Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Anak : Investasi Orangtua?" bagian yang pertama. Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, ada seorang teman yang berkata kepada saya bahwa anak itu investasi orangtua karena orangtua sudah menanamkan banyak dalam hidup anak yaitu waktu, tenaga bahkan uang dan tentunya berharap akan menerima kembali investasi di masa tua orangtua. Benar tidak, Pak, pandangan seperti itu menurut Bapak?
SK : Benar, Bu Yosie bahwa itu pandangan yang aktual di masa sekarang. Kalau saya renungkan pandangan bahwa anak adalah investasi orangtua itu sebenarnya sejajar dengan pernyataan yang terkenal di masa lalu, banyak anak banyak rejeki. Maka tidak heran seperti di masa lalu, orangtua berlomba-lomba, sepertinya, untuk memiliki banyak anak. Empat anak itu minimal, lima, tujuh, sepuluh, dua belas. Karena didasarkan pada pandangan semakin banyak anak maka rejeki semakin menumpuk, apalagi termasuk di masa tuanya. Akan ada penjamin atau "asuransi" untuk kesejahteraan orangtua ketika tidak bisa lagi bekerja. Maka dua belas anak itu akan bergantian mengirim uang dan mencukupi, melimpahkan bagi sang orangtua. Memang pandangan ini pun berlangsung di masa sekarang bahwa kita lihat anak-anak kecil yang cantik dan imut-imut pun dengan semakin suburnya media sosial, maka anak mengalami kondisi di-monetize dalam bahasa Inggris. Artinya anak dikomersialisasikan. Jadi anak yang cantik, tampan tampilannya, lucu, akhirnya banyak followers atau pengikut di media sosial akhirnya menjadi sasaran iklan untuk mendapatkan uang. Anak investasi orangtua tidak perlu menunggu dewasa, masih ‘imut-imut’ (kecil dan lucu) sudah bisa menghasilkan uang. Bahkan bukan hanya ‘imut-imut’, mungkin beberapa anak tidak mengalami masa ‘imut-imut’ di-monetize atau dikomersialisasikan. Tapi ketika anak usia ‘amit-amit’ atau usia dewasa juga di-monetize. "Ayo, papa mama, ayah bunda sudah tua", bahkan kadang orangtua tidak perlu berkata maka anak pasti mengirimkan uang (transfer). Apalagi kalau orangtua meminta, jangankan transfer, memberi uang juga bisa. Bahkan muncul istilah, "Kalau cari menantu harus perhatikan. Mungkin anak kita tidak kaya raya, maka cari menantu yang kaya raya." Memang terbukti ketika mendapatkan menantu yang konglomerat, yang kaya raya maka sang orangtua ini pun....
Y : Ikut terjamin masa depannya.
SK : Iya. Sangat sejahtera secara ekonomi dan finansial. Jadi ini memang kenyataan realitas bahwa benar di fakta lapangan, bahwa anak adalah investasi keuangan orangtua terlebih di masa tuanya.
Y : Jadi itu yang faktual terjadi relevan dengan fenomena yang ada.
SK : Iya. Benar.
Y : Tapi apakah itu benar, Pak?
SK : Nah, ini pertanyaan yang menarik. Kalau begitu Bu Yosie, saya mengajak kita untuk memerhatikan apa yang Tuhan nyatakan lewat surat Efesus 6:1-4. Di bagian 4 ayat ini, rasul Paulus memberikan kepada kita nasihat praktis kepada orang percaya untuk melaksanakan panggilan ilahi sebagai orang percaya dalam lingkup hidup berkeluarga. Kalau kita lihat di dalam ayat 1 dan 2 saya bacakan lebih dulu, "Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu--ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini." Lalu ayat 3, "supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi." Jadi disini kita melihat satu penekanan, Bu Yosie, bahwa anak diwajibkan menghormati orangtua karena ini perintah Tuhan. Kalau menurut Bu Yosie, maka akan terasa familier dan akrab, "Hormatilah ayahmu dan ibumu." Sebelum dinyatakan dalam Efesus pasal 6 di era surat Paulus, oleh rasul Paulus, dinyatakan pertama kali dimana, Bu Yosie?
