Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini adalah tentang "Dinamika Pernikahan Pendeta". Kami percaya acara ini akan bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, perbincangan kita kali ini tentang topik yang cukup menarik, menarik perhatian karena berbicara seorang figur yang penting yaitu "Dinamika Pernikahan Pendeta". Apa yang bisa bapak sampaikan dalam perbincangan kita kali ini ?
SK : Yang pertama Bu Yosie, bahwa yang dimaksud pendeta dalam bahasan kita pengertiannya luas. Artinya yaitu hamba Tuhan sepenuh waktu, baik yang melayani di gereja maupun di luar gereja. Jadi itu mudahnya kita sebut pendeta. Jadi mengapa memang bahasan ini penting, karena memang terkadang mudah untuk kita jumpai di jemaat, di dunia pelayanan bahwa seorang pendeta itu seperti setengah malaikat.
Y : Hebat sekali ya, Pak.
SK : Iya hebat untuk anggapannya, tapi realitasnya sayangnya seperti bumi dan langit. Maksudnya bahwa tidaklah otomatis ketika seseorang menyandang predikat pendeta, dia akan serta merta memiliki kehidupan pernikahan yang sempurna, baik, lancar dan tidak ada masalah. Kenyataannya bahwa justru pernikahan seorang pendeta bisa lebih banyak lagi memiliki masalah daripada pernikahan seorang jemaat. Karena salah pengertian ataupun tuntutan.
Y : Tuntutan-tuntutan yang tinggi dari masyarakat, dari umat begitu ya Pak?
SK : Betul. Inilah yang akhirnya cukup miris. Akhirnya semakin tahun semakin mudah kita jumpai bahwa pernikahan seorang pendeta bisa juga diwarnai dengan kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan, perpisahan hingga perceraian.
Y : Ini yang ironi ya Pak, atau memprihatinkan. Kalau begitu apa Pak yang dapat kita cegah atau usaha preventif yang bisa kita lakukan, Pak?
SK : Jadi memang dalam hal ini ketika seorang pendeta hendak menikah memang perlulah sungguh-sungguh mencari dan mendapatkan pendampingan pacaran termasuk apalagi pendampingan pranikah yang mendalam serta berkualitas, Bu Yosie.
Y : Iya ini setuju sekali Pak. Karena memang cara mengatasi masalah adalah mencegah sebelum masalah itu terjadi.
SK : Betul.
Y : Tapi Pak yang menarik adalah banyak hal, banyak orang yang berpandangan seperti ini, "Kamu ‘kan sudah lulusan Sekolah Teologi, apalagi juga berdua sama-sama lulusan Teologi, pasti sudah mengerti ‘kan?" Bagaimana anggapan-anggapan seperti itu ?
SK : Ya, betul. Jadi memang bisa terjadi demikian maka kita yang dimintai membimbing bagi hamba Tuhan, pendeta muda ini dalam bimbingan pernikahan, mohon untuk menanggalkan asumsi yang keliru itu. Bahwa sekalipun dulu sudah pernah mengikuti mata kuliah-mata kuliah pastoral dan tentang mata kuliah bahkan bimbingan pranikah tetaplah kuliah itu lebih bersifat akademis dan intelektual tapi belum tentu itu benar-benar teralami oleh ‘sejoli’ yang meminta bimbingan pacaran atau bimbingan pranikah ini. Maka mohon ketika kita sebagai pendeta senior, hamba Tuhan senior yang dimintai pembimbingan pendampingan pranikah jalankanlah dengan sepenuh hati malah harusnya bisa jadi dosisnya lebih dalam, lebih berbobot.
Y : Lebih kaya begitu ya, Pak. Mengingat nanti juga tuntutan umat atau masyarakat tadi semakin tinggi ya, pernikahan pendeta.
SK : Sisi yang lain kalau ternyata memang, kita sebagai pendeta yang hendak menikah atau sedang berpacaran dan membutuhkan pembimbingan bahkan yang hendak menikah. Dan kemudian menjalani pembimbingan pranikah ternyata menu-nya menu yang minimalis; "Kamu ‘kan sudah mengerti! Cukuplah dua sesi tiga sesi. Ini ‘kan hanya formalitas saja". Kalau memang pendeta yang memberkati pernikahan kita bersikap demikian kita tidak menyerah, carilah menu tambahan. Jadi silakan mencari.
