Kata kunci: Allah kita Allah yang berkomunitas, kita juga butuh komunitas rohani, sebagai anak rohani perlu sedia, setia dan senang diajar, untuk menjadi murid Kristus ada 4 bidang formasi pemuridan intensional yaitu formasi pengetahuan, formasi spiritual, formasi karakter, formasi pelayanan
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA keluarGA. Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., M.Phil., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Indahnya Keluarga Rohani". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y: Sebuah tema yang sangat menarik ya, Pak, "Indahnya Keluarga Rohani" dimana harusnya memang setiap kita perlu keluarga rohani, tapi saya amati tidak semua orang memiliki kesadaran itu, banyak yang merasa cukup hanya dengan datang ke gereja, menyanyi, dengar firman, beri persembahan, pulang. Terlalu terlibat dengan sesama orang Kristen, itu malah merepotkan, malah nanti konflik. Bagaimana seharusnya kita memahami hal ini, Pak?
SK: Benar jadi yang disampaikan, Bu Yosie. Satu sisi memang ada kebutuhan, tapi satu sisi memang ada hambatan. Saya akan membahas lebih dulu dari kebutuhan nanti akan masuk juga ke hambatan. Tentang kebutuhan ini memang sesungguhnya itu desainnya Tuhan, bahwa kita dilahirbarukan menjadi bayi rohani untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. Tidak pernah Allah rancang kita dilahirbarukan menjadi bayi rohani untuk menjadi yatim piatu rohani. Dari keluarga kepada keluarga, karena sesungguhnya Allah kita Allah yang berkomunitas, Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus dan ketika manusia diciptakan, Adam manusia pertama, Tuhan berkata, "Tidak baik manusia seorang diri saja, perlu penolong" maka ada Hawa. Itu pun komunitas, desain dasar DNA kita sebagai manusia secara lahiriah terlebih lagi manusia secara batiniah, yang sudah menjadi orang-orang yang diselamatkan, kita butuh komunitas rohani, komunitas yang membawa kita makin intim dengan Allah dan dengan tubuh Kristus. Relasi itu bersifat tripartit, aku sebagai individu, Allah Tritunggal dan tubuh Kristus. Relasi yang bersifat segi tiga. Jadi ketika kita tidak mau berkomunitas dengan tubuh Kristus, pasti akan ada kepincangan dalam diri kita. Itu desain secara ilahi, bukankah kita juga melihat dari Firman Allah, misalnya yang dikatakan dari surat Ibrani 10:23, "Marilah kita teguh berpegang pada pengakuan tentang pengharapan kita, sebab Allah yang menjanjikannya setia". Ayat 24-25, "Dan marilah kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat". Disini satu cuplikan dari surat Ibrani 10 mengingatkan kita hidup yang telah diselamatkan, melihat Kristus sebagai akhir hidup kita sementara kita menjalani hidup di dunia ini, menggenapkan misi Allah, mata batin kita tertuju pada pengharapan. Ada Kristus yang akan menjemput kita dalam kemuliaan-Nya. Agar kita tetap bisa konsisten kepada sauh pengharapan, jangkar pengharapan Kristus itu kita membutuhkan komunitas, keluarga rohani, yang disampaikan Bu Yosie tadi, supaya kita saling memerhatikan, saling mendorong dalam kasih pekerjaan baik dan saling menasihati justru kita perlu semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan, datangnya Tuhan yang kedua kali.
Y: Sangat setuju Pak, sebetulnya itu sebuah kebutuhan. Bagaimana proses yang sehat ada didalam pertumbuhan kita dalam keluarga rohani?
