Sarang yang Kosong

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Parakaleo
Abstrak: 
Sarang yang kosong merupakan istilah yang melukiskan periode di mana orangtua akan tinggal sendiri lagi tanpa anak yang telah akil balig. Ibarat induk burung yang membesarkan anaknya dalam sarang, pada suatu ketika ia harus membiarkan anaknya terbang meninggalkan sarangan untuk selamanya.
Isi: 

Di dalam bukunya, 'Turning Hearts Toward Home' sebuah biografi tentang kehidupan dan pelayanan Dr. James DobsonùRolf Zettersten menuliskan perjumpaannya dengan Dr. Dobson di kantornya pada 1989. Dia menemukan Dr. Dobson sedang terduduk dengan mata merah dan pipi yang basah dengan air mata. Sehari sebelumnya, Dr. Dobson baru saja melepas putra bungsunya, Ryan, untuk pergi berkuliah ke tempat yang jauh, kepergian yang mengawali fase 'sarang yang kosong' di keluarga Dr. Dobson. Di dalam surat yang ditulisnya sendiri untuk melukiskan perasaan kehilangannya itu, Dr. Dobson menggambarkan rumahnya setelah ditinggal oleh putra-putrinya bak 'biara/rumah makam/musium'. Secara lebih grafik Dr. Dobson menggambarkan masa 'sarang yang kosong' itu sebagai waktu di mana ban sepeda akan kempes, skateboard menjadi bengkok dan tergeletak begitu saja di garasi, ayunan terdiam sunyi, dan ranjang kosong ditinggal penghuninya.

Sarang yang kosong merupakan istilah yang melukiskan periode di mana orangtua akan tinggal sendiri lagi tanpa anak yang telah akil balig. Ibarat induk burung yang membesarkan anaknya dalam sarang, pada suatu ketika ia harus membiarkan anaknya terbang meninggalkan sarang untuk selamanya. Saya belum memasuki fase itu dan tidak bisa berkata banyak tentang masa yang belum saya lalui. Namun, dalam kurun 3 tahun, jika Tuhan kehendaki, saya dan istri saya akan mulai harus melepas anak pertama kami. Kadang, meski belum mengalaminya secara langsung, pemikiran bahwa saya akan berpisah dengan anak-anak sudah cukup meresahkan dan membawa kesedihan yang dalam.

Seperti keluarga lainnya, setiap hari kami melakukan hal-hal yang rutin: bangun tidur, menyediakan air untuk anak mandi, istri saya menyiapkan sarapan untuk kami semua, anak-anak pergi ke sekolah dan akhirnya pulang dari sekolah, menonton kartun, belajar, latihan piano, menonton televisi lagi, saat teduh, dan tidur. Namun dalam kerutinan itulah terletak bonding (ikatan batiniah) dan familiarity (pengenalan dan keterbiasaan).

Gordon Allport mengemukakan bahwa diri manusia terbangun dari kepingan-kepingan psikofisik yang disatukan oleh intensi (tujuan atau arah hidup). Psikofisik menandakan bahwa pribadi manusia merupakan kombinasi dari pengalaman atau bentukan yang bersifat psikologis dan bawaan yang berkodrat biologis. Semua itu bercampur menjadi diri dan diri itu menjadi utuh oleh karena adanya tujuan hidup yang mengarah ke masa depan.

Kehadiran anak dan pengalaman hidup bersamanya hari lepas hari sudah tentu merupakan kontribusi terhadap diri kita pulaùkontribusi yang membentuk diri kita. Keberadaan anak juga merupakan bagian dari intensi (tujuan dan arah hidup) yang membuat kita melangkah ke depan dalam kepastian. Kepergian anak menuntut kita untuk menciptakan ulang intensi atau tujuan dan arah hidup kita. Anak-anak yang telah menjadi bagian diri kita sekarang dan arah hidup di masa mendatang akan terbang meninggalkan sarangnya dan sesuatu pada diri kita akan turut terbang pula bersamanya. Ikatan itu akan lepas, segalanya yang begitu dikenal dan terbiasa akan berubah menjadi asing: ban sepedanya kempes, ayunannya terdiam sunyi, ranjangnya kosong. Kepingan psikofisik kita tidak utuh lagi dan intensi kita goyang.

Saya tidak sedang membicarakan pengalaman pribadi melewati sarang yang kosong itu sebab saya belum mencapainya. Sebetulnya saya tengah membagikan pengalaman saya sekarang yang sedang dibayang-bayangi oleh gambaran terbangnya anak kami satu per satu. Buat sebagian saudara, saya mungkin terlalu sentimental; buat saya sendiri, saya hancur dan sedih melewati batas sentimental. Belasan tahun saya membagi hidup dengan mereka dan sekarang kepergian yang tadinya nun jauh di sana mulai tampak. Bagaimanakah saya dapat hidup tanpa mendengar derai tertawanya, memegang tangannya, mengecup pipinya sebelum tidur, dan memeluk tubuhnya ?

Beberapa waktu yang lalu di tengah malam buta, kami dikejutkan oleh suara panggilan salah seorang anak kami. Rupanya ia terjaga karena sakit kepala dan saya langsung memapahnya ke kamar mandi serta menolongnya untuk muntah. Setelah itu istri saya membawakan minyak kayu putih yang langsung saya oleskan pada tubuhnya. Dalam waktu sekejap, ia pun terlelap kembali. Malam itu saya tidur di sampingnya dan untuk sejenak saya merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi. "I want to be there when you throw up." Itulah kata-kata yang keluar dari hati saya sewaktu saya memandanginya tidur dengan pulas. "I want to be there when you throw up."

Saya ingin bersamanya sewaktu ia muntah, sebuah permintaan yang musykil dan lebih merupakan sebuah protes terhadap kodrat alamiah yang telah Tuhan tetapkan. Kepingan itu harus lepas dengan bebas; tatapan ke masa depan itu mesti berganti arah walau dengan berat hati. Saya tidak boleh turut terbang meninggalkan sarang yang kosong itu. Sarang yang kosong itu untuk saya.

Sayup-sayup saya mendengar, Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk. Betapa susahnya!