Fantasi adalah hal yang normal terjadi pada diri anak-anak terutama pada anak yang masih balita. Tetapi anak juga harus ada keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasi dan bermain dengan anak-anak lain.
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari Lembaga Bina Keluarga Kristen, telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan kali ini dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi, beliau berdua adalah pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Kali ini kami akan berbincang-bincang tentang bagaimana memahami fantasi anak. Kami percaya acara ini pasti sangat bermanfaat bagi kita sekalian, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
VS : Untuk anak kecil terutama yang masih balita itu sesuatu yang normal dan memang mereka hidupnya, fantasinya, khayalannya sangat luas sekali. Dan mereka sering kali melakonkan, misalnya sya ini seorang ibu, saya ini seorang bapak, saya ini seorang guru.
Dia akan memakai pakaian seperti seorang pemadam kebakaran, seperti seorang polisi. Itu biasanya mereka senang sekali karena mereka akan belajar menjadi seseorang.VS : Saya ingat waktu anak saya sendiri masih kecil, saya bermain dengan mereka. Mereka nanti pakai pakaian, saya seorang polisi ya saya bicara, "Kamu polisi ya" saya bicara kamu seperti seoang polisi ketika bermain.
(GS : Artinya Ibu kembangkan begitu?) ya, jadi itu ada waktunya tapi asalkan tidak terus menerus seperti itu. Jadi ada waktunya saya mengakui fantasi dia dan kita ini bermain bersama-sama.VS : Saya kira bisa (GS : Caranya Bu?) kalau sudah selesai tidak pakai pakaian seperti polisi lagi, ya dia jadi seorang anak lagi.
VS : Saya kira ada bedanya ya, Pak Paul?
PG : Untuk anak yang masih kecil sebetulnya akan sulit bagi kami untuk menentukan apakah ada gangguan jiwa, sebab pada masa kecil memang dunia fantasi dan dunia riil mereka itu masih berkesiambungan, masih sangat tumpang tindih.
Jadi memang sulit untuk memastikannya, biasanya gangguan jiwa itu mulai dapat dideteksi setelah anak itu menginjak usia remaja, tapi kalau anak itu misalkan super pendiam tidak bisa bergaul, mengurung diri saja, saya kira itu sudah merupakan tanda-tanda yang harus dicermati sebab anak kecil pada dasarnya bukanlah anak yang senang berdiam diri sendirian. Dia adalah anak yang memang senang untuk berhubungan dengan anak-anak lain dan bermain.PG : Bukannya gangguan jiwa tapi memang sesuatu yang lain, jadi suatu kelainan sedikit memang itu termasuk dalam salah satu disorder atau gangguan, disebut ADHD (Attention Deficit Hyperactivty Disorder) jadi disorder itu gangguan attensideficit yaitu kekurangmampuan untuk berkonsentrasi, hyperactivity adalah energi yang berkelebihan, jadi itu adalah masalah bagi sebagian anak-anak remaja dan statistik menunjukkan satu dari 20 anak mengidap masalah itu.
Gangguan ini mempunyai dua sisi yaitu yang kurang mampu berkonsentrasi dan energi yang berkelebihan. Ada anak-anak yang kelemahannya adalah konsentrasi, ada yang kelemahannya di energi yang berkelebihan tapi yang jenis berikutnya dua-duanya lemah yaitu kurang bisa konsentrasi dan energinya berlebihan. Untuk anak seperti ini memang diperlukan penanganan yang lebih khusus dan seringkali yang terjadi adalah para guru kurang bisa memahami anak-anak ini.PG : Sangat melelahkan anak-anak yang hiperaktif itu, karena anak-anak tersebut menuntut perhatian nonstop dari orang tuanya. Yang paling penting adalah orang tua harus mulai bisa mengatur pnyaluran energinya, jadi jangan sampai anak ini kekurangan wadah untuk menyalurkan energi.