Y : Di hukum Taurat, Pak.
SK : Tepat. Yaitu Hukum Taurat lebih spesifik lagi ada di ‘10 Perintah Allah’. Jadi ini memang yang dilakukan rasul Paulus ini bukan hal baru. Dia sedang menegaskan kekekalan firman Allah yang disampaikan di era Perjanjian Lama berlaku di Perjanjian Baru hingga masa kita sekarang. Jadi bahwa disini Paulus hendak mengingatkan bahwa menghormati orangtua itu adalah bagian perintah Allah. Dan itu adalah perintah langsung dari Tuhan yang diberikan sejak jaman dahulu kala. Dan jangan lupa, sebelum perintah Allah ini hukum: Hormati ayah dan ibumu ini perintah ke berapa Bu Yosie dalam 10 Perintah Allah?
Y : Kelima, Pak.
SK : Kelima. Kalau kita lihat secara prinsipiil, secara mendasar, hukum 1 sampai 4 itu mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara hukum yang ke 5 sampai 10 mengatur hubungan dengan sesama manusia. Dan hukum yang ke-5 "hormati ayah dan ibumu", ini menempati hukum yang pertama dari enam hukum tentang sesama manusia. Berarti sangat amat penting sekali. Dan perintah ini bukan berdiri didalam kekosongan tapi akan ada berkat terselubung, berkat nyata kalau kita menaati, menghormati ayah dan ibu kandung kita. Berkatnya apa, Bu Yosie, yang dinyatakan di dalam firman Tuhan?
Y : Panjang umurmu.
SK : Panjang umurmu. Kemudian katakan disini kalau ditegaskan dalam surat Efesus pasal 6, "engkau akan hidup berbahagia". Panjang umurmu, berbahagia, diberkati. Maka tidak heran Bu Yosie, kalau kita telusuri secara antropologis artinya tentang kebudayaan manusia di segala jaman, ketika pun ada suku bangsa atau ada kelompok masyarakat atau ada etnis yang tidak mengenal Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya tapi kelompok suku, etnis atau suku bangsa ini menghormati orangtuanya, atau menjadikan menghormati orangtua sebagai nilai yang utama maka rata-rata kelompok ini menjadi suku bangsa atau etnis yang diberkati Tuhan. Jadi ini istilahnya kebenaran yang berlaku universal, apakah di dalam Kristus atau di luar Kristus inilah ketetapan kekal Allah. Siapa yang menghormati orangtua kandungnya, siapa yang menghormati kakek nenek moyangnya, maka dia akan diberkati Tuhan.
Y : Ada pepatah Indonesia yang mengatakan, ‘surga di bawah telapak kaki ibu’, begitu Pak?
SK : Iya. Jadi itu mungkin bagian dari pernyataan peribahasa itu sebagai juga bagian dari pewahyuan Tuhan untuk menghormati orangtua. Karena apa? Karena memang orangtua sejak awal diposisikan Allah sebagai wakilnya Tuhan. Maka di dalam hal ini peran orangtua adalah dihormati anaknya, ketika anak mau taat kepada orangtua yang saleh maka mereka akan menjadi saleh juga. Jadi katakan sekali lagi, "Hormati ayah ibumu ini suatu perintah yang penting dan nyata supaya engkau berbahagia dan panjang umurmu." Dan dinyatakan di ayat 1, "Taatilah orangtuamu di dalam Tuhan." Jadi kata taati orangtuamu didalam Tuhan ini bukan pernyataan yang lepas dari sepuluh perintah Allah. Kembali ke kata ‘di dalam Tuhan’, karena perintah 1 sampai 4 itu adalah hormati Tuhan. Jadi dengan kata lain, menghormati orangtua dalam batasan koridor menghormati Tuhan. Dengan kata lain, kalau menghormati orangtua itu sedang tidak menghormati Tuhan, maka berlaku atau tidak kondisi itu?
Y : Tidak.