SK: Dalam hal ini, Bu Yosie, ini berkaitan dengan hambatan. Mengapa sebagian orang-orang alergi? Memang benar didalam komunitas-komunitas gereja-gereja tertentu dan kadang mudah dijumpai orang kalau makin dekat dengan sesama teman gereja, awalnya baik akhirnya cekcok, konflik. Soal memilih makanan untuk acara Komisi Wanita, memilih souvenir Natal, kepanitiaan. "Ini pokoknya program yang paling bagus, pokoknya tidak boleh yang lain". Harga pokok ya tidak bisa ditawar! "Selera tidak bisa dekorasinya begini, harus bagus, kamu harus keluar uang lebih banyak, aku tidak mau keluar uang". Jadi ada banyak hal yang akhirnya beberapa orang menjadi apatis, jera. Aku ke gereja ibadah tapi tidak mau berelasi, ikut persekutuan tidak, tidak, tidak! Malah ketakutan, berarti ada luka, ada trauma, karena itu yang Bu Yosie sampaikan, memang kita butuh sebuah komunitas keluarga yang memang rohani. Artinya berdiri di atas firman, maka dalam konteks ini coba kita fokus pada percakapan itu. Kita butuh Bapak dan Ibu rohani yang pertama, untuk itu kita butuh jadi anak rohani, jadi terutama kalau kita bayi rohani, baru lahir baru atau belum pernah memiliki proses pemuridan intensional, pembimbingan secara sengaja, banyak hal belum memahami, belum menghayati hidup sebagai murid Kristus, kita perlu menjadi anak rohani dari seorang Bapak rohani atau Ibu rohani.
Y: Apa Pak yang kita harus lakukan sebagai anak rohani?
SK: Kita perlu punya 3S, yaitu Sedia, Setia dan Senang diajar. Sedia (available), membuka diri, Setia (faithful) kita perlu memiliki sebuah konsistensi, bukan hanya dibimbing, dimuridkan, dibapaki rohani atau diibui rohani hanya sebatas 1 minggu, 2 minggu, 1 bulan, 1 tahun tapi dari tahun ke tahun pun kita memiliki kesediaan dan kesetiaan.
Y: Termasuk menerima kelemahan Bapak atau Ibu rohani kita sebagai anak rohani, karena tidak ada yang sempurna.
SK: Oh iya, yang satu lagi senang diajar, "teachable heart", memiliki kehausan, sukacita, kita butuh seperti itu. Maka dalam konteks inilah sebagai anak rohani, kita juga tidak akan ada Bapak atau Ibu rohani yang sempurna, tetap jangkarnya adalah Kristus. Bukan berarti kita mendewakan, mentuhankan Bapak dan Ibu rohani kita, kita perlu beri ruang, siapa pun bisa menjadi mentor kita sepanjang dia sudah satu dua langkah di depan kita. Tidak perlu menunggu 10 langkah, 100 langkah karena sedikit orang yang mungkin seperti itu dibandingkan dengan jumlah orang percaya, bayi rohani atau jemaat gereja. Mulailah dengan orang yang satu, dua langkah lebih dahulu, dia sudah bisa menjadi mentor, Bapak atau Ibu rohani kita.
Y ; Setuju sekali, Pak. Tidak bisa menunggu sempurna. Apa pentingnya proses pembapakan atau pengibuan rohani ini?
SK: Dalam hal ini menolong kita punya figur, punya penuntun karena dia sudah mendahului kita jadi dia bisa mengarahkan kita. Sekaligus dia juga bisa menjadi teladan kepada kita. Disinilah untuk menjadi Bapak dan Ibu rohani, perlu punya kesediaan membagi hidup. Kenapa "sharing of life", bukan sekadar "sharing of knowledge", sekadar pengetahuan doktrin, atau "sharing of skill", sekadar berbagi keterampilan melayani, memimpin, mengajar Sekolah Minggu tidak, tapi membagi hidup. Jadi totalitas maka itulah juga yang Yesus lakukan. Bahasan kita memang terkait dengan strategi pelayanan Yesus yang juga ada dalam bahasan Telaga, itu sudah dikupas tentang apa yang Yesus lakukan. Kebersediaan ini akan menolong anak-anak rohani kita ketika kita menjadi Bapak dan Ibu rohani untuk melihat lebih langsung bagaimana, kalau perlu menginap 1 atau 2 malam menginap di rumah kita sambil kita melakukan perjalanan bisnis atau perjalanan tertentu; anak rohani kita satu mobil, satu angkutan umum dengan kita, sambil berbincang, bukan ketemunya hanya saat Pemahaman Alkitab, tapi juga ada kegiatan rekreasi, kegiatan santai tertentu, berolah raga, bisa menyertai kita sehingga disana ada situasi formal dan informal terjadi.
Y: Tentunya juga di keluarga rohani tadi kita belajar melihat karakter Kristus yang terpancar dari orangtua rohani kita.
