TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > JANGAN LUPA GETSEMANI, JANGAN LUPA CINTA TUHAN

JANGAN LUPA GETSEMANI, JANGAN LUPA CINTA TUHAN

April


JANGAN LUPA GETSEMANI, 
JANGAN LUPA CINTA TUHAN 

Ev. Lidanial, M.K., M.Pd. *)

Judul artikel di atas merupakan penggalan dari lagu "Pimpin ke Kalvari." Sebuah lagu yang mengingatkan kita tentang karya salib Kristus di Kalvari, yang membuktikan keajaiban dan keagungan cinta-Nya bagi kita semua sebagai manusia berdosa. Ketika lagu ini, khususnya penggalan kalimat di atas, dinyanyikan oleh paduan suara dalam ibadah Jumat Agung yang saya hadiri beberapa hari yang lalu, dalam pikiran saya terlintas kejadian yang terus berulang di Sekolah Minggu kelas khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) dimana saya melayani. Selama sekitar tiga bulan terakhir, setiap minggu saya selalu mengajak anak-anak menyanyi sebuah lagu berjudul "Ingat Yesus," yang melodinya diadaptasi dari lagu "Kalau Kau Senang Hati, Tepuk Tangan" seperti yang terlihat pada gambar di bawah. Semua ABK yang mengikuti kelas khusus tersebut belum mampu membaca karena kondisi disabilitas mereka. Karena itu, selain mengajarkannya berulang-ulang, saya menggunakan gambar-gambar agar mereka dapat lebih mudah memahami dan mengingat lagu yang diajarkan.

Sebulan yang lalu, ketika kami menyanyi lagu "Ingat Yesus," Andi (7 tahun, bukan nama sebenarnya), tanpa ada yang mengarahkan, beranjak dari posisi duduk di dekat neneknya yang selalu mendampingi setiap ke Sekolah Minggu, mendekat ke saya dan dengan intonasi serta tempo suaranya yang khas, dengan pengucapan yang tidak terlalu jelas, tetapi dengan ekspresi wajah yang terlihat begitu bersemangat berkata, "Laoshi, Andi tenggelam … Tuhan Yesus tolong." Mendengar komentar ini, setelah lagu tersebut selesai dinyanyikan, saya bertanya kepada Andi, "Oh, Andi tenggelam di mana?" Pertanyaan saya langsung direspons oleh nenek Andi yang menjelaskan bahwa beberapa hari sebelumnya Andi diajak oleh ayahnya ke kolam renang yang ketinggian airnya beberapa sentimeter melampaui tinggi badan Andi. Pada waktu itu nenek Andi juga ikut menemani. Andi biasanya selalu ditemani oleh ayahnya ketika akan turun ke kolam. Tetapi kali itu, ketika sampai di kolam renang, setelah membuka baju, Andi segera terjun ke kolam renang tanpa sepengetahuan ayahnya.

Melihat Andi yang sudah berada di dalam kolam dan berupaya keras menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, nenek Andi sangat khawatir dan meminta ayah Andi untuk segera turun dan mendampinginya. Tetapi ayah Andi tidak langsung turun ke kolam dan membantu anaknya. Karena dia tahu dan yakin bahwa walaupun Andi belum terlalu menguasai gaya berenang tertentu, Andi cukup mampu menggerak-gerakkan tangan dan kakinya untuk dapat bertahan sehingga tidak sampai tenggelam. Dan terbukti, setelah beberapa saat berusaha, Andi bisa bertahan dan tidak tenggelam. Setelah itu, dengan dibantu ayahnya, Andi naik dan keluar dari kolam.

Walaupun Andi bisa bertahan untuk tidak sampai tenggelam seperti keyakinan ayahnya, yang memang selama ini selalu mendampinginya ketika berenang, melihat ekspresi wajah Andi yang masih tampak tegang dan takut, neneknya berusaha menguatkan Andi dan mengingatkannya untuk berterima kasih kepada Tuhan Yesus yang sudah menolongnya sehingga tidak tenggelam. Rupanya pengalaman tersebut begitu berkesan dan terus diingat Andi. Karena itu, selama sebulan terakhir ini, setiap datang ke Sekolah Minggu, Andi selalu mendekati saya dan berkata, "Laoshi, Andi tenggelam … Tuhan Yesus tolong." Kalimat ini bisa diucapkannya berkali-kali ketika kami bertemu setiap minggunya.