Saya akan anjurkan untuk mengajak anak itu berenang atau main basket supaya energinya bisa dikurangi, waktu tubuhnya agak lemas karena habis berolahraga sekitar sore, mungkin dia pulang mandi dengan air hangat. Dia mulai tenang baru kita minta dia untuk belajar. Kita harus realistik dengan belajar, memang sulit belajar untuk jangka waktu yang panjang, biasanya hanya untuk jangka waktu yang pendek saja. Jadi memang sangat melelahkan mempunyai anak seperti ini. Saya ingin memberikan sedikit komentar juga tentang fantasi yang tadi Pak Gunawan bicarakan. Fantasi adalah bagian kehidupan anak, sebagaimana tadi disebut oleh Ibu Vivian sesuatu yang tidak perlu kita takuti. Tapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Jangan sampai anak itu kekurangan salah satu di antaranya. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, hal ini yang sehat. Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.PG : Sangat bisa, jadi anak-anak kecil itu datang ke dunia sebetulnya dengan tidak memiliki pagar mental yang memisahkan antara diri mereka dan diri orang lain. Itu sebabnya anak-anak kita sbut adalah anak-anak yang berada pada masa "impressionable" yaitu masa mudah dipengaruhi.
Artinya kita ini orang dewasa, waktu kita melihat film kita bisa membedakan antara film dan saya, ada pagar yang memisahkan kita dan objek itu, anak kecil tidak. Jadi apa yang dilihat, apa yang ditonton itu meresap masuk. Itu sebabnya anak-anak kecil percaya adanya Sinterklas, begitu mereka menginjak dewasa mereka tahu itu adalah tidak benar-benar. Kenapa anak kecil bisa percaya Sinterklas itu benar-benar Sinterklas, karena apa yang dilihat itulah kenyataan baginya. Maka langsung masuk ke dalamnya, oleh sebab itu jangan membiarkan anak-anak nonton film yang mengerikan, menakutkan, film horor karena film itu benar-benar masuk dalam dirinya. Tapi itu adalah masa di mana anak-anak sebetulnya mengembangkan kreatifitasnya dengan masuknya objek-objek dari luar ke dalam pikirannya, dia mengembangkan fantasinya, dan itu adalah bibit dari kreatifitas sebetulnya. Tapi perlahan-lahan dia juga akan mulai mengembangkan pagar yang membedakan antara yang dilihatnya dan dirinya, sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh objek-objek dari luar dirinya. Contoh mengenai dokter-dokteran, kemungkinan memang mereka melihat dokter memeriksa badan mereka, harus membuka baju. Sekali lagi karena anak belum memiliki pagar mental, maka dia menganggap ini adalah hal yang benar, yang memang bisa dilakukan jadi mereka mulai memainkannya juga seperti dokter-dokteran. Tapi kalau bagi anak yang sudah menginjak remaja atau pra-remaja, kemungkinan besar ini bukan karena fantasinya tetapi karena rasa ingin tahunya akan tubuh lawan jenisnya, dimulailah permainan-permainan seperti itu. Dan saya setuju dengan Pak Gunawan efeknya memang bisa sangat merugikan anak kecil, di sinilah kita bisa melihat kasus-kasus yang disebut "bolestasi" yaitu pencemaran anak-anak di bawah umur. Ibu Vivian mungkin bisa memberikan komentar mengenai hal ini?VS : Pencemaran anak, saya kira kalau fantasi anak itu diawasi orang tua maka jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Jadi kalau permainan dokter-dokteran, biasanya anak saya duu itu bukan terhadap manusia tapi terhadap boneka.
VS : Itu mungkin harus dilihat keadaannya, saya ingat dulu anak saya waktu kecil dia mengatakan ada sesuatu yang sangat menakutkan, di kamar itu ada sesuatu binatang yang besar, binatang yan menakutkan itu mungkin termasuk fantasi.
Waktu itu saya mengatakan apa benar, di mana coba tunjukkan kepada saya, coba perlihatkan di mana, ternyata tidak ada. Nah waktu itu saya tahu dia bukan berbohong, tapi suatu ketakutan karena daya fantasinya, dia baru melihat sesuatu.VS : Itu tergantung bagaimana orang tua yang menangani.
PG : Biasanya berdampak juga ya Pak Gunawan, ini contoh pengalaman pribadi saya. Saya masih ingat, waktu saya masih kecil mau nonton film manusia yang bisa berubah menjadi laba-laba dan kemuian menyerang orang-orang.