SK: Betul, didalam hal ini juga sang orangtua rohani ini perlu punya mentor sebaiknya. Kalau dia tidak punya mentor, pembimbing, minimal punya teman KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), ada garis ke atas (mentor atau pembimbing), atau punya garis minimal ke samping yaitu teman sebaya, teman sepertumbuhan. Jadi kita tidak akan kekeringan secara rohani, memberi memberi, membimbing membimbing, memuridkan tapi kita sendiri tidak diisi, lha ini bahaya. Kita bisa jatuh, kita bisa "playing god" menjadi seperti Tuhan bagi anak-anak rohani kita. Tidak boleh itu berbahaya, itulah permainan iblis. Iblis tidak bisa menggagalkan kita untuk jatuh dalam dosa tapi iblis dapat menggagalkan kita untuk bermain-main dengan otoritas rohani menjadi merebut perannya Tuhan. Supaya kita tidak bablas. Menabrak batasan yang sehat ini, kita pun perlu hidup dalam pertanggungjawaban, ada akuntabilitas, saudara seiman yang menjadi rekan pertumbuhan rohani kita, ada KTB (teman Kelompok Tumbuh Bersama) atau ada mentor, pembimbing yang juga mengecek kita sebagaimana kita mengecek atau membimbing anak rohani kita.
Y: Tepat sekali, karena menurut saya dalam hubungan orangtua rohani dengan anak rohani ini, yang penting relasinya, tadi yang Pak Sindu sempat cetuskan, tidak hanya ‘transfer of knowledge’, tapi relasi harus sehat. Mana mungkin relasi sehat kalau orangtua rohaninya sendiri kering?
SK: Dalam hal ini ada istilah orangtua rohani, Bapak dan Ibu rohani ada hubungannya dengan gender. Sebaiknya laki dibimbing laki, perempuan dibimbing perempuan, jangan lintas gender, lintas jenis kelamin. Itu hanya terjadi tapi sifatnya seperti belajar PA bersama, KTB pasutri tidak apa-apa, hal-hal yang bersifat umum, tapi kalau yang sifatnya pembimbingan pribadi ada sisi emosional, lebih baik sejenis. Seperti yang tadi disampaikan Bu Yosie, memang betul butuh relasi yang sehat. Relasi yang sehat inilah yang akan menolong sebagian kita sebagai anak rohani mungkin punya relasi yang bersifat bermasalah, relasi yang bersifat disfungsi, kita mungkin dari latar belakang keluarga orangtua kita gemar bertengkar, atau malah bercerai atau mungkin satu atap, satu rumah tapi pisah kamar. Atau satu kamar tapi relasinya sangat dingin. Mau tidak mau relasi yang terdistorsi, relasi yang bermasalah itulah yang kita serap. Tontonan menjadi tuntunan, itulah yang akan kita bawa ke keluarga kita kalau kita menikah atau relasi kita dengan tubuh Kristus. Lewat pembapakan atau pengibuan rohani ini pun menjadi nilai yang perlu dimuridkan. Prinsip firmannya apa, penerapannya dimana, dicek penerapannya, bagaimana menegur dengan baik, bagaimana berterus terang secara sehat, bagaimana mengatasi konflik, berkomunikasi secara tepat. Hal-hal praktis dalam relasi ini sangat fundamental bahkan jantung kita dalam mengekspresikan hidup sebagai murid Kristus itu soal relasi. Dengan Allah pun relasi, dengan sesama manusia relasi, jadi relasi menjadi salah satu topik kurikulum bahkan dalam soal pembimbingan atau pemuridan intensional termasuk pembapakan, pengibuan rohani itu tadi.
Y: Sangat menarik Pak, jadi benar sangat penting keluarga rohani dalam pertumbuhan rohani kita. Tadi Bapak sempat bicara tentang kurikulum, seperti orang sekolah, seperti apa yang ingin disampaikan?
SK: Dalam hal ini ada 4 bidang pembentukan untuk menjadi murid Kristus. Empat bidang pemuridan intensional termasuk pembimbingan, pembapakan, pengibuan rohani. Yang pertama, formasi pembentukan pengetahuan, kedua formasi atau pembentukan spiritual, yang ketiga formasi atau pembentukan karakter, yang keempat pembentukan atau formasi pelayanan.
Y: Masing-masing tentunya dengan spesifikasi tertentu. Apa pak yang mau dicapai dengan formasi pengetahuan?
