anak baru mulai mengenakan dan menguji identitas dirinya sesuai dengan keyakinan nilai kehidupan, cita-cita dan juga kariernya. Masalahnya tidak selalu identitas diri sesuai dengan harapan kita. Alhasil kita tidak setuju dan tergoda untuk memaksanya, untuk mengubah haluan. Nah, di fase ini salah satu hal yang kadang mesti kita hadapi adalah adanya kemungkinan anak mengambil keputusan yang salah. Sebagai orang tua tidak mudah bagi kita melihat anak mengambil jalan yang salah. Kita berusaha keras agar ia sadar dan kembali ke jalan yang benar, tapi pada akhirnya kita harus menerima kenyataan bahwa anak yang sudah dewasa adalah pribadi yang terpisah dan mandiri. Tidak selalu kita bisa menjauhkannya dari bahaya atau menjaganya terjerumus ke lubang yang dalam. Di usia dewasa, dia berada di luar kendali kita. Memang, Pak Necholas, memikirkan ini, karena kita rasanya takut, tapi kita mesti ingat bahwa walau ia berada di luar kendali kita, dia tidak pernah berada di luar kendali Tuhan. Pdt. Greg Laurie dari Amerika pernah mengalami gejolak berat dalam keluarganya sewaktu anaknya memberontak dan hidup jauh darinya dan dari Tuhan, namun dengar apa yang dikatakannya tentang anak yang memberontak dan lari dari Tuhan. "Engkau bisa lari dari kami, tapi engkau tidak bisa lari dari doa kami". Meski tampak tak terkendali, ia tetap berada dalam kendali Tuhan, meski ia lari dari kita, ia tidak bisa lari dari doa kita.
ND: Saya rasa ini satu hal yang sangat menguatkan hati setiap orang tua tentunya, karena kita sebagai orang tua, manusia, tentu kita terbatas sekali, bagaimana kita bisa mengendalikan hidup anak kita, tetapi kita harus ingat bahwa Tuhanlah yang empunya anak kita dan Tuhan yang empunya kendali dari dulu sampai sekarang dan akan seterusnya.
PG: Betul sekali, ya Pak Necholas, jadi kita mesti mengingatkan hal ini bahwa Tuhan tetap memegang kendali atas hidupnya dan bahkan ini yang saya pelajari dalam hidup, Pak Necholas. Makin tampaknya tak terkendali, makin kuat Tuhan menggenggam kendali. Dari mata kita, kita melihatnya tidak terkendali, mengapa bisa begini? Tapi sebetulnya sewaktu sedang tak terkendali paling hebat, disanalah genggaman Tuhan, pegangan Tuhan paling keras, paling kuat. Kita mau percaya itu, Tuhan justru memegang paling kuat di waktu segalanya sepertinya berjalan tak terkendali.
ND: Betul, Pak Paul jadi inilah penghiburan yang luar biasa bagi setiap orang tua.
PG: Nah, yang terakhir saya ingin bagikan adalah ini, Pak Necholas. Kadang kita juga mesti bersikap tegas terhadap anak, kita tidak boleh mengiyakan atau menutup mata terhadap keputusan-keputusan salah yang dibuatnya. Kita harus berdiri tegak di atas perintah Tuhan dan kebenaran-Nya. Kita tidak boleh mengasihi anak lebih daripada Tuhan. Kita pun mesti berani menegurnya dan jangan takut kehilangannya, sewaktu anak melihat kita takut kehilangannya, dia akan bertambah berani dan hidup semaunya. Jadi tegaslah, memang tidak mudah menggabungkan kasih dan ketegasan, penerimaan dan pendisiplinan, jadi senantiasa berdoa, minta hikmat dan kehendak Tuhan untuk dapat berjalan di jalan kasih dan ketegasan. Kadang untuk tegas kita mesti bersikap tega dan membiarkan, meski hati menjerit kasihan tapi ada kalanya itu yang mesti kita lakukan. Adakalanya kita harus berdoa, "Tuhan, pukullah anakku sesuai takaran-Mu, agar ia sadar sebab seringkali itulah yang harus terjadi". Tuhan harus memukul anak kita yang tersayang supaya ia kembali ke jalan Tuhan yang terbaik, bila kita menutup mata dan membiarkan, dia justru makin jauh dan makin sesat.