SK : Tidak berlaku. Jadi menghormati orangtua tidak boleh melanggar batasan menghormati Tuhan. Jadi orangtua misalnya, "Ayo, kamu mencuri. Ayo, kamu berbohong. Ayo, kamu membunuh orang itu. Ayo, siksa orang itu." Tapi "Ayah bunda, papa mama itu salah" namun dijawab dengan, "Hei jangan lupa ini ‘sabda pandita ratu’." Maaf saya pakai istilah Jawa. Artinya, ini pernyataan orangtua yang seperti pernyataan Tuhan ‘saya wakilnya Tuhan’. Nah, anak yang sehat bisa berkata, "Maaf papa, maaf ayah, maaf bunda, maaf mama. Engkau harus taat pada hukum Allah sebab hukum Allah tidak pernah mengijinkan penyiksaan. Tidak pernah mengijinkan pencurian. Tidak pernah mengijinkan kebohongan, ketidakkudusan. Karena engkau sudah memberi perintah yang melanggar perintah Allah maka maaf perintahmu batal. Tidak berlaku untuk aku taati." Nah, inilah kembali hormati, taati orangtuamu didalam Tuhan. Ada batasannya. Maka tidak heran muncul didalam Efesus 6:4, "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan."
Y : Jadi memang benar menaati orangtua itu dalam konteks sesuai dengan firman Tuhan. Ketika orangtua mendidik anak juga harus sesuai didalam ajaran Tuhan. Maka itu baru berlaku berkat dan rewards yang Tuhan berikan ya, Pak?
SK : Betul. Jadi orangtua pun ketika mendidik anak, memerintahkan anak, memberi instruksi dan ajaran dia tidak bisa semena-mena. Dia didalam ketundukannya kepada Tuhan. Maka muncul ayat 4 tadi bahwa: "jangan bangkitkan amarah didalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka didalam ajaran dan nasihat Tuhan". Maaf bukan berkata: didiklah anak-anakmu didalam ajaran dan nasihat suku bangsamu. Atau didiklah anak-anakmu didalam ajaran leluhurmu. Maaf tidak demikian. Boleh ikuti ajaran nenek moyang, ajaran suku, tetapi tetap didalam koridor sejauh sesuai firman Tuhan.
Y : Dan yang menarik seperti yang Pak Sindu bilang, ajaran ini dari Perjanjian Lama konsisten ditegaskan kembali oleh rasul Paulus di Perjanjian Baru ya, Pak?
SK : Betul.
Y : Yang artinya memang Tuhan mau ini menjadi satu standar atau pedoman yang lugas/objektif, begitu ya Pak?
SK : Maka secara praktis, tidak ada tempat kekerasan orangtua kepada anak. Tidak ada tamparan, tidak ada hukuman, tidak ada tempat penyiksaan anak oleh orangtua atas nama orangtua sedang melampiaskan amarahnya atau angkara murka. Tidak ada. Boleh anak dihukum. Boleh anak mendapatkan hukuman fisik pun. Boleh anak didisiplin. Itu sehat, tapi tetap dalam koridor itu mendidik dan menghormati anak yang adalah miliknya Tuhan. Jadi tidak ada kita berlaku semena-mena, memerlakukan anak seperti barang milik kita. Dia adalah sosok pribadi milik Tuhan. Dan orangtua perlu mendidik, mengasuh, memerlakukan anak sebagai manajernya Tuhan atau wakilnya Tuhan. Ingat, wakil itu bukan pemimpin. Jadi wakil itu manajernya Tuhan. Maaf, kata yang lain mungkin ‘jongos’-nya Tuhan. Itu artinya bahwa kita ikuti kemauan Tuhan, ikuti S.O.P-nya Tuhan,standard operating procedure, dalam bahasa Inggris artinya prosedur operasi standar dalam bahasa Indonesia, atau ‘juklak’ istilah petunjuk pelaksanaan Tuhan yang termaktup dalam prinsip firman Tuhan. Tidak ada tindakan semena-mena orangtua kepada anaknya. Maka dalam hal ini adalah tugas orangtua yaitu membawa anaknya, mengasuh menurut caranya Tuhan dan anak dihantar untuk mengenal Tuhan secara pribadi dan dihantar untuk mengenali panggilan khususnya sehingga di masa dewasanya anak akan menjalani model hidup, cara hidup kehidupan yang sesuai dengan panggilan khusus Tuhan baik dalam profesi, dalam model pelayanan di kota mana, cara hidup yang seperti apa itu seturut pimpinan Tuhan. Bukan disetir untuk orangtua membuat anak mengabdi kepada orangtuanya, hingga orangtua meninggal kelak. "Eh, kamu harus profesi ini.Kamu harus kaya raya."