SK: Formasi pengetahuan berkenaan dengan hal-hal yang bersifat pengetahuan, secara kognitif, secara rasio, bersifat biblika, pengetahuan tentang Alkitab, ada kitab-kitab ini isinya apa, bagaimana cara menafsirkannya, hermeneutiknya, isu-isu Alkitab, isu-isu teologis, pengetahuan bersifat sistimatika, doktrin-doktrin, doktrin Allah, doktrin Alkitab, doktrin manusia, doktrin dosa, doktrin gereja dan sebagainya. Ada juga pembentukan pengetahuan, atau apologetika bagaimana berhadapan dengan iman-iman yang berbeda, ajaran-ajaran sesat, bagaimana berhadapan dengan isme-isme, pandangan-pandangan filsafat tertentu, termasuk tentang etika Kristen dalam hal aborsi, dalam hal kontrasepsi, dalam hal keuangan, dalam hal dunia kerja, dunia bisnis dan sebagainya. Itu pengetahuan.
Y: Yang berikutnya ?
SK: Formasi atau pembentukan spiritual jadi yang berkenaan dengan disiplin rohani, saat teduh, firman, puasa, disiplin pengakuan, "confession", disiplin perayaan rohani, Paskah, Natal, Pentakosta, ada juga disiplin rohani berkenaan dengan belajar dan berbagai hal. Disiplin rohani itu artinya sebuah cara kita untuk makin dekat dengan Allah dan merayakan pengenalan Allah dalam realitas kita lewat ketertiban pola-pola tertentu yang kita lakukan secara setia. Itu disiplin rohani. Ada juga tentang dibentuk secara pribadi atau dilakukan secara kelompok dalam komunitas. Yang lain, yang ketiga formasi atau pembentukan karakter. Berbicara tentang karakter-karakter Kristus seperti gambaran buah roh. Kesabaran itu apa, kita bedah, landasannya apa dan bagaimana melakukannya, kekudusan, kemurnian, integritas, penguasaan diri, nilai-nilai Kristus seperti apa kesetiaan, berkaitan dengan standard keunggulan sebagai pengganti perfektionistik, mengejar kesempurnaan yang tidak realistik, termasuk penyembuhan luka emosi. Wajar kalau kita punya pola yang keliru dari keluarga asal kita, luka hati, luka batin, luka emosi, itu perlu penyembuhan, supaya tidak menjadi sampah jiwa yang menghambat manusia baru, ciptaan baru. Kristus itu bertumbuh dalam diri kita, ini bagian dari formasi karakter. Pendewasaan emosi, kesabaran, kecerdasan emosi termasuk dalam komunikasi, menghayati kemerdekaan dalam Kristus, soal relasi, soal pertanggungjawaban akuntabilitas, soal berkomunitas yang kita bahas saat ini, itu bagian dari tema besar yaitu formasi atau pembentukan karakter. Yang terakhir, yang keempat formasi atau pembentukan pelayanan. Bagaimana cara memberitakan Injil terhadap kalangan iman yang berbeda, terhadap isme-isme yang berbeda, bagaimana melakukan pemuridan intensional, caranya bagaimana, kiatnya bagaimana? Itu bagian dari kurikulum formasi atau pembentukan pelayanan. Bagaimana tentang misi, berpikir misi, berwawasan misi, menjadi misionaris lokal, berpikir misi global seperti apa, soal kepemimpinan, ‘leadership’, pengorganisasian, manajemen pelayanan, pelayanan kategorial, pelayanan musik, pelayanan ibadah, pelayanan sebagai guru Sekolah Minggu dan sebagainya. Itu juga ada spesifikasinya, bagian dari kurikulum pemuridan intensional atau pembimbingan, termasuk panggilan khusus. Bagaimana mengenai panggilan khusus kita, karena menjadi murid Kristus ya, semua orang, tapi ada yang dipanggil menjadi pendeta, ada yang dipanggil dalam dunia bisnis, jadi guru, jadi pendidik, jadi budayawan, jadi wirausahawan, jadi peneliti, jadi politisi, jadi biro kepemerintahan. Bagaimana mengenali panggilan khusus ini? Bagaimana menterjemahkan Injil ? Nilai-nilai Kristus, menjadi saksi-saksi Kristus dalam bidang itu? Itu butuh, juga pembimbingan, pemuridan intensional, maka empat bidang ini, Bu Yosie, tidak bisa dilakukan hanya oleh satu Bapak rohani atau Ibu rohani. Beberapa hal butuh didelegasikan dalam kelas-kelas pemuridan, tapi tidak meniadakan juga. Seperti ada paralel, satunya bersifat kelas, kelas-kelas seperti ini tapi juga ada prakteknya, ada pengecekannya, ada juga yang bersifat relasional, komsel mungkin bersama rekan-rekan sebaya, tapi juga butuh mentor.