Y : Yang lebih bergizi.
SK : Mendapatkan gizi tambahan. Jadi datanglah ke konselor, datanglah ke mentor, ke pasutri senior yang bisa melakukan pendampingan lebih mendalam. Jadi pendampingan mendalam ini adalah pembimbingan yang membuka sisi-sisi kehidupan kita. Dan pasangan kita. Memerbaiki sisi-sisi diri yang masih ‘belepotan’ yang masih ter-distorsi baik sisi pengalaman-pengalaman, penghayatan emosional, tentang relasi pernikahan atau relasi lawan jenis. Termasuk melatih dan menanamkan pola-pola baru yang sehat misalnya pola dalam berkomunikasi, pola menghadapi dalam perbedaan pendapat, konflik. Hal itu tidak bisa hanya sekadar membaca buku ataupun sekadar mengikuti perkuliahan pranikah. Berbeda.
Y : Benar, benar. Jadi sifatnya pendampingan pranikah untuk pendeta calon pasangan ini berarti harus mendaratkan teori ya Pak, tidak sekadar mengisi teori yang sebetulnya mungkin sudah didapat di bangku-bangku kuliah ya Pak?
SK : Betul, Bu Yosie.
Y : Lalu bagaimana Pak, kalau bagi pasangan yang sudah menikah; usaha-usaha apa yang dapat dilakukan oleh pendeta sehingga dinamika pernikahan mereka ini boleh menjadi sehat ?
SK : Jadi memang perlulah bagi pendeta-pendeta yang sudah menikah untuk merawat, menumbuhkan pernikahannya secara sengaja. Jadi jangan jadikan pernikahan itu hanya seperti pelengkap identitas bagi pendeta dan jalani sebagaimana "Namanya pernikahan dari dulu sampai sekarang dan selama-lamanya seperti ini !". Tidak bisa. Kita perlu merawat secara sengaja, menumbuhkan dengan cara, yang pertama, ciptakanlah jam romantik; baik mingguan atau minimal dua kali sebulan.
Y : Oh, kencan ya, Pak ?
SK : Iya. Bu Yosie sudah paham nama ‘romantik’. Kita sudah bisa paham jam romantik, jam kencan. Artinya waktu berdua dengan pasangan secara khusus tanpa kehadiran anak, atau pihak yang lain itu hanyalah untuk selama sejam dua jam itu melakukan aktivitas atau kebersamaan yang saling menyenangkan; misalnya makan berdua di tempat lain atau sekadar melihat pemandangan. Atau...
Y : Piknik?
SK : Iya bisa. Atau mungkin acara rekreasi berdua. Sebagaimana dulu waktu berpacaran. Selain lewat jam romatik, di luar itupun, karena jam romantik paling seminggu sekali atau minimal dua kali sebulan, tiap-tiap hari berilah waktu untuk berbincang-bincang. Seringkali terutama kaum wanita itu ‘kan butuh...
Y : Didengarkan.
SK : Benar
Y : Tepat sekali. Bapak memahami wanita.
SK : Iya, karena saya sudah punya istri. Jadi, memang pria mungkin merasa setelah pulang dari pelayanan, capek ingin ‘me-time’ atau waktu pribadi. Tapi berbeda dengan para wanita atau para istri. Mereka butuh didengar. Berilah minimal satu jam satu hari untuk berbincang-bincang berdua, saling cerita dan sang suami yang pendeta mengkondisikan untuk mau cerita.
Y : Berbagi beban ya, Pak ?
SK : Ya. Kadang bukan solusi yang dibutuhkan tapi saling mendengar dan memahami. Itu yang akan membuat relasi emosi itu terpelihara bahkan bertumbuh makin mendalam.
Y : Betul Pak. Lalu apa saja Pak, selain pasti memberi waktu untuk berbincang-bincang berdua; hal-hal apalagi yang bisa kita lakukan untuk merawat pernikahan kita ?
SK : Yang berikutnya adalah pernikahan itu membutuhkan mentor, Bu Yosie. Jadi mentor atau pembimbing, minimal saya usulkan bertemu empat bulan sekali. Jadi katakan setahun tiga kali. Kalau misal lebih sering, sepakat dengan mentor sebulan sekali ya itu baik. Kalaupun tidak, istilahnya kalau saya renungkan setahun tiga kali. Jadi mentor ini akan menolong karena dia pihak ketiga dan dia...