Y : "Karena ini yang menghasilkan uang."
SK : "Ini yang menghasilkan uang. Ini yang menjamin hidupmu sampai cucu, cicit, canggah dan akan memastikan menjamin juga hidup papa mama, ayah bunda. Harus jalani ini. Awas kalau tidak taat saya kutuk". Maaf itu pikiran dunia yang tidak mengenal Allah. Kita tidak ada pikiran demikian didalam firman Tuhan. Yang ada ialah: aku besarkan menurut kemauan Tuhan;" Aku arahkan hidup anakku menurut juga kemauan Tuhan." Ada panggilan khusus sesuai dengan bakat, minat, kemampuannya, itu menyimpan sebuah DNA atau sebuah bibit genetis apa yang Tuhan mau atas hidupnya. Tugas orangtua mencarinya dan mensukseskan anak untuk memenuhi panggilan khusus itu, bukan panggilan khusus yang dari orangtua kepada anak.
Y : Oke. Jadi boleh dikatakan tugas orangtua kepada anak benar-benar tanpa pamrih harusnya, Pak? Harus benar-benar murni. Boleh tidak, Pak, kalau kita tetap punya harapan kalau anak itu tetap ingat orangtua, membalas budi dalam pengertian batasan yang wajar tentunya?
SK : Maaf, kalau saya katakan, didalam nama Yesus tidak ada tempat untuk kita minta pamrih. Karena pamrih itu yang sejati dari Tuhan. Tuhan mengatakan didalam Injil Matius dan diulangi dalam bagian yang lain, ada bagian tentang perumpamaan talenta yang Bu Yosie tentu ingat di bagian akhir Tuhan mengatakan, ketika ada yang diberi dua, ada yang diberi lima dan mereka mengembangkan talenta itu dengan baik, maka apa yang dikatakan Tuhan, "Hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia dalam perkara yang aku percayakan. Mari masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan Tuanmu dan aku akan percayakan perkara-perkara yang lebih besar lagi." Artinya juga bahwa mengasuh anak itu seperti talenta. Rewards-nya bukan dari talenta yang kita kembangkan lalu kita minta. "Tuhan, lima menjadi sepuluh maka tiga saya ambil, Tuhan. Aku ‘kan yang kerja, Tuhan? Dua untuk Kamu. Lima menjadi sepuluh, hanya satu saja yang aku ambil empat untuk Kamu."Tentu tidak ada. Lima menjadi sepuluh tetap kembalikan ke Tuhan. Tuhan yang memberi rewards, penghargaan, imbalan, ganjaran, kehormatan. Jadi kita memerlakukan anak seperti itu. Kita kembangkan anak, sukseskan anak menurut rancangan Tuhan dan kita tidak meminta pamrih. "Ingat saya ya! Ini berapa juta, berapa juta semua itu harus balik modal. Bahkan ada bunganya; 5%." Tidak! Itu tidak Alkitabiah. Benar itu pikiran populer. Tapi maaf, di luar Kristus, itu pikiran dunia yang tidak mengenal Allah. Bukan pikirannya Allah. Pikiran Allah adalah kalau kita setia maka Tuhan yang memberkati. Cari dulu kerajaan Allah dan kebenaran, ikuti kemauan Tuhan. Maka apa yang kita butuhkan termasuk di masa tua, Tuhan akan tambahkan.
Y : Menarik sekali ya, Pak. Benar. Jadi kita tidak boleh mengharapkan balasan atau pamrih dari anak karena kita bisa saja kecewa jika anak tidak mengingat kebaikan kita. Tetapi kalau kita mengharapkan rewards yang dari Tuhan maka tentu orang yang mengharapkan Tuhan tidak akan dikecewakan, seperti firman Tuhan.
