Apa Yang Tuhan Lakukan Tatkala Hal Baik Berubah Buruk

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T509B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Mungkin Tuhan pernah memberikan berkat dan kebaikan-Nya kepada kita. Sudah tentu kita senang dan bersyukur. Namun kesenangan kita tidak berlangsung selamanya; pada suatu saat semua berubah, yang manis berubah menjadi pahit. Di saat seperti itulah kita diingatkan bahwa berkat dan kebaikan Tuhan adalah sarana untuk menggenapi rencana Tuhan. Mari kita belajar dari kisah dalam 2 Raja-Raja 4:8-37.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Salah satu hal yang akan terjadi di dalam hidup mengikut Tuhan adalah kita akan menerima berkat atau pemberian dari Tuhan. Sesuatu yang kita dambakan akhirnya terjadi atau menjadi milik kita. Jika berkat yang diharapkan membuat kita bahagia, apalagi berkat yang tidak diduga. Berkat seperti itu pastilah membuat kita makin bersyukur kepada Tuhan. Namun, kadang berkat atau hal yang baik yang Tuhan berikan kepada kita secara tiba-tiba berubah menjadi buruk. Sesuatu terjadi dan mengubah segalanya. Mungkin kita bertanya, mengapakah Tuhan memberikan sesuatu yang baik untuk kemudian mengubahnya—atau setidaknya membiarkannya berubah—menjadi buruk? Bukankah lebih baik tidak memberikan apa-apa sama sekali, daripada memberikan sesuatu yang baik kemudian mengubahnya menjadi buruk? Untuk mendapatkan jawabannya dan memetik beberapa pelajaran, marilah kita melihat sebuah kisah nyata yang dicatat di 2 Raja-Raja 4:8-37. Dikisahkan bahwa di Kota Sunem ada sepasang suami-istri yang membuka pintu rumahnya untuk pelayanan Nabi Elisa. Bukan saja mereka mengundang Nabi Elisa untuk makan, mereka pun menyediakan kamar untuknya beristirahat. Suatu hari, Nabi Elisa memanggil si istri dan memberitahukannya bahwa ia akan menggendong seorang anak laki-laki. Sudah tentu berita ini mengejutkan sekaligus menggembirakannya sebab selama ini ia belum dikaruniakan anak. Tahun berikutnya, si istri melahirkan anak laki-laki, tepat seperti yang disampaikan Nabi Elisa.

Setelah anak itu besar, suatu hari secara tiba-tiba ia mengeluhkan kepalanya sakit dan dalam waktu singkat anak itu meninggal dunia, di pangkuan ibunya. Si ibu kemudian membawa anak itu ke tempat tidur di mana Nabi Elisa biasa tidur di sana. Setelah itu ia pun langsung pergi menemui Nabi Elisa di Gunung Karmel. Begitu berjumpa dengan Nabi Elisa, wanita itu berkata, "Adakah kuminta seorang anak laki-laki dari tuanku? Bukankah telah kukatakan, ‘Jangan aku diberi harapan kosong?" Begitu mengetahui apa yang terjadi, Elisa segera berangkat. Setibanya di rumah wanita itu, Elisa pun berdoa lalu membaringkan dirinya di atas anak itu untuk memanaskan tubuh anak itu. Ia mengulangnya sekali lagi dan tiba-tiba anak itu bersin sampai tujuh kali, lalu membuka matanya. Elisa memanggil ibunya dan menyerahkan anak itu kepadanya. Melihat anaknya bangkit, si ibu pun tersungkur di depan kaki Nabi Elisa.

Ada beberapa pelajaran yang dapat kita petik dari kisah nyata ini:

  1. Sekali lagi kita diingatkan bahwa KEMALANGAN DAPAT MENIMPA SIAPA SAJA, TERMASUK ORANG YANG BAIK DAN MENGASIHI TUHAN.
    Si perempuan yang baik itu tidak memunyai anak dan besar kemungkinan, penyebabnya adalah karena suaminya sudah tua. Kendati Alkitab tidak memberikan kita informasi apa-apa tentang latar belakangnya, kita dapat menduga bahwa alasan mengapa ia, perempuan muda, menikah dengan laki-laki yang tua adalah dikarenakan faktor ekonomi—ia seorang yang tidak punya. Ini kemalangan pertama. Kemalangan kedua adalah, setelah menikah beberapa lama, ia tidak dikaruniakan anak. Berbeda dari kita yang hidup di masa sekarang, pada masa itu seorang yang tidak dikaruniakan anak bukan saja sebagai dianggap sebagai orang yang tidak diberkati, ia pun dianggap sebagai orang yang dihukum Tuhan. Jadi, bukan saja ia kesepian tanpa anak, ia pun sedih karena menerima cibiran masyarakat. Dua kemalangan menimpa seorang wanita yang mengasihi Tuhan dan hamba-Nya.