Y : Lebih berpengalaman...
SK : Betul. Lebih berpengalaman, lebih memahami. Dia bisa memberi pertanyaan-pertanyaan untuk kita berefleksi. Kadang pertanyaan itu menolong kita yang merasa agak ‘jengah’, agak risih karena itu wilayah sensitif suami istri untuk dipercakapkan. Justru karena ada mentor maka hal-hal yang sensitif yang dihindari satu dengan yang lain, akan bisa dipercakapkan. Dan kalau memang ada krisis bisa ditolong oleh mentor ini. Kemudian yang lain, perlu sekali pasangan suami istri pendeta ini memiliki hati yang mau terus belajar diperlengkapi, disegarkan lewat seminar pernikahan, retreat pernikahan, membaca bersama buku-buku tentang pernikahan. Atau minimal membaca artikel-artikel di telaga.org; tentang pernikahan.
Y : Setuju sekali Pak. Karena pernikahan itu sekolah seumur hidup ya, Pak? Dan tidak berhenti belajar.
SK : Kemudian juga sangat baik kalau punya KTB (Kelompok Tumbuh Bersama) sesama pasutri yang otentik?
Y : Otentik maksudnya seperti apa, Pak?
SK : Artinya otentik yang saya sebutkan ini, kita bisa tampil apa adanya. Jadi KTB yang tidak otentik artinya, KTB pencitraan; "Oh iya, saya baik-baik saja diberkati Tuhan. Saudara kami begini dan Tuhan menolong" tapi padahal masih ada masalah, masih ada ‘api dalam sekam’. Di KTB otentik dan apalagi pendeta, setengah dewa setengah malaikat, justru disinilah akan semakin membesar krisisnya. Maka perlu KTB otentik, entah sesama pendeta ataupun juga bisa menciptakan tidak harus dengan pendeta tetapi dengan pemimpin-pemimpin jemaat lainnya.
Y : Berani terbuka..
SK : Mereka yang sudah diperlengkapi untuk kita bisa apa adanya. Jadi kita tidak sendirian, ada tim sukses, support group, tim pendukung sesama pasutri secara sehat.
Y : Menarik ya, Pak. Berarti tidak boleh ‘jaim (jaga image)’. Tetap harus berani tampil apa adanya.
SK : Betul. Yang lain adalah ciptakanlah waktu secara sengaja, bisa mengambil cuti untuk bulan madu kedua, bulan madu ketiga dan seterusnya. Artinya, mungkin setahun sekali atau dua tahun sekali sengaja untuk pergi selama beberapa hari kembali tanpa anak. Kalau tadi jam romantik itu ‘kan sebatas satu dua jam. Seminggu sekali atau sebulan dua kali. Ini tentunya dalam hitungan hari; pergi dua hari tiga hari minimal. Berdua seperti bulan madu setelah menikah. Ini adalah bulan madu kedua atau ketiga. Ini bagian dari merayakan pernikahan, merawat pernikahan, mengisi tabung pernikahan secara bagus.
Y : Ternyata pernikahan tidak usaha sambil lalu ya, Pak. Tetapi benar-benar usaha yang harus kita pikirkan, kita fokuskan supaya mendapat hasil yang maksimal.
SK : Betul. Jadi memang seperti yang Bu Yosie sampaikan istilahnya kalau jaman sekarang ada istilah investasi. Artinya kita mengeluarkan sejumlah uang dan usaha karena kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar lagi. Demikian pula dengan pernikahan. Pernikahan pula sebuah investasi. Ada harga ada wujud. Kalau kita tidak mau membayar harga, maka pernikahan menjadi minimalis. Tapi kalau membayar harga, waktu, perhatian maka kita mendapatkan pernikahan yang maksimalis. Maka sejalan dengan itu juga dibutuhkan Bu Yosie, paling tidak enam bulan sekali kita bisa melakukan ‘marriage check-up’.
Y : Marriage pun juga perlu check-up ya ?
SK : Iya. Jadi kita mengecek beberapa poin tentang kualitas pernikahan kita. Kebetulan di sekitar kita di Indonesia sudah ada buku-buku bahasa Indonesia atau buku terjemahan dalam bahasa Indonesia yang membahas tentang sisi-sisi apa yang perlu dicek ulang di dalam pernikahan kita secara periodik.