Y: Nah, itu yang tadi saya mau tanyakan.
SK: Kita bisa punya Komsel, tapi lebih baik lagi selain Konsel, kita punya mentor. Ketemu mentor atau Bapak atau Ibu rohani ini tidak selalu seminggu sekali, mungkin satu bulan sekali tidak apa-apa, tapi dia mengecek dalam hal tertentu. Ada topik tertentu yang mungkin kita khususkan dengan mentor atau pembimbing rohani ini.
Y: Saya sangat kagum dengan formasi pemuridan tadi yang sangat dalam dan sangat luas, tapi sejauh mana bisa berjalan dengan konteks keluarga rohani yang lebih relasional. Begini pak, maksudnya kita tidak sempit, kita harus mengembangkan pemuridan intensional tapi kita juga dalam waktu yang sama punya relasi dalam keluarga rohani yang sehat. Jadi tidak membatasi kalau saya sudah meng-Ibu-i atau di-Ibu-i satu orang, terus saya tidak boleh belajar dari orang-orang lain dan terus bertumbuh. Kita harus kaya.
SK: Betul, jadi memang seperti di bagian awal, Bu Yosie bicara, kita tidak bisa menuntut kesempurnaan dari Bapak atau Ibu rohani, betul, justru karena itulah kita perlu berelasi dengan orang-orang lain, baik yang sebaya dalam pertumbuhan iman kita atau pun yang lebih dewasa iman, tanpa perlu kita punya relasi khusus sebagai Bapak/Ibu rohani kita. Bapak/Ibu rohani itu sifatnya bisa berdasarkan kontrak, selama 6 bulan ini kamu jadi pembimbing saya atau selama untuk proses pemuridan dasar, oke, saya akan membimbing kamu, tapi untuk level tertentu kita setop nanti kita bisa evaluasi, apakah lanjut atau tidak lanjut, tidak perlu ada rasa sungkan untuk menghentikan asal dari awal ada perjanjian. Kita hubungan relasi karena ini level dasar, kamu sebagai murid Kristus, kamu sebagai bayi rohani, saya akan membimbing kamu untuk sampai level misalnya pakai istilah berakar, bertumbuh, berbuah. Sampai level berakar dulu selama 10 bulan, kita akan ketemu membahas buku ini bersama teman-teman yang lain, saya akan cek ini, setelah itu kita akan evaluasi lagi apakah untuk level bertumbuh, kita masih cocok sebagai pembimbingmu, atau kamu bisa cari pembimbing yang lain supaya lebih bisa leluasa. Ini sifatnya ada kontrak-kontrak waktunya sesuai dengan sasaran yang mau dicapai.
Y: Ini menjawab pertanyaan saya, Pak, sebab saya melihat juga banyak orang sudah memunyai orangtua rohani tapi kemudian dalam perjalanan pertumbuhan seperti terantuk atau buntu, akhirnya tidak mendapat apa-apa ya tidak bertumbuh juga. Itu mungkin karena sungkan, tidak enak bicara tapi sebetulnya tidak efektif lagi. Bisa ya, seperti itu ?
SK: Sangat bisa. Dan itu manusiawi, karena itu butuh evaluasi. Sama seperti kita melakukan organisasi di gereja, di sebuah pelayanan ‘parachurch’, pelayanan pendamping gereja, atau kita bekerja di dunia bisnis, di dunia birokrasi apa pun, biasanya ada evaluasi program, program kerja dievaluasi apakah dilanjutkan, diubah, atau diganti yang lain atau dihentikan. Sama proses pembimbingan, proses pemuridan intensional, itu butuh evaluasi. Jangka waktu tertentu dievaluasi, apa yang perlu dimodifikasi, apakah perlu dihentikan atau dilanjutkan dengan seperti apa? Berulang-ulang tadi saya menyebutkan tentang pemuridan intensional, mungkin saya memberi penjelasan kalau kita tidak mendengar bahasan tentang strategi pelayanan Yesus atau topik gereja yang memuridkan secara intensional, pemuridan intensional itu artinya upaya untuk membawa orang percaya dari level bayi rohani untuk menjadi murid Kristus secara sadar dan sengaja, itu artinya pemuridan intensional.