  2. Yang dapat kita petik adalah, BERUSAHALAH SELALU UNTUK BERBUAT SESUATU SESUAI DENGAN KEMAMPUAN MASING-MASING.
    Di tengah kemalangan, wanita ini tetap berbelas kasihan dan berusaha berbuat sesuatu. Si wanita, yang tidak kita ketahui namanya ini, tidak menenggelamkan diri di dalam kemalangannya. Ia tidak berubah menjadi seseorang yang mementingkan diri serta menuntut orang untuk memerhatikan dan mengasihaninya. Tidak! Sebaliknya, ia tetap melihat kepentingan dan kebutuhan orang. Firman Tuhan memberitahukan bahwa dialah yang berinisiatif mengundang Nabi Elisa untuk singgah ke rumahnya. Ia mengerti bahwa pastilah Nabi Elisa letih dan lapar; itu sebab ia membuka pintu rumahnya. Sewaktu ia melihat bahwa Nabi Elisa tidak memunyai tempat berteduh, ia pun berinisiatif membangunkan kamar untuknya. Ia tahu bahwa ia berada di posisi di mana ia dapat menolong Nabi Elisa, jadi, tanpa ragu, ia langsung menolong.

    Demikian pula dengan Nabi Elisa. Ia berterima kasih atas kebaikan perempuan itu dan ia pun berupaya untuk berbuat sesuatu baginya. Ia berdoa dan meminta Tuhan untuk mengaruniakan anak bagi perempuan itu. Jadi, di sini kita melihat masing-masing berusaha berbuat sesuatu untuk yang lain sesuai dengan kemampuan masing-masing. Kita pun mesti melakukan hal yang sama. Apa pun kondisi kita, berusahalah berbuat sesuatu bagi sesama; jangan tenggelam di dalam kepentingan diri. Tengoklah sekeliling dan perhatikanlah kebutuhan sesama. Tuhan memakai orang yang melihat sekeliling, bukan orang yang hanya melihat ke dalam diri sendiri.

  3. BERKAT—BAIK ITU DALAM BENTUK MATERI, KESEHATAN, ATAU ORANG—BERSIFAT SEMENTARA.
    Harta dapat habis, rumah dapat lapuk, kesehatan dapat menurun, dan orang dapat berubah. Tidak ada berkat jasmaniah yang kekal; semua sementara dan dapat berubah. Jadi, jangan sampai kita melupakan hal ini. Jangan sampai kita memperlakukan berkat materi sebagai sesuatu yang permanen. Jangan terkejut kalau berkat materi akhirnya pudar atau berubah.

  4. BERKAT HANYALAH SARANA—BUKAN TUJUAN AKHIR—DARI PEKERJAAN DAN RENCANA TUHAN.
    Lewat doa Nabi Elisa perempuan itu mengandung dan melahirkan anak laki-laki. Ia menerima berkat Tuhan. Namun, itu bukanlah tujuan akhir Tuhan; Ia mengaruniakan anak kepada perempuan itu karena Ia memunyai rencana. Anak itu adalah bagian dari pekerjaan Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya. Itu sebab Tuhan menetapkan anak itu untuk sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tetapi, sebagaimana kita lihat, kematiannya sementara. Tuhan berkenan membangkitkannya melalui doa hamba-Nya, Nabi Elisa. Lewat peristiwa ini kita belajar bahwa berkat dan kebaikan Tuhan adalah bagian dari pekerjaan Tuhan untuk menggenapi rencana-Nya, bukan perhentian atau terminal akhir dari pekerjaan dan rencana Tuhan. Pada akhirnya pekerjaan dan rencana Tuhan membawa kemuliaan bagi Tuhan, sebagaimana dapat kita lihat pada kisah ini. Si perempuan bersujud, ia bersyukur atas kemurahan Tuhan, dan ia melihat kuasa dan kemuliaan Tuhan.

Mungkin Tuhan pernah memberikan berkat dan kebaikan-Nya kepada kita. Sudah tentu kita senang dan bersyukur. Mungkin itu harta, mungkin itu pekerjaan, mungkin itu istri, suami, atau anak. Namun kesenangan kita tidak berlangsung selamanya; pada suatu saat semua berubah. Yang manis berubah menjadi pahit. Di saat seperti itulah kita diingatkan bahwa berkat dan kebaikan Tuhan adalah sarana untuk menggenapi rencana Tuhan. Jadi, tatkala Tuhan melimpahkan berkat dan kebaikan-Nya kepada kita, terimalah dan bersyukurlah. Namun, jangan genggam erat-erat, apa pun yang Tuhan berikan kepada kita. Ingatkan diri bahwa semua itu adalah sarana belaka, bukan tujuan akhir. Tuhan akan menggunakan apa pun yang diberikan-Nya kepada kita untuk menggenapi rencana-Nya.

Camkanlah bahwa tatkala berkat berubah menjadi beban, sewaktu yang manis berubah menjadi pahit, itu tidak berarti bahwa Tuhan marah dan memalingkan wajah-Nya. Tuhan tengah merangkai karya-Nya dan sesuai dengan rencana-Nya, Ia harus melakukan perubahan. Hidup kita pun berubah—dari nyaman menjadi tidak nyaman. Tetapi sekali lagi ingatlah, itu tidak berarti Ia telah memalingkan wajah-Nya. Mazmur 4:7-8 mengingatkan, "Banyak orang berkata, ‘Siapa yang akan memperlihatkan yang baik kepada kita?’ Biarlah cahaya wajah-Mu menyinari kami, ya Tuhan! Engkau telah memberikan sukacita kepadaku, lebih banyak daripada mereka ketika mereka kelimpahan gandum dan anggur." Ya, biarlah cahaya wajah Tuhan sajalah yang menjadi sumber sukacita kita, bukan kelimpahan gandum dan anggur.