"Saya berdosa, Tuhan ampuni. Saya mau ikut Tuhan Yesus. Tidak suka berdosa, s’lalu dengar firman-Nya. Saya mau ikut Tuhan Yesus." Lirik lagu berjudul "Saya Berdosa, Tuhan Ampuni" ini merupakan lagu yang saya ajarkan kepada anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mengikuti kelas khusus di sekolah minggu. Melodi lagu ini diadaptasi dari lagu sekolah minggu yang sudah sangat dikenal oleh anak-anak yaitu "Happy Ya Ya." Tujuannya agar anak-anak di kelas khusus, sekitar tujuh atau delapan anak dan mayoritas adalah anak-anak dengan disabilitas intelektual dengan beragam klasifikasi dan tingkat keterlambatan perkembangannya, dapat lebih mudah memahami dan mengingatnya.
Andi (anak laki-laki berusia 7 tahun, bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang ABK di kelas tersebut, yang memiliki keterlambatan dalam aspek perkembangan bicara dan interaksi sosial. Setelah mengajarkan lagu "Saya Berdosa, Tuhan Ampuni," saya mengirimkan audio lagu tersebut ke orang tua agar dapat diulangi di rumah bersama anak. Pada minggu-minggu berikutnya, setiap kali saya mengambil gitar, sebelum saya sempat menyebutkan judul lagu yang akan kami nyanyikan, sambil melihat ke arah saya dan tersenyum, Andi selalu berkata, "Laoshi, lagu dosa; Laoshi, lagu dosa."
Walaupun awalnya Andi hanya bisa menyanyikan frasa "Saya berdosa," dan setelah itu dia hanya ikut bertepuk tangan tanpa ikut bernyanyi, dia tampak selalu bersemangat menyanyikan lagu kesukaannya itