Mendisiplin Anak
Salah satu topik pertengkaran terhangat di banyak keluarga dewasa ini adalah mengenai pelajaran sekolah anak-anak. biasanya salah satu orangtua akan berperan sebagai si pendisiplin sedangkan yang satunya akan berfungsi sebagai si pelindung anak yang malang ini. Pertengkaran dimulai tatkala si pelindung merasa tidak tahan melihat si anak dimarahi oleh si pendisiplin. Sebaliknya, si pendisiplin menjadi jengkel karena si anak menatapnya dengan pandangan, ôEngkau orangtua yang jahat!ö dan melihat si pelindung dengan tatapan, ôEngkau orangtua yang baik.ö
Saya percaya skenario di atas ini mewakili keadaan di rumah kitaùpertengkaran demi pertengkaran karena kita peduli dengan anak kita. Jika kita tidak mempedulikannya, mungkin kita pun tidak perlu meributkan performa belajarnya. Di pihak yang satu kita tidak rela membiarkan rapor anak kita hangus kebakaran; di pihak lain, kita pun tidak tega melihatnya tersiksa oleh tuntutan akademik yang tampaknya makin hari makin terlalu tinggi untuk digapai.
Sebagaimana saya uraikan di atas, pada umumnya pertengkaran di antara orangtua muncul seiring dengan munculnya kedua peran yang bersifat antagonistik itu: si pendisiplin yang kejam melawan si pelindung yang penuh dengan belas kasihan. Dengan berjalannya waktu, peranan-peranan ini bukan saja mencuat pada topik sekolah anak, celakanya, kedua peranan ini mulai mengalir pula ke daerah-daerah kehidupan lainnya, misalnya dalam pengambilan keputusan bersama terhadap pekerja atau karyawan, atau bagaimana menghadapi teman yang sedang memiliki kebutuhan untuk ditolong.
Pada akhirnya, si pelindung sungguh-sungguh merasa bahwa mitra pernikahannya memang orang yang berhati singa. Sebaliknya, si pendisiplin menjadi makin muak dengan kelembutan si pelindung yang dianggapnya berbaik hati untuk tujuan tertentu saja dan bahwa pada dasarnya ia tidak berani menghadapi kenyataan hidup. Tidak jarang, si anak juga turut terseret masuk ke dalam kancah pertempuran ini dan dipaksa memihak dengan salah satu orangtuanya.
Apabila ini sudah terjadi, si anak sudah pasti akan menjadi korban atau sasaran kemarahan kita kepada pasangan. Kita tahu bahwa cara yang ampuh untuk menyakiti si pelindung adalah dengan cara menyakiti anak yang disayanginya. Sebaliknya, kita pun paham bahwa cara terbaik melukai hati si pendisiplin adalah dengan cara melindungi dan dekat dengan si anak agar makin tampak kebengisan pasangan kita.
Ada beberapa saran yang ingin saya tawarkan sebagai jalan pemecahannya. Pertama, fokuskan pada permasalahannya. bukankah inti persoalannya adalah bagaimana memotivasi si anak untuk belajar dengan penuh tanggung jawab? Jadi, duduklah bersama dan susunlah strategi bagaimana memotivasi si anak. Misalnya, tentukan jam belajarnya DAN jam mainnya. Saya sengaja menekankan pentingnya memasukkan waktu main ke dalam jadwal hidupnya karena tanpa waktu main, si anak tidak akan menggunakan waktu belajarnya dengan efektif.
Atau, tetapkan sistem imbalan dan hukuman yang pasti agar bukan saja anak tahu konsekuensi perbuatannya, kita pun sebagai orangtua tidak perlu lagi meributkan bentuk hukuman atau imbalan yang sepadan untuknya.
Sadarilah pula bahwa anak memiliki keunikannya dan ini akan berpengaruh pada tanggapannya terhadap ancaman kita. Anak yang introvert dan perasa tidak perlu mendapatkan omelan yang keras, apalagi pukulan. Kebalikannya, anak yang ekstrovert dan aktif, cenderung kurang sensitif sehingga membutuhkan teguran yang lebih keras dan bilamana perlu, pukulan yang sesuai di pantatnya.
Kedua, jika harus bertengkar juga, hindarkan pertengkaran dan pembelaan di muka anak. Ibarat pusaran air, pertengkaran dan pembelaan hanyalah akan menenggelamkan perahu keluarga kita sendiri. Sewaktu berselisih pandang, hindarkan lontaran kata-kata yang membuat pasangan kita merasa seakan-akan ia tidak mencintai anak itu. Tuduhan seperti ini hanyalah akan memancingnya untuk balik menantang, apa bagian kita atau apa itu yang telah kita kerjakan untuk anak kita. Pada titik ini pertengkaran berpotensi untuk lari di tempat dan seperti kompor gas, ia makin memanas.
Yang kita harus lakukan justru kebalikannya. Kita mesti memberi penghargaan kepada pasangan yang memang lebih banyak mencurahkan waktu untuk menolong pelajaran anak kita. Saya khawatir bahwa orangtua yang paling sabar kepada anak sebenarnya adalah orangtua yang tidak pernah menunggui anak belajar. Barangsiapa pernah menemani anak belajar akan tahu betapa sulitnya untuk bisa tetap lemah lembut dan sabar setelah satu jam bersamanya.
Kita yang pelindung perlu mengakui usaha keras pasangan kita yang berupaya mendidik anak agar berdisiplin dan kita yang pendisiplin, harus mengakui bahwa memang pasangan kita tidak ingin menambah penderitaan anak. Pengakuan seperti ini membawa kita kembali ke pokok permasalahannya yakni bahwa sebenarnya kita menginginkan anak belajar dengan baik dan bahwa sesungguhnya kita mengasihi anak ini. Dengan kata lain, kembalilah kepada saran pertama di atas dan duduklah bersama untuk menentukan strategi bersama.
Mungkin penggalan skenario dan saran ini tampil terlalu menyederhanakan masalah. Saya setuju dengan penilaian Saudara. Sungguhpun demikian, saya tetap meminta agar Saudara mencoba melakukan yang sederhana ini dan saya percaya bahwa Saudara akan menemukan bahwa metode ini tidak semudah yang Saudara duga. Ternyata memfokuskan pada inti masalah dan memberi penghargaan bukanlah hal yang mudah. Sederhana dan mudah memang tidak harus identik. Namun, makin sering kita melakukannya, makin tampak hasilnya dan makin pudar pula peranan antagonistik di antara kita. Kita tidak perlu lagi membagi tugas sebagai pelindung atau pendisiplin; kita kembali menjadi orangtua yang peduli dengan anak. Titik.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 4028 kali dibaca