Y: Dengan pengertian yang tepat dan mendasar berarti kita tentunya tidak boleh takut, terlibat dalam komunitas bahkan keluarga rohani, kita juga tidak perlu, justru harus punya haus dan lapar untuk mengejar pertumbuhan dengan mengikuti pemuridan-pemuridan intensional.
SK: Ya, maka dalam hal ini juga bagi kita yang dibimbing, yang dimuridkan, ada waktunya kita perlu membimbing dan memuridkan secara intensional yang lain. Sama prinsipnya, ketika kita menjadi murid, kita sudah level tertentu dianggap memadai, lulus, kita bukannya berhenti tapi akan lebih baik kalau kita menjadi guru. Biasanya menurut Bu Yosie secara sederhana, siapa yang lebih banyak belajar, lebih banyak paham? Seorang murid yang belajar atau seorang guru yang belajar untuk bagaimana mau mengajari orang lain ?
Y: Tentunya seorang guru yang belajar, modal ilmunya lebih banyak, pengalamannya lebih banyak.
SK: Ya, dalam hal ini kalau saya lengkapi, selain pengalamannya lebih banyak. Saya belajar untuk diri sendiri, dibandingkan saya belajar untuk mengajari orang lain, mau tidak mau belajarnya lebih mendalam, lebih tertuntut, lebih menguasai kalau saya mau jadi guru bagi orang lain. Kalau belajar untuk sekadar ulangan, ya sudah sebegini saja. Tapi kalau kita besok mau mengajar, kita tidak bisa cuma sekadar untuk dapat 7, kalau aku ditanya muridku bagaimana, harus belajarnya lebih mendalam, lebih meluas.
Y ; Disitulah letak pertumbuhan kita, ya Pak.
SK: Tepat, jadi janganlah menghindar untuk menjadi pembimbing, menjadi Bapak atau Ibu rohani atau menjadi mentor, menjadi orang yang memuridkan, ketika kita diberi kesempatan. Karena disanalah justru lejitan, lompatan kuantum pertumbuhan kita kepada kedewasaan dan keserupaan dengan Kristus makin terjadi. Jangan tolak tantangan, kesempatan apalagi kalau kita ada pembimbing itu tadi, kita dimuridkan untuk bisa memuridkan, melipatgandakan secara rohani. Jadi sepanjang kita apalagi memunyai mentor, nanti mentor itu juga, tadi bukankah ada topik soal formasi pelayanan adalah tentang pengabaran Injil kemudian pemuridan intensional. Itu bagian dari formasi pelayanan atau pembentukan pelayanan. Orang dimuridkan perlu juga didorong untuk membimbing sambil tetap dibimbing. Bagaimana caranya memimpin doa, atau caranya menginjil, membuat diskusi kelompok Pemahaman Alkitab, bagaimana menegur, bagaimana mengajari saat teduh bersama, bagaimana membuat percakapan-percakapan, memberi batas yang sehat, kalau dia WA terus, telepon terus, supaya ada saatnya kita berani menolak karena jamnya sudah larut malam, ditunda untuk besok. Itu keterampilan praktis yang perlu diajar, dilatih oleh mentor atau pembimbing kita. Supaya nantinya pun kita mengajari juga, anak rohani kita yang bertumbuh dewasa memuridkan yang lain. Kita pun akan mengajari tularkan, kembangbiakan, keterampilan, hikmat, hati, kemampuan yang seperti itu. Pelipatgandaan pekerja Kristus terjadi disana.
Y: Dengan demikian regenerasi terjadi.
SK: Kita tidak tergantung pada Sekolah Teologia semata, betul beberapa pendeta, pemimpin perlu Sekolah Teologia, tapi tidak hanya itu, banyak hal bisa tumbuh berkembang dari komunitas gereja, komunitas pelayanan yang melakukan prinsip-prinsip dari keluarga rohani ini, Bu Yosie.
Y: Dengan demikian keluarga rohani menjadi sangat penting dan tentunya indah karena mengisi hidup kita.
SK: Amin.
Y: Terima kasih banyak Pak Sindu.
Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K, M.Phil. dalam acara Telaga, TEgur sapa gembaLA KeluarGA, kami baru saja berbincang-bincang tentang "Indahnya Keluarga Rohani". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat, alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK, Jl. Cimanuk 56 Malang atau Anda dapat mengirimkan email ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda. Sampai jumpa dalam acara Telaga yang akan datang.