SK : Benar. Maka sejak anak itu lahir kita harus membangun mentalitas anak, milik Tuhan. Aku hanya dititipi. Aku hanya dipercayakan untuk membesarkan menurut S.O.P-nya Tuhan dan aku akan kembalikan kepada pimpinan Tuhan untuk anak ini. Dia bukan milikku. Nah, dengan demikian ini akan melandasi kita dalam mengasuh anak. Ketika masa anak-anak sangat bergantung kepada orangtua. Orangtua memberi instruksi, arahan memang ini kebergantungan yang sehat dan orangtua mengarahkan, mendampingi, melindungi. Tapi ketika anak mulai masuk masa remaja, mulai masuk masa SMP dan SMA dimana di masa remaja secara alamiah Tuhan sudah merancang ialah ini masa anak mulai menjauh dari orangtua, bukan memusuhi tapi anak mulai ingin mandiri. "Aku tidak mau terlalu melekat terus dengan ayah bunda, papa mama. Aku ingin kumpul dengan teman-teman sebayaku. Aku sedang mencari identitasku yang lepas dari bayang-bayang orangtua. Apa jati diriku ya? Apa keunikanku? Apa minatku? Apa bakatku? Apa cita-citaku?" Tugas orangtua mengijinkan.
Y : "Apa tujuan hidupku?"
SK : Iya, tepat. "Tujuan hidupku apa, ya?" Kalau dulu nasihat papa mama, ayah bunda sekarang menjadi bekal. Nah, ijinkan anak untuk eksplorasi, menggali keunikannya. Dan ijinkan anak-anak kadang-kadang tidak ikut acara keluarga tiap Sabtu-Minggu, biasanya sama-sama habis kebaktian makan-makan sekarang ada kalanya anak ingin kumpul-kumpul dengan teman. Nah, ijinkan. Itulah masa mulai menjauh. Nah, nanti memasuki usia 18 dan 20 tahun keatas itu memasuki masa dewasa awal. Disanalah perjalanan mungkin kuliah, bekerja, tidak lagi menjadi status anak kecil atau remaja, tapi anak dewasa. Artinya, menurut Undang-Undang Negara kita dimanapun kita berada, dia usia dewasa berhak mengambil keputusan sendiri dan bertanggungjawab menanggung keputusannya. Itu orang dewasa. Dalam konteks inilah usia 18 atau 20 tahun keatas dia menjadi anak dewasa, dia semakin diijinkan untuk meninggalkan rumah. Apa yang dia perbuat ijinkan dia berbuat sesuai dengan pilihannya dan ijinkan dia juga untuk menanggung jika berbuat baik akan diberkati, namun jika berbuat salah dihukum masuk penjara maka ditanggung sendiri. Itulah orang dewasa.
Y : Dengan satu pemahaman bahwa kita sudah menyiapkan dasar dan bekal yang cukup di masa anak-anak. Dengan kalau kita sudah melakukan bagian kita pasti Tuhan berfirman: kalau anak dijagai dengan firman maka seumur hidupnya dia akan hidup dalam kebenaran.
SK : Benar. Jadi kalau kita konsisten dengan prinsip bahwa anak milik Tuhan, orangtua hanya dititipi sebagai ‘jongos’ atau manajernya Tuhan dan kemudian di masa remaja anak diijinkan untuk mulai melepas keterikatannya dengan orangtua. Dia boleh pergi memilih menurut aktifitas kemauannya namun tentu tetap ada saat-saat bersama orangtua meskipun tidak se-intensif ketika masa anak-anak. Maka nanti ketika masa dewasa, dia berkarya melakukan pilihan hidup menurut panggilannya, orangtua lebih berbesar hati, lebih ‘legawa’, lebih lega…
Y : Lebih terlatih.