ND: Kalau saya perhatikan di usia anak 18 sampai 30 tahun ini, tentunya pergumulan yang paling banyak dihadapi adalah berkenaan dengan studi, karier dan pasangan hidup. Apakah benar, Pak Paul?
PG: Benar sekali, Pak Necholas. Memang ketiga hal itu menjadi pilihan-pilihan yang harus diambil oleh anak di usia-usia dewasa awal. Ini tiga-tiganya keputusan super besar, kita tahu Pak Necholas. Itu sebab kita tidak bisa tidak, hati kita berdebar-debar takut sekali anak mengambil keputusan yang salah, tapi kita hanya bisa melakukan bagian kita, berjalan sejauh kita dapat berjalan, setelah itu kita serahkan dia kepada Tuhan.
ND: Kalau saya hubungkan dengan poin pertama yang tadi Pak Paul sampaikan, sebagai orang tua kita perlu melihat apakah anak berelasi baik dengan Tuhan kemudian respek terhadap kesucian, hormat terhadap sesama dan berhikmat dalam bersikap dan bertindak. Kalau saya rasa tadi Pak Paul sampaikan soal kasih dan ketegasan ini, kita bisa bersikap tegas terutama ketika kita melihat anak kita menyimpang dalam keempat hal tersebut, begitu Pak Paul?
PG: Bisa, jadi waktu kita tahu anak mengambil keputusan yang salah, apalagi kalau ini menyangkut hidupnya yang berkaitan dengan masa depannya dan bisa memengaruhi banyak orang, kita harus memberitahukannya dengan lebih tegas lagi. Apalagi misalnya dia mulai memasuki ranah kejahatan, masuk ke dalam ranah pemberontakan terhadap Tuhan. Di saat-saat itu kita memang juga harus memberikan peringatan yang tegas kepadanya, kita jangan sampai mengikuti jejak Eli. Hakim Eli itu menegur anaknya, memang betul menegur tapi Alkitab juga katakan, dia turut memakan daging-daging yang dipersembahkan oleh umat Israel kepada Tuhan yang diambil oleh anak-anaknya. Anak-anaknya juga melayani sebagai imam. Dengan kata lain, mulut menegur tapi ikut menikmati kejahatan anaknya, maka akhirnya Tuhan marah, Tuhan menghukum, Eli harus kehilangan kedua anaknya dan akhirnya dia juga mati dengan cara yang mengenaskan. Dalam hati yang sedih, maka kita sebagai orang tua mesti juga menarik garis yang jelas supaya anak tahu waktu dia berbuat hal ini, bukan saja dia menyakiti hati kita tapi dia juga membuat kita marah dan mungkin sekali Tuhan marah.
ND: Dan tentunya tadi Pak Paul katakan, yang penting kita menjalin relasi dengan anak sehingga kita tidak putus komunikasi dan hubungan yang baik dengan anak.
PG: Itu penting sekali, Pak Necholas. Jadi saya akan akhiri ini dengan sebuah pengibaratan, membesarkan anak di usia dewasa awal ibarat membawa bola ke gawang. Tidak lurus sering harus berbelok dan meliuk acapkali harus menghindar dari bahaya tapi kadang mesti menerobos bahaya. Kita tidak bisa memastikan apapun kecuali memastikan bahwa sejak kecil kita telah mendoakannya dan mengajarkannya tentang jalan dan keselamatan dari Allah melalui Yesus. Jadi dengarlah pesan Paulus kepada Timotius, anak rohaninya, "Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus" (2 Tim. 3:15). Ini bagian kita, ini yang mesti kita kerjakan mengenalkan anak dengan Kitab Suci, setelah itu kita serahkan dia kembali kepada Tuhan. Tuhan belum selesai dengan dia, jadi kita percaya Tuhan akan menyelesaikan pekerjaan-Nya dalam hidupnya.
ND: Jadi kalau saya perhatikan dari judul kita, kita mengendorkan kendali kita terhadap anak tetapi juga jangan lepaskan, tapi dalam suatu sisi kita menyerahkannya kepada Tuhan karena Tuhan yang empunya kendali.
PG: Betul sekali, seolah-olah kita menyerahkan tali kendali itu kepada Tuhan.
ND: Baik, terima kasih banyak, Pak Paul atas perbincangan kita hari ini.
Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (TEgur sapa gembaLA keluarGA), kami baru saja berbincang-bincang tentang "Kendorkan Kendali tetapi Jangan Lepaskan". Jika Anda berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami melalui surat ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org; kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org; saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.