Y : Tapi mengapa hal ini penting Pak bahwa para pendeta ini harus merawat? Apakah yang menjadi alasannya? Apa yang harus dipertahankan? Apa yang harus diraih Pak dalam hal pernikahan ini ?
SK : Jadi yang pertama Bu Yosie, karena memang pada dasarnya semua pernikahan itu akan memiliki fase-fase krisis. Sejalan dengan pertambahan usia diri, usia pasangan, usia pernikahan, sejalan dengan fase-fase tahap-tahap tumbuh kembang anak, sejalan juga dengan naik turunnya pergumulan pelayanan seorang pendeta. Jadi secara umum akan ada krisis. Krisis ini perlu diantisipasi, krisis ini perlu dihadapi secara cerdas dan sehat. Maka dengan secara sengaja merawat dan menumbuhkan pernikahan, maka kita bukan hanya selamat dari krisis malah kita bisa semakin bertumbuh, menang lewat krisis. Semakin matang. Semakin intim. Semakin berbahagia dalam pernikahan justru ketika kita bisa menang menghadapi krisis itu secara cerdas.
Y : Hal apa lagi Pak?
SK : Hal lain yaitu adalah, kebenarannya memang seorang pendeta itu bukan menikah dengan pelayanannya. Seorang pendeta bukan menikah dengan gerejanya. Dan pernikahan yang sesungguhnya adalah menyatukan sepasang suami istri; dua menjadi satu. Hal ini ialah kebenarannya, yang kadang secara alami kalau menjadi pendeta dari jemaat yang memberkati pernikahan, kita khotbahkan tapi dalam realitas kita lupa. Realitasnya.....
Y : Kita sendiri tidak lakukan ya, Pak ?
SK : Iya. Kita lebih menyatu dengan jemaat yang kita layani. Kita lebih menyatu dengan gereja yang kita layani atau pelayanan yang kita sedang kembangkan. Pernikahan dengan suami atau istri kita, kita anggap sebagai ‘tambal sulam tambal butuh’. Ini kita perlu kembali kepada apa kata Alkitab; dua menjadi satu. Adalah pelayanan bisa datang dan pergi, gereja bisa berpindah-pindah katakan, pelayanan pun kadang bisa gagal dan sukses tapi namanya suami-istri kekal selamanya sampai maut memisahkan.
Y : Jadi harus meletakkan pernikahan itu lebih penting daripada pelayanan ya, Pak?
SK : Tepat, setuju, Bu Yosie.
Y : Karena teman saya pernah bercerita, ada seorang remaja putri ‘ditembak (menyatakan cinta)’ oleh temannya, yang istilahnya ketika ditembak itu hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan teman prianya tersebut. Jadi karena "Oh saya pelayanan " calon pendeta, dan sang remaja putri tersebut seorang aktivis gereja, guru Sekolah Minggu, "Nah ini nanti cocok untuk menjadi ibu pendeta, pelayanan anak" begitu Pak. Sehingga banyak konsep yang salah ini bahwa ketika kita menjadi pendeta, istri kita ini hanya tongkat pelayanan kita, Pak. Dan bukan kita sendiri suka dengan pribadinya.
SK : Kalau boleh menanggapi yang kisah nyata dari Bu Yosie sebutkan tadi, itu tidak apa; dalam pertimbangan untuk memilih pasangan hidup. Karena apalagi kalau sudah menjadi pendeta maka memilih pasangan perlu sepanggilan, bisa melengkapi dalam pelayanan. Jadi memang tidak bisa kita hanya menikah atas dasar cinta romantik.
Y : Oh iya iya...
SK : Ada kalanya begitu, karena cinta romantik padahal calon pasangan hidupnya memang tidak cinta pelayanan. Dia hanya cinta pada diri pasangannya itu, tapi dia memiliki nilai-nilai hidup yang bukan nilai pelayanan. Nilainya adalah nilai-nilai di luar pelayanan bahwa, misalnya kita menikah harus kaya raya; kita harus memunyai ini dan itu. Namanya membayar harga untuk menjadi istri hamba Tuhan, suami hamba Tuhan, suami pendeta, "Tidak, saya tidak siap. Yang pelayanan kamu, saya tidak pelayanan"; hal ini tidak bisa.
Y : Tidak mau ikutan ya, Pak ?