SK : Lebih terasah karena ada tahapan peralihan di masa remaja. Dan termasuk ketika nantinya anak punya keuangan, anak seperti apa atau sudah menikah, maka sudah lepas dari orangtua dan orangtua tidak perlu berharap balik apalagi mengharap uang kembali. "Kamu tabungan uang pensiun papa mama. Jangan lupa. Balik modal bahkan ada bunga 5%". Tidak. Itu tidak ada tempat untuk mengharapkan dunia.Tapi kalau anak memberi itu bonus. Kalau anak ingat, puji Tuhan! Tapi bukan diharap-harapkan.
Y : Bahkan kalau kita lihat tahapan perkembangan hidup manusia dari anak-anak, remaja, dewasa itu memang sudah didesain Tuhan sedemikian rupa ya, Pak? Anak-anak memang harus bergantung penuh dengan orangtua, dewasa sudah terlepas tapi di tengah-tengah diberi Tuhan masa-masa training atau masa-masa peralihan tadi ya, Pak?
SK : Iya. Jadi kalau dalam istilah yang lain, usia bayi itu masa in-control dalam bahasa Inggris. Masa anak-anak masa under-control (di bawah kontrol). Masa remaja masa out of control; mulai lepas dari kontrol. Masa usia dewasa awal dan seterusnya masa ‘remote control’.
Y : Menarik Pak. Maksudnya remote control bagaimana, Pak?
SK : Remote control itu seperti biasanya untuk nonton televisi, artinya kita tidak bisa menyetir lagi seperti orangtua pada anak kecil apalagi remaja. Tapi disini orangtua memengaruhi anak lewat doanya, lewat keteladanannya, lewat karya Roh Kudus.Tidak bisa lagi, "Eh kamu salah lho, ya. Kamu begini begitu. Kamu harus begini begitu."
Y : "Kamu menurut mama. Kerja ini. Menikah dengan itu."
SK : Tidak bisa lagi. Kalaupun kita memaksa seperti itu, kita sedang melanggar batasan dan akhirnya akan ada masa dimana anak memberontak terluka. Atau akan ada masanya dimana anak tidak dewasa, kekanak-kanakan. Usianya 30 tahun, sudah punya istri, sudah punya suami, sudah punya anak tapi mentalitasnya ialah mentalitas anak kecil karena dibayang-bayangi orangtua. Maka tidak heran kondisi relasi yang demikian lahirlah ‘pasal klasik’ yaitu pertengkaran mertua dengan menantu. Persaingan antara anak atau menantu. Artinya bahwa karena orangtua mendominasi anak yang seharusnya sudah disapih secara emosional, dilepaskan untuk mengambil keputusan sendiri, memilih dan menanggung akibatnya sendiri. Lahirlah keluarga-keluarga yang tidak sehat, akhirnya umumnya mertua perempuan dengan menantu perempuan bertengkar. Si mertua perempuan akan berkata, "Memangnya kamu siapa? Kamu baru kenal waktu anakku sudah umur 20 tahun. Sementara saya ini yang melahirkan, mengandung 9 bulan 10 hari menderita, kamu berani-beraninya menyaingi ibu mertuamu ini? Suamimu adalah anakku dan berarti kamu pun harus tunduk kepada kemauanku." Maaf, kalau engkau melakukan itu mungkin engkau menang saat itu, karena anak dan menantu lemah posisinya tapi engkau akan mendapat hajaran dari Tuhan, karena engkau sudah melawan hukumnya Allah, bahwa anakmu dan menantumu bukan milikmu dan engkau tidak berhak menginjak-injaknya. Kalau engkau membangkitkan amarah dalam hati anakmu menurut kata firman Tuhan, berarti engkau sedang membangkitkan luka dalam hati Tuhan yang memiliki anak dan menantumu. Engkau yang akan menanggung sendiri akibatnya.
Y : Iya. Jadi banyak akibat yang tidak tepat itu karena memang pola asuh yang keliru, ya?
SK : Dan pola asuh yang keliru lahir dari cara pandang yang keliru juga.
Y : Menarik Pak, batasan tentang anak dan parenting ini akan kita lanjutkan ke bagian yang kedua ya, Pak?
SK : Baik.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu, kita akan membahasnya di "Anak: Investasi Orangtua?" bagian kedua. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Anak : Investasi Orangtua?" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.