Tangan-tangannya yang mula-mula dikeluarkan, tangannya itu tiba-tiba berbulu. Ceritanya itu masih saya ingat sampai sekarang. Padahal saya ketika itu masih berumur sekitar 6, 7 tahun, jadi bayangan itu begitu nyata pada saya dan sangat menakutkan. Dan saya masih ingat untuk waktu yang lama saya ini orang yang mudah takut dengan misalnya kegelapan, kesendirian. Kenapa saya suka mengingat? Dan saya harus mengatakan awalnya adalah karena film itu dan saya berharap orang tua saya dulu melarang saya menonton film itu. Tapi mereka juga tidak memahami hal ini, jadi membiarkan saya menonton film seperti itu di televisi. Jadi itu sangat merugikan saya, menakutkan sekali sebab sekali lagi bagi saya itu adalah hal yang sangat riil. Menyinggung tadi tentang fantasi dan berbohong Pak Gunawan, saya menggunakan dua istilah yang berbeda. Yang pertama adalah bohong di dalam mental itu adalah bohong yang berkaitan dengan pertumbuhan anak dan yang kedua adalah bohong moral, jadi memang berbohong untuk mendapatkan keinginannya dan sudah menyadari itu adalah bohong dan tidak boleh. Tapi yang pertama bohong di dalam mental yang tadi sudah disinggung oleh Pak Gunawan dan juga Ibu Vivian, yakni anak-anak kadang-kadang menceritakan hal-hal yang merupakan buah fantasinya saja, jadi ya untuk menghadapi cerita seperti itu saya kira ada baiknya kita mungkin meladeni, tapi seperti yang dilakukan oleh Ibu Vivian dia tidak langsung berkata "kamu jangan bohong", karena itu akan memadamkan rasa ingin tahu si anak dan daya fantasinya. Jadi saya kira tindakan yang sangat baik adalah mengikuti si anak, menanyakan di mana binatangnya dan waktu tidak ketemu ya sudah si anak pun juga puas. Tapi misalkan si anak berkata: "Papa atau mama percaya tidak saya bertemu dengan binatang itu tadi?" Saya kira respons yang lebih wajar adalah mengatakan: "Kalau kamu memang bertemu ya papa percaya, coba gambarkan seperti apa wajahnya". Supaya anak ini tidak berkepanjangan dalam berfantasi maka harus terus kita awasi. Kalau dia mulai terus-menerus berfantasi, tidak bisa sekolah, itu baru berbahaya. Tapi kalau dia masih bisa bersekolah dan dalam percakapan sehari-hari tetap bisa berkomunikasi dengan kita itu tidak apa-apa, itu bagian kecil dari kehidupan fantasinya. Berbohong moral biasa dilakukan oleh anak-anak yang sudah menginjak usia pra-remaja dan remaja, yaitu membohongi orang tua.VS : Kalau dulu saya masih ingat waktu anak-anak saya masih kecil saya bergabung di sekolah minggu, ada cerita Alkitab tapi ada dongeng-dongeng yang sesuai dengan umur mereka tentang binatan-binatang yang lucu, yang mereka bisa buat ini, itu.
Jadi semuanya saya gabung jadi satu sesuai dengan pertumbuhan mereka, tapi juga ada firman Tuhan.VS : Karena hal itu yang disenangi anak, itu sesuai dengan dunianya.
VS : Mungkin kita tekankan firman Tuhan itu sesuatu yang nyata. Nah ini sesuatu yang dongeng saja.
PG : Saya kira penting juga agar kita tidak memasukkan terlalu banyak dongeng yang negatif terhadap anak-anak kita. Saya tahu dalam konteks budaya kita banyak dongeng mengenai kuntilanak mislnya, jadi hal-hal yang memang bersifat dongeng tapi menyeramkan.
Dan saya sudah bertemu beberapa kali di mana ada orang-orang yang sudah dewasa, luar biasa takut setan jadi meskipun anak Tuhan, percaya sama Tuhan Yesus tapi sangat takut setan. Ini bukan masalah rohani sebetulnya, jadi orang suka berkata masa sudah jadi anak Tuhan takut pada setan. Masalahnya bukan rohani tapi masalah kejiwaan yaitu apa yang sudah ditanamkan pada benak si anak pada usia yang sangat kecil itu benar-benar cenderung berdampak terlalu kuat dan negatif. Jadi harus juga membatasi dongeng-dongeng seperti itu. Kalau saya akan menghindarkan anak-anak untuk mendengarkan dongeng-dongeng seperti tadi itu.PG : Anak saya mendengar cerita dari temannya tentang 666, 666 itu ada di Kitab Wahyu yaitu orang yang menyeramkan dan semua akan dibunuh olehnya; setiap kali dia mendengar cerita itu dia mutah.