Perkataan Andi inilah yang terlintas dalam benak saya ketika mendengar lagu "Pimpin ke Kalvari" yang dinyanyikan oleh paduan suara, khususnya kalimat: "Jangan lupa Getsemani. … Jangan lupa cinta Tuhan." Pengalaman ditolong oleh Tuhan itu telah menjadi pengalaman yang sangat personal dan bermakna bagi Andi, yang selalu diingatnya. Dengan kata lain, bagi Andi pengalaman tersebut membuktikan bahwa Tuhan Yesus selalu ada bersama dengannya. Pengalaman itu menjadi bukti cinta Tuhan Yesus kepadanya, yang tidak pernah dilupakannya dan dia selalu ingin bercerita tentang pengalaman itu.

Saya teringat dengan kesaksian seorang rekan yang disampaikannya dalam sebuah persekutuan. Pada waktu itu, dia sedang mengalami pergumulan yang sangat berat. Dia begitu tertekan dengan semua masalah yang datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Dia sudah kehilangan harapan dan merasa tidak ada orang yang bisa mengerti dan peduli dengannya. Bahkan, di dalam hatinya yang terdalam, dia sempat memertanyakan kasih Tuhan yang terkesan meninggalkannya berjuang sendirian.

Di tengah pergumulannya yang begitu berat, pada suatu hari dia tertegun dan terdiam cukup lama di depan sebuah lukisan Kristus yang tersalib dan di bagian bawah lukisan tersebut tertulis: "Saya bertanya kepada Yesus, "Seberapa besar cinta-Mu kepadaku?" "Sebesar ini," jawab-Nya. Kemudian Dia merentangkan tangan-Nya dan mati." Roh Kudus berbisik dengan lembut di dalam hatinya yang sudah sempat meragukan cinta Tuhan. Tuhan yang sudah rela mati baginya tidak mungkin membiarkannya sendirian apalagi meninggalkannya. Momen itu

menjadi momen yang sangat menguatkan dan mengubahkannya.

Peristiwa salib adalah peristiwa teragung dalam sejarah kehidupan manusia. Sang Pencipta rela untuk "membiarkan" diri-Nya diperlakukan dengan sedemikian kejinya bahkan dipermalukan oleh ciptaan-Nya. Sebagai Allah, di dalam kemahatahuan-Nya, Yesus tahu betapa mengerikan dan menyakitkan penderitaan yang akan Dia alami, sampai ketika bersama dengan murid-murid-Nya di Taman Getsemani, Dia berkata, "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya …" (Matius 26:38 [1]). Di dalam kemanusiaan-Nya, mengetahui kesengsaraan salib yang akan dijalani-Nya, Yesus merasakan ketakutan yang luar biasa seperti yang tertulis: "Ia sangat ketakutan dan makin bersungguh-sungguh berdoa. Peluh-Nya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah" (Lukas 22:44 [2]). Semua kengerian, kekejian dan kekejaman hukuman salib itu rela dijalani-Nya karena kasih-Nya yang begitu besar bagi kita manusia berdosa. Kasih ilahi yang begitu agung dan melampaui logika manusia untuk memahaminya, seperti yang disampaikan Paulus, "Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebar dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah" (Efesus 3:18-19 [3]).

Pertanyaan refleksi bagi setiap kita sebagai orang-orang yang telah ditebus dengan darah Kristus, seberapa bermaknakah karya salib-Nya bagi kita secara pribadi? Apakah bagi kita sudah cukup sekadar kita tahu kisah hukuman penyiksaan yang mengerikan itu dan sesaat mengingat kembali peristiwa tersebut beberapa kali dalam satu tahun dalam momen Sakramen Perjamuan Kudus atau karena seringnya absen beribadah, hanya setahun sekali ketika momen Jumat Agung? Kapan terakhir kali kita merasakan betapa agung dan ajaibnya cinta Tuhan kepada kita, yang sesungguhnya sama sekali tidak layak untuk menerima cinta-Nya, yang membuat kita hanya mampu tertunduk malu di hadapan-Nya dan kembali mengingatkan kita untuk terus belajar dan berupaya dengan segenap hati "membalas" cinta-Nya itu? Seberapa sering hati kita tenggelam di dalam keharuan dan rasa syukur yang begitu dalam ketika mengenang kembali bukti cinta Kristus bagi kita dengan pengorbanan-Nya di Kalvari dan momen-momen "perjumpaan dengan Tuhan" itu kembali mengobarkan api dalam hati kita untuk setia dalam jalan persembahan hidup kita bagi-Nya? Kiranya di dalam anugerah Tuhan, tidak pernah sesaat pun kita melupakan cinta-Nya yang begitu agung dan ajaib. Khususnya ketika kita sedang berjalan dalam lembah kekelaman kehidupan ini, kita dianugerahkan momen-momen di mana hati kita tenggelam dalam keharuan dan rasa syukur ketika mengenang kembali pengorbanan-Nya demi keselamatan kita. Jangan lupa Getsemani, jangan lupa cinta Tuhan, sampai kita bertemu dengan-Nya muka dengan muka di dalam kekekalan sorga yang mulia.