Sk : Iya. Tidak bisa. Memang pertimbangan itu perlu. Tapi artinya, ketika itu pun terjadi tetap kecocokan, kepribadian, kematangan diri perlu dipertimbangkan. Dan yang tadi Bu Yosie sebutkan, khawatirkan memang tepat. Setelah menikah jangan ditinggal atas nama "Kamu yang mau jadi istri pendeta". Urusan pelayanan yang utama namun urusan yang romantik tidak ada lagi. Itu keliru.
Y : Baik saya mengerti. Jadi harus seimbang Pak, antara kepentingan diri dan kepentingan pelayanan itu bisa harmonis.
SK : Itu bukan sesuatu yang bersifat pilihan, namun paket utuh. Sisi yang lain, jangan lupa firman Tuhan yang mengatakan tentang talenta di Injil Matius. Itu juga berlaku tentang kehidupan pernikahan. Bahwa dalam pengadilan terakhir Tuhan bukan hanya menuntut apakah kita setia dalam tanggung jawab pelayanan kita. Tapi termasuk di dalamnya apakah Tuhan, apakah kita setia di dalam anugrah kepercayaan pernikahan yang Tuhan berikan itu. Apakah kita menjadi hamba yang baik dan setia dari pernikahan yang Tuhan percayakan kepada kita ini ? Jadi bukan sekadar soal romantik, soal kepentingan pelayanan. Tapi tanggung jawab kita di hadapan Tuhan seperti apa nantinya akan menjadi bagian yang akan Tuhan audit di akhir hidup kita kelak. Kemudian yang lain, Bu Yosie, jangan lupa pernikahan pendeta yang dirawat, yang dipertumbuhkan dengan benar, itu sangat multi manfaat.
Y : Multi manfaat seperti apa, Pak Sindu ?
SK : Jadi yang pertama. Ketika seorang pendeta dan pasangannya bertumbuh, bertumbuh dalam pernikahannya, maka mereka pun akan bertumbuh semakin mengalami keserupaan dengan Kristus. Karena saya itu suka, Bu Yosie, sebuah pernyataan yang dinyatakan oleh Gerry Thomas dalam buku "Sacred Married" buku yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ada satu kalimat menarik yang diungkapkan dalam buku itu; "Kalau mau bebas pelayanan mengajarlah seperti rasul Paulus. Tapi kalau mau semakin serupa dengan Kristus, menikahlah!". Saya, waktu membacakan ini, terheran. ‘kan Tuhan Yesus tidak menikah, dia single bujangan sampai Dia meninggal di kayu salib. Artinya sebenarnya, dalam pernikahan ada banyak penderitaan lebih daripada mungkin seorang yang melajang, karena dia harus menyesuaikan pasangannya. Dia harus banyak menghadapi gesekan.
Y : Mengosongkan ego...
SK : Iya seperti itu. Jadi ketika pernikahan pendeta itu dirawat dan dipertumbuhkan, dua menjadi satu, makin menjadi-jadi maka sesungguhnya keserupaan dengan Kristus itu berarti akan semakin bersinar dalam diri pendeta dan pasangannya.
Y : Kesempatan untuk melakukan Firman semakin banyak ya, Pak.
SK : Benar.
Y : Juga mungkin anak-anak ya, Pak ? Karena bagaimana pun anak-anak pendeta ini banyak mendapat sorotan.
SK : Betul, betul. Justru inilah yang cukup ironi kita pernah membahas di rekaman yang lain ya. Bahwa lebih mudah anak pendeta yang akhirnya menjadi anak yang, maaf, terkutuk.
Y : Anak yang nakal.
SK : Anak yang bermasalah, karena salah satunya pernikahan orang tuanya yang memang tidak berkualitas. Makanya ketika pernikahan pendeta dengan pasangannya itu berkualitas, bertumbuh secara dinamis maka itu akan memberikan satu fondasi yang kokoh, memberikan atmosfir yang sehat bagi tumbuh kembang anak-anak pendeta tersebut. Dan kelak mereka akan mudah untuk mengulang, menduplikasi pernikahan orang tuanya yang berkualitas menjadi pernikahan dirinya yang berkualitas juga.
Y : Karena melihat teladan yang hidup dari pernikahan papa mama ya, Pak.
SK : Tepat. Akhirnya anak-anak pendeta ini ketika dewasa dan menikah, mereka akan sangat bersyukur, "Puji Tuhan, memunyai orang tua yang pendeta. Justru karena pendeta, pernikahan mereka berkualitas. Kami pun memiliki semangat hidup untuk Tuhan dan pernikahan yang berkualitas juga."