Begitu kuat reaksi ketakutannya dan temannya ini memang setingkat lebih tinggi dari dia dan rupanya hoby menceritakan dari Wahyu yang memang salah kaprah. Saya masih ingat untuk jangka waktu tertentu saya harus memberikan dia penjelasan-penjelasan, dia suka bertanya, "Betul, tidak Papa, memang ada tidak?" Saya harus menjelaskan, saya tunjukkan di Alkitab, saya jelaskan artinya tapi dia sering bertanya. Akhirnya saya beritahu dia bahwa temanmu itu memberitahukan hal yang salah dan kamu tidak usah mendengarkannya. Tapi karena rasa ingin tahunya dia mau juga mendengar, dan begitu dia mendengar saya diberitahu gurunya bahwa dia muntah. Saya dipanggil ke sekolah untuk membawa dia pulang, dipikir sakit ternyata ketakutan. Itu berlangsung selama 2,3 bulan, itu saya ingat, setelah itu saya jelaskan dan mulai tenang kembali. Jadi betul kata Pak Gunawan ya, di rumah kita bisa kendalikan, pisahkan atau bersihkan dongeng-dongeng seperti itu tadi, tapi di tempat lain di sekolah misalnya tidak bisa. Namun di situlah fungsi orang tua, orang tua memang harus dekat dengan anak, mengerti akan keadaan anak dan hadir dalam hidup nya, sehingga pada waktu ada masukan-masukan negatif seperti ini kita bisa langsung menanggapi dan menolongnya.PG : Ini diambil dari
VS : Saya kira sangat penting sekali karena mereka mungkin di rumah sama sekali tidak ada kesempatan untuk pendidikan rohani dan di sini guru Sekolah Minggu yang bisa membantu mereka.
VS : Saya kira kalau di Indonesia masih kurang, tapi saya lihat juga dulu pernah ada beberapa terbitan, beberapa ini dengan dongeng pakai binatang yang lucu-lucu.
VS : Saya kira tidak apa-apa, (GS : Tidak masalah ya Bu ya?) tidak ada masalah malah mereka justru (GS :Bisa komunikatif dengan anak) ya
PG : Saya hanya ingin menggarisbawahi yang tadi dikatakan Ibu Vivian, yaitu ibu justru bermain dengan anak dalam dunia fantasinya, saya kira itulah tugas orang tua. Orang tua memang harus bekecimpung dalam dunia anak.
Walaupun dalam dunia fantasi orang tua berkecimpung, kalau ini sudah dibiasakan akan terus berlanjut sampai dia remaja dan dia menjadi anak-anak yang sudah dewasa. Kita akan masuk dan berkecimpung dalam kehidupannya, itu yang perlu kita garis bawahi.VS : Mulai kecil.
VS : Betul tapi sebetulnya menyenangkan juga.
Ya jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi, kami telah mempersembahkan sebuah perbincangan tentang bagaimana memahami fantasi anak, daya fantasi anak dan kali ini kami berbincang-bincang dengan Ibu Dr. Vivian Andriani Soesilo dan juga Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara Telaga (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Bagi Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dari studio kami berempat mengucapkan sampai jumpa pada acara Telaga yang akan datang.END_DATA
Fantasi adalah bagian kehidupan anak dan tidak perlu kita takuti. Kita kadang-kadang melihat anak berbicara sendiri di depan cermin, berbicara dengan bonekanya, tapi itu sesuatu yang normal. Karena memang itulah hidupnya, fantasinya, khayalannya yang sangat luas.
Tetapi anak harus mempunyai keseimbangan antara bermain sendiri dalam fantasinya dan bermain dengan anak-anak lain. Ada orang yang memang berbahagia karena anaknya itu sering main dengan anak-anak lain, tapi sebetulnya anak-anak sebaiknya bisa juga bermain sendiri, dia bisa menikmati waktunya sendiri, inilah sebetulnya awal dari kreatifitas. Karena dalam kesendiriannya dia harus menciptakan permainan dan harus melebarkan wawasannya, daya fantasi atau daya khayalnya, ini yang sehat.
Tapi kalau hanya bermain sendiri dengan daya khayalnya dan kurang bermain dengan anak-anak lain, itu juga berbahaya. Kalau terus seperti itu sampai dia usia remaja fungsi sosialnya akan terganggu sekali dan itu merupakan bibit dari gangguan jiwa yang lainnya.
Sebagai ayah dan ibu Kristen, kita perlu memasukkan yang bagus, yang layak dipuji, yang indah, yang sedap didengar, yang mulia, yang agung pada benak anak-anak kita. Karena ini adalah bahan-bahan yang akan membentuk si anak.
Jadi kalau kita menanamkan yang kotor, yang muncul adalah diri yang tercemar, menanamkan yang bersih kita juga akan mendapatkan diri yang lebih murni.