*) Konselor PKTK Sidoarjo yang tinggal di Bengkayang, Kalimantan Barat.



TELAGA MENJAWAB 

PERTANYAAN :

Salam,
Saya seorang ibu dengan 3 anak laki-laki, usia 11 tahun, 8 tahun dan 5 tahun. Saya ingin bertanya, bagaimana cara supaya kita bisa bebas dari belenggu masa lalu, terutama dari pola asuh orang tua yang salah, secara tidak sadar terbawa dalam cara saya mendidik anak-anak. Sedikit sharing, Papa saya orang yang sangat keras dan kaku, kalau marah meledak-ledak dan merusak barang. Ibu saya sangat sabar dan cuek. Sejak kecil saya diasuh oleh pembantu yang setia mulai saya umur 9 bulan sampai beliau meninggal saat saya usia 25 tahun. Orang tua sangat membanggakan saya karena saya paling pandai dibandingkan kakak-kakak saya, sejak kecil saya jarang menerima nasihat dari orang tua, kebanyakan yang mereka sampaikan dalam bentuk perintah yang harus dituruti tanpa alasan, saya juga tidak ada kedekatan batin dengan mereka. Sekarang saya bingung, tidak punya contoh bagaimana mendidik anak, tidak bisa bicara dengan anak tanpa emosi. Yang saya rasakan sekarang anak-anak saya kurang mau mendengar saya, mereka lebih taat kepada papanya, bukan karena mereka nakal, tapi salah saya yang kurang bisa mengerti mereka. Sering saya merasa bersalah dan merasa gagal, tidak bisa menjadi ibu.
Teman-teman saya begitu bangga dan menikmati peran mereka sebagai Ibu, saya kadang justru benci, karena saya harus selalu dan melayani anak-anak, mulai bangun, berangkat sekolah, masak, mengajari anak, cuci piring, merapikan rumah dan sebagainya. Sering saya menyesal telah "resign" dari pekerjaan, lebih ingin menjadi wanita karier daripada ibu rumah tangga. Suami menghibur, ibu rumah tangga adalah tugas mulia, saya bilang saya tidak bangga, kalau bisa memilih saya tetap tidak mau. Mungkin karena itu saya merasa tidak nyaman dan akhirnya suka sekali memarahi anak, sangat mudah emosi dengan kesalahan-kesalahan kecil yang mereka buat. Pernah dan sering pada titik tertentu saya benci keberadaan anak-anak yang sangat mengganggu. Itu dosa. Semakin sering saya marah, semakin saya sadar saya bukan Ibu yang baik, semakin saya menyalahkan diri sendiri. Bagaimana saya bisa lepas dari jerat ini? Saya sudah melakukan beberapa hal yang saya suka selama anak-anak di sekolah, tapi begitu sore saat semua di rumah, dengan mudahnya lagi saya marah-marah.

Sekian dulu, semoga Telaga bisa memberikan tanggapan, terima kasih.

Salam : Ibu FNY 


JAWABAN :

Shalom Ibu FNY,
Pertama-tama saran saya adalah:

  • Berdamai dahulu dengan situasi yang ada ini, yaitu bahwa Anda seorang istri dan Ibu dari 3 anak, maka Anda memiliki panggilan sebagai Ibu dan istri. Berdamailah, karena selama Anda belum berdamai maka sulit untuk menjalani semua ini. Yang ada mengurus anak, berelasi dengan anak itu menjadi ganjalan, beban dan tidak dapat Anda nikmati, bahkan Anda katakan Anda membenci semua tugas sebagai ibu itu. Berdamailah, terimalah panggilan itu.
  • Setelah berdamai maka salah satu beban terlepas dari pundak Anda. Bangun di pagi hari, menyiapkan anak untuk sekolah itu bukan lagi beban tapi menjadi satu kesukaan, karena tidak semua Ibu bisa memiliki kesempatan seperti Anda. Mulai cintailah panggilan itu.
  • Kalau belum bisa mencintai panggilan itu, maka tanamkan konsep bahwa ini adalah tanggungjawab saya sebagai orang tua. Anak-anak adalah buah dari pernikahan kalian. Orang tua yang benar berani dan mau bertanggungjawab.
  • Langkah yang paling "smooth"/lancar adalah Anda mulai ambil waktu untuk berdoa dan menaikkan syukur untuk anak-anak, karena mereka adalah biji mata Allah yang dititipkan kepada Anda.
  • Anda berkata bahwa Anda adalah "produk" dari pola asuh yang salah. Papa keras, Mama cuek dan Anda dibesarkan oleh pembantu. Sekarang Tuhan mengizinkan Anda untuk sungguh membesarkan anak-anak kalian sendiri, bukan dibesarkan pembantu. Inilah cara untuk mengubah masa lalu, karena Anda dibesarkan oleh pembantu.
  • Anda sadar dan mengalami pengalaman dari masa lalu dimana Papa keras dan Mama cuek. Jangan ulangi model yang sama. Anda merasa bagaimana tidak enaknya dibesarkan tanpa peran orang tua. Sekarang Anda punya banyak kesempatan untuk mengasuh mereka.

Jadi, caranya adalah berdamai dengan situasi ini, mulai mencintai, belajar bertanggungjawab dengan anak-anak, karena mereka titipan Tuhan, bukan kita pemilik mereka.

Sebentar lagi anak-anak Anda dewasa, kalau Anda tidak berubah dengan pola asuh cuek, emosian ini maka pola asuh tersebut akan menurun lagi ke anak-anak Anda.

Jadi segera putuskan lingkaran pola asuh yang tidak sehat itu mulai dari diri Anda dulu.

Salam perubahan,
Esther J. Rey


KARUNIA MELEPASKAN

Kecenderungan kita adalah menggenggam, bukan melepaskan; itu sebab sejak kecil kita cenderung menggenggam mainan atau apa pun yang kita sukai. Namun hidup tidak selalu memungkinkan kita untuk terus menggenggam apa pun yang kita sukai; kadang kita harus melepaskannya. Itu sebab kita memerlukan hikmat untuk membedakan apa yang mesti kita genggam dan apa yang mesti kita lepaskan; dan kapan kita mesti melepaskannya. Marilah kita melihatnya dengan saksama.

Pertama, yang mesti kita genggam adalah IDENTITAS DIRI dan TUJUAN HIDUP di dalam Kristus. Pada waktu Yesus Tuhan Kita memanggil Paulus, Ia menetapkannya untuk menjadi pelayan-Nya dan saksi-Nya (Kisah Para Rasul 26 [4]). Di dalam dua panggilan ini termaktub identitas diri dan tujuan hidup di dalam Kristus. Mulai saat itu Paulus menjadi pribadi yang baru, dengan identitas dan tujuan hidup yang baru. Seperti Paulus, kita pun dipanggil untuk menjadi pelayan Kristus; kita mesti mendengarkan perkataan Kristus dan menaati apa yang diperintahkan-Nya. Bukan saja bermuatan FUNGSI, istilah pelayan juga mencakup SIKAP HIDUP, yakni menghamba kepada Kristus dan melayani sesama. Sebagaimana Yesus berkata bahwa Anak Manusia datang untuk melayani, bukan untuk dilayani, maka kita pun dipanggil untuk melayani, bukan untuk dilayani. Melayani mesti menjadi cara atau panduan kita hidup. Seperti Paulus, kita juga dipanggil untuk menjadi saksi, yakni memberitakan apa yang Yesus telah perbuat dan apa yang ditunjukkan-Nya kepada kita. Inilah tujuan hidup dan tugas kita: Melihat apa yang Yesus perbuat serta apa yang Ia nyatakan kepada kita, kemudian menceritakannya kepada sesama. Dengan kata lain, kita ditetapkan untuk menjadi alat di tangan Tuhan, untuk membuka mata orang supaya berbalik dari kegelapan kepada terang, dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka menerima pengampunan dosa dan warisan bersama segenap orang yang dikuduskan oleh iman di dalam Yesus. Kita mesti menggenggam kedua penetapan Tuhan ini—menjadi pelayan dan saksi bagi Yesus—sebab bukan saja keduanya adalah panggilan dari-Nya, tetapi juga karena keduanya bersifat kekal. Sampai kapan pun dan dalam kondisi seperti apa pun, kita dapat menjadi pelayan dan saksi bagi Kristus. Kaya atau miskin, sehat atau sakit, masih bekerja atau sudah pensiun, terkenal atau terbenam, berpendidikan tinggi atau rendah, tua atau muda, kita dapat menjadi pelayan dan saksi Yesus.

Ini membawa kita kepada Poin Kedua, yaitu apa yang mesti kita lepaskan. Yang mesti kita lepaskan adalah semua yang bersifat sementara dan semu, seperti impian, harta kekayaan, popularitas, anak, orang tua, teman dan penilaian orang. IMPIAN tidak selalu menjadi kenyataan; jadi, janganlah pegang erat-erat. HARTA KEKAYAAN tidak permanen; ada waktu kita bisa kehilangan segalanya; itu sebab, jangan genggam kekayaan. POPULARITAS datang dan pergi; akan ada masa di mana bukan saja orang tidak mengenal kita, orang pun tidak lagi mengingat kita. ANAK tidak selalu dapat diandalkan dan tidak selalu anak menjadi seperti yang diharapkan; kadang anak justru mengecewakan dan tidak jarang, malah menyusahkan. Itu sebab, jangan genggam anak; lepaskanlah. ORANG TUA juga adalah manusia biasa; tidak semua dapat diandalkan, apalagi dibanggakan. Kadang kitalah yang justru mesti menanggung malu akibat perbuatan orang tua. Jadi, jangan pegang erat-erat. TEMAN juga datang dan pergi; tidak selalu teman berada disamping kita tatkala kita membutuhkan mereka dan tidak selalu mereka bersedia atau dapat menolong. Jadi, jangan genggam mereka. PENILAIAN ORANG adalah sesuatu yang tidak dapat kita kendalikan, apalagi pastikan. Jadi, jangan kejar dan jangan genggam. Pada akhirnya kita mesti menjadi diri sendiri, terlepas dari penerimaan orang.


Ini membawa kita ke Poin Ketiga, yakni kapankah kita perlu melepaskan. Kita melepaskan sewaktu kita tidak lagi dapat mengendalikannya atau apa yang diharapkan tidak lagi menjadi kenyataan. Mungkin ada di antara kita yang bergantung pada penilaian orang; kita takut dinilai buruk dan kita ingin diterima. Itu sebab kita melakukan apa saja supaya orang menilai kita secara positif dan menerima diri kita. Namun pada akhirnya kita mesti menerima kenyataan bahwa tidak selalu kita dapat menyenangkan hati orang. Akan datang waktunya di mana kita harus berdiri sendiri dan bersikap beda dari apa yang diharapkan orang. Pada saat seperti itulah kita harus melepaskan pengakuan orang dan menerima konsekuensi tidak disukai bahkan ditolak orang. Akan tiba pula waktu di mana orang yang kita andalkan berbalik dan bahkan mengecewakan hati kita. Sudah tentu kita terluka dan biasanya berusaha untuk memerbaiki relasi. Kadang kita pun terdorong untuk "meluruskan" jalan orang itu supaya tidak lagi menyimpang dari arah yang benar dan baik. Namun, pada akhirnya kita mesti menyadari bahwa kita tidak dapat mengubahnya; seberapa besar usaha yang kita keluarkan, tetap tidak membuahkan hasil. Di saat itulah kita mesti melepaskannya.

Melepaskan adalah sebuah KARUNIA; dengan kata lain, pemberian. Bukan dari diri sendiri, sebab sesungguhnya kita tidak ingin melepaskan; kita justru ingin terus menggenggam. Jadi, kita mesti datang kepada Tuhan dan memohon kepada-Nya untuk memberikan karunia melepaskan apa yang mesti dilepaskan. Kita harus terus berdoa sampai kita berhasil membuka tangan dan melepaskan. Ada dua hal yang akan terjadi sewaktu kita melepaskan. Pertama, kita akan BERIMAN. Melepaskan bukan berarti membiarkan melainkan MENYERAHKAN kepada Tuhan. Sewaktu kita menyerahkan, kita MEMERCAYAI Tuhan untuk mengurus dan berhubungan langsung dengan apa pun dan siapa pun yang kita lepaskan. Disinilah iman bertumbuh; kita bersandar dan berharap penuh pada kekuasaan Tuhan.

Kedua, kita akan BEBAS. Sewaktu kita melepaskan, kita akan dimerdekakan; kita tidak lagi diikat oleh apa pun dan siapa pun. Kita sadar bahwa kemampuan kita terbatas dan usaha kita, bukan saja tidak berhasil tetapi malah dapat menjadi bumerang yang memukul kita atau memerparah masalah. Bebas tidak berarti bebas dari perasaan sedih atau kecewa; karena kita peduli, kita akan tetap merasa sedih atau kecewa, tetapi kita tidak lagi merasa tertindih. Sewaktu melepaskan, kita menanggalkan beban dan membiarkan orang untuk memikul beban yang diciptakannya sendiri. Sewaktu melepaskan, kita pun memisahkan diri dari orang; kita tidak lagi terseret atau terdakwa. Dia adalah manusia terpisah. Raja Saul adalah contoh orang yang tidak dapat melepaskan. Ia tidak dapat melepaskan takhtanya; itu sebab, ia berusaha membunuh Daud yang dianggapnya sebagai orang yang berambisi merebut takhta. Ia pun tidak dapat melepaskan impiannya—menjadikan putranya Yonatan sebagai raja. Dan, ia tidak dapat melepaskan kebutuhannya untuk diterima orang. Itu sebab ia melakukan apa saja supaya diterima dan dipuji orang; dia memilih menjadi raja yang menyenangkan hati orang, bukan hati Tuhan. Tidak heran, akhirnya dia tidak lagi beriman dan tidak lagi hidup merdeka. Dia bergantung sepenuhnya pada perhitungannya; alhasil, dia melepaskan iman dan malah hidup dalam ketidaktaatan. Dia pun hidup dibelenggu oleh kebencian dan ketakutan karena melepaskan kemerdekaannya untuk hidup bebas dari kebencian dan ketakutan. Sayang, Saul tidak pernah meminta karunia untuk melepaskan; ia malah terus menggenggam. Pada akhirnya Tuhan membuka tangannya dan memaksanya melepaskan apa yang digenggamnya—yang sementara dan semu. Pengkhotbah 3:11 [5] mengingatkan, "Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya." Sering kali, Tuhan baru membuat segala sesuatu indah pada waktu kita melepaskan apa yang ada dalam genggaman. Jadi, lepaskan dan serahkan kepada-Nya.

Ringkasan T594B [6]
Oleh: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Simak judul-judul "Masalah Hidup [7]" lainnya di www.telaga.org [8]



Hidup Bersama Yesus

Bersyukur atas kesempatan yang Tuhan berikan pada Ev. Sri Wahyuni dalam pemberitaan Injil di Ibadah Umum GKT Jember pada tanggal 27 April 2025. Tema renungan Firman Tuhan "Hidup Bersama Yesus," berdasarkan Injil Yohanes 15:1-8 [9].

Perumpamaan pokok anggur (Yoh. 15:1-8 [9]) merupakan salah satu pernyataan Tuhan Yesus tentang diri-Nya yang dikenal dengan Seven The Great I am. Tuhan Yesus mengucapkan perumpamaan ini pada perjamuan malam terakhir bersama murid-muridNya, sebelum Tuhan Yesus mati di kayu salib.

Melalui perumpamaan pokok anggur, ada dua amanat penting agar kita sungguh-sungguh hidup bersama Yesus:

Pertama, tinggal di dalam Yesus. Tuhan Yesus berkata: "Tinggallah di dalam AKU, dan AKU di dalam kamu" (ay. 4). Kata tinggal berasal dari kata Yunani meno, artinya tetap tinggal, melekat secara konsisten. Sebagai carang, orang percaya harus tetap melekat pada pokok anggur yang menjadi sumber kehidupan melalui doa, membaca dan merenungkan Firman Tuhan. Sedangkan carang yang terpisah dari Yesus akan kering dan mati (ay. 6). Oleh karena itu, Tuhan memberikan amanat untuk tetap tinggal di dalam Yesus, agar para murid diteguhkan imannya dalam menghadapi pergumulan hidup.

Kedua, berbuah banyak bagi Yesus. Bapa sebagai pemilik kebun anggur tentulah mengharapkan bahwa kebun anggurnya menghasilkan buah anggur baik dan berbuah lebat. Dalam Yoh. 15:8 [10], Tuhan Yesus berkata: "Dalam hal inilah Bapa-Ku dimuliakan bahwa kamu berbuah banyak dan menunjukkan kamu adalah murid-murid-Ku." Tuhan Yesus mengharapkan murid-muridNya hidup memuliakan Tuhan, melalui buah Roh (Gal. 5:22-23 [11]), perbuatan baik dan kesaksian hidup.

Hidup bersama Yesus tampak nyata dalam hidup orang percaya yang menghasilkan banyak buah bagi kemuliaan Tuhan.

Topik ini dipilih dalam rangka memeringati Hari Kartini


Wanita, Karier dan Keluarga

oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi


Berbeda dengan pria, acap kali peran istri dan karier tidak berjalan harmonis. Ada orang yang berkeyakinan bahwa sepatutnyalah istri diam di rumah dan mengurus keluarga. Berikut ini adalah beberapa prinsip yang dapat kita pertimbangkan.

  1. Tetapkanlah prioritas tujuan hidup. Baik pria maupun wanita harus memiliki sistem prioritas yang jelas dan Alkitabiah. Tuhan lebih mementingkan manusia dan pertumbuhannya dibandingkan pencapaian atau perbuatannya.
    Jika inilah sistem nilai Tuhan, seyogianyalah kita mengikutinya dan ini berarti, dalam pengambilan keputusan, manusia atau keluarga akan kita dahulukan di atas pekerjaan atau karier. Dan ini berlaku baik bagi pria maupun wanita, tanpa kecuali. Secara praktisnya, setiap keputusan yang mengharuskan kita memilih antara karier dan keluarga, pilihannya adalah keluarga. Sudah tentu kewajiban memenuhi kebutuhan dasar keluarga merupakan tuntutan yang harus kita upayakan, namun di atas kebutuhan dasar, keluargalah yang mesti kita utamakan. Jika Tuhan mementingkan faktor manusia, kita pun harus mementingkannya pula.
  2. Tuhan tidak menetapkan satu model pernikahan. Mungkin ada di antara kita yang langsung berkomentar bahwa sudah seharusnyalah perempuan tidak berkarier sebab Tuhan menghendaki wanita menjadi ibu rumah tangga dan suami menjadi pencari nafkah. Kendati keyakinan ini terdengar rohani, namun kenyataannya adalah, keyakinan ini tidaklah Alkitabiah, dalam pengertian Alkitab sendiri tidak pernah menawarkan rumus ini.
    Sesungguhnya Alkitab sendiri menyediakan pelbagai contoh peran wanita. Amsal 31 yang sering kali diidentikkan dengan amsal wanita bijak, justru memperlihatkan peran wanita sebagai pekerja, bukan hanya sebagai ibu rumah tangga.


    Contoh lain dari wanita yang bekerja sebagai pengusaha adalah Lidia, seorang "penjual kain ungu dari kota Tiatira" (Kisah 16:14 [12]); Priskila, istri Akwila, yang kadang keduanya pergi bersama Paulus mengabarkan Injil (Kisah 18:19 [13]). Dari semua contoh ini terlihat jelas bahwa para wanita ini adalah orang-orang yang terlibat aktif dalam pelayanan atau bekerja di luar rumah.

  3. Perhatikan dan terimalah kodrat masing-masing. Janganlah kita menggantungkan penghargaan diri pada penilaian orang; terimalah kodrat masing-masing dan berkembanglah sesuai dengan kodrat itu. Ada satu pepatah berbahasa Inggris yang layak kita simak, "Be yourself, but be the best of you!" (Jadilah dirimu sendiri, namun jadilah dirimu yang terbaik.) Kita tidak akan dapat memberi yang terbaik apabila kita sendiri tidak menjadi diri yang terbaik.
  4. Gantilah apa yang telah kita ambil dari keluarga. Tidak bisa tidak, waktu dan keberadaan kita di dalam rumah akan terbatasi berhubung meningkatnya tuntutan untuk berada di luar rumah. Ini berarti, kita mengambil sesuatu dari dalam rumah untuk kepentingan di luar rumah. Jika ini yang harus kita lakukan, rencanakan dan persiapkan segalanya.


TUHAN PENJUNAN HIDUPKU


Penjunan melihat bekas
Yang hancur oleh angin keras,
Dengan kasih Dia mencari,
Agar dibentuknya lagi.