Y : Dan tentunya mengapa pernikahan pendeta ini sangat perlu dirawat karena berdampaknya itu juga tidak hanya kepada anak-anaknya tetapi kepada jemaatnya ya, Pak ?
SK : Betul. Jadi ini memang sebuah kebenaran yang tidak bisa kita sangkal. Kalau kita baca dalam firman Tuhan pun juga seperti itu, bahwa dan itu juga kebenaran yang bersifat, istilahnya realitas sosial, bahwa yang menjadi kepala itulah yang akan memengaruhi yang di bawahnya. Berkat Tuhan itu dari, ada istilah, ‘urapan Tuhan dari kepala turun ke janggut sampai ke jubah’. Dalam arti, kalau pendeta memiliki kehidupan pernikahan yang berkualitas, secara alamiah pemimpin-pemimpin yunior, jemaat yang digembalakan akan lebih mudah juga memiliki kehidupan pernikahan yang berkualitas. Dan yang berikutnya Bu Yosie bahwa secara alami pernikahan pendeta yang berkualitas dan apalagi nantinya jemaatnya pun juga terangkat memiliki pernikahan yang berkualitas maka akan memperluas medan magnet bagi orang-orang dunia untuk haus mengenal Kristus lewat keteladanan pendeta dan jemaatnya yang pernikahannya berkualitas.
Y : Nyata dalam kehidupan sehari-hari.
SK : Betul. Karena kita tidak bisa pungkiri, Indonesia kualitas pernikahannya, kalau boleh dilihat dari data statistik sebenarnya mengalami penurunan yang semakin drastis.
Y : Ironis sekali, Pak. Padahal kita negara yang sepertinya beragama, negara yang menjunjung nilai-nilai yang baik sebenarnya, Pak ?
SK : Betul. Jadi memang kalau kita boleh sitir, 2000 data Indonesia di tahun 2013 diungkapkan oleh seorang ahli di dalam seminar BKKBN bahwa Indonesia merupakan negara Asia Pasifik yang memiliki angka perceraian yang tertinggi. Disinilah peran strategis pendeta dengan pernikahan yang berkualitas, gereja dengan jemaat yang berkualitas pernikahannya akan bisa menjadi medan magnet untuk mengangkat Indonesia dari keterpurukan dalam kualitas pernikahan dan rumah tangganya.
Y : Kita seharusnya sebagai orang percaya dapat menjadi dampak di tengah keadaan yang memburuk ya, Pak ?
SK : Iya. Oleh karena itu sangat dibutuhkan dukungan aktif para pemimpin gereja lainnya, pemimpin pelayanan lainnya, majelis, warga jemaat untuk pencapaian pernikahan pendeta yang berkualitas. Misalnya, lewat kesediaan secara praktis. Jemaat bergantian menjaga anak-anak sang pendeta yang mungkin masih kecil-kecil agar sang pendeta dengan pasangannya bisa memiliki jam romantik secara teratur seminggu sekali, dua minggu sekali keluar. Siapa yang akan menjaga anak-anak yang masih kecil ini ? Jemaat bisa secara sukarela bergantian menjaga, mendukung cuti pendeta untuk bulan madu, rekreasi keluarga, mengikutsertakan dalam seminar pernikahan, ini bagian-bagian yang bisa majelis dan jemaat mendukung.
Y : Untuk terakhir Pak, dasar Alkitab atau dasar firman Tuhan yang boleh menguatkan kita semua.
SK : Saya bacakan dari 1Petrus 3:7, "Demikian juga kamu, hai suami-suami hiduplah bijaksana dengan istrimu, sebagai kaum yang lebih lemah! Hormatilah mereka sebagai teman pewaris dari kasih karunia, yaitu kehidupan, supaya doamu jangan terhalang". Firman Tuhan ini mendorong kita baik suami, istri untuk membangun pernikahan yang baik karena pernikahan yang baik itu juga menjadi saluran agar berkat Tuhan nyata, agar karya Tuhan nyata. Doa yang lancar dan kehadiran Tuhan dialami secara nyata.
Y : Terima kasih banyak Pak Sindu untuk perbincangan kita kali ini, Tuhan memberkati. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K. dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Dinamika Pernikahan Pendeta". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.