Aku bekas itu,
Terhilang dan terlupa
Tuhan, Engkau Penjunan hidupku
Jadikanku bekas baru

Pecahan hati hancur
Diolah dan dilebur-Nya
Agar Dia membentuknya
Jadi bekas yang berguna

Dan bila kau kecewa
Dan beban hidupmu berat
Pandanglah pada Dia
Penghibur orang penat

Yesus Penolong kita
Sungguh besar kasih-Nya
Pintalah agar Dia memberi padaku
Hidup suci dan hati baru

Pecahan hati hancur
Diolah dan dilebur
Serahkanlah pada-Nya
Agar Dia membentukmu
Jadi bekas yang berguna



POKOK DOA (April 2025)

Mengakhiri bulan April 2025, kita mulai memasuki musim kemarau. Jumat Agung dan Paskah telah kita peringati, demikian pula Hari Kartini yang diperingati pada tanggal 21 April. Memasuki bulan Mei 2025, ada beberapa pokok doa syukur dan juga doa permohonan sebagai berikut:

  1. Bersyukur ucapan terima kasih sehubungan dengan sumbangan kalender 2025 kepada Bp. Edy Suryanto Sutjiadi, telah disampaikan sekaligus ucapan "Selamat Paskah 2025".
  2. Bersyukur untuk Surat Perjanjian Penggunaan Ruangan di Jl. Cimanuk 56 Malang telah dikirim ke pemilik rumah untuk ditandatangani.
  3. Doakan untuk Radio Swaranusa Anugerah AM di Jayapura, menurut informasi dari Sdri. Atha hanya memutar lagu-lagu saja karena belum ada program.
  4. Tetap doakan untuk pembuatan transkrip dari T604, rekaman terakhir pada tahun 2024 yang berjudul "Terluka, Mau Pulihkah?" (I + II)
  5. Doakan untuk Bp. Paul Gunadi, ditengah kesibukannya agar bisa menambah rekaman pertama di tahun 2025.
  6. Bersyukur untuk setiap klien yang Tuhan percayakan untuk dilayani di Pusat Konseling Telaga Kehidupan (PKTK) Sidoarjo.
  7. Bersyukur Ibu Anita Sieria sudah kembali ke Indonesia dan bisa melayani kembali di Telaga Kehidupan.
  8. Doakan untuk setiap konselor dan tim Telaga Kehidupan, supaya Tuhan mengaruniakan kesatuan hati dan sukacita dalam melayani.
  9. Berdoa untuk pertolongan Tuhan bagi setiap klien yang dilayani di Pusat Konseling Telaga Kehidupan (PKTK) Sidoarjo.
  10. Doakan untuk "fellowship" dan pelatihan untuk konselor yang akan dilakukan secara ‘online’ pada bulan Mei 2025 yang akan datang.
  11. Bersyukur atas penyertaan Tuhan kepada Pusat Konseling Telaga Pengharapan (PKTP) Jember, kiranya setiap pelayanan yang dilakukan menjadi saluran kasih dan pemulihan dari Tuhan bagi banyak jiwa.
  12. Bersyukur atas pertemuan perdana dengan Pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Kristen (UKMKK) yang berada di Universitas Negeri Jember pada tanggal 17 April 2025 yang berlangsung hangat dan penuh semangat kolaborasi.
  13. Doakan untuk pembentukan kepanitiaan Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Kristen (UKMKK) yang berada di Universitas Negeri Jember dan penentuan tema seminar seputar "Mental Health" sesuai kebutuhan mahasiswa. Seminar tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 17 Mei 2025, kiranya Tuhan menyertai setiap proses persiapan hingga hari pelaksanaan.
  14. Bersyukur atas klien baru yang telah Tuhan kirimkan ke Pusat Konseling Telaga Pengharapan, kiranya setiap klien yang datang dapat mengalami pengharapan baru dan pemulihan sejati dalam Kristus.
  15. Bersyukur atas setiap pihak yang terus mendukung pelayanan Telaga Pengharapan, baik melalui doa, dana maupun daya. Kiranya Tuhan memberkati kembali setiap bentuk dukungan dengan sukacita dan berkat yang melimpah.

Bersyukur untuk donasi yang diterima dalam bulan ini, yaitu dari:

Bp.Ir. Suriptono, Ph.D. sejumlah Rp 2.500.001,-




URL sumber: https://telaga.org/berita_telaga/jangan_lupa_getsemani_jangan_lupa_cinta_tuhan

Links
[1] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Mat+26:38
[2] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Luk+22:44
[3] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Efe+3:18-19
[4] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kis+26
[5] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Pkh+3:11
[6] https://telaga.org/audio/karunia_melepaskan
[7] https://telaga.org/kategori/masalah_hidup
[8] http://www.telaga.org
[9] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Yoh+15:1-8
[10] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Yoh+15:8
[11] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Gal+5:22-23
[12] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kis+16:14
[13] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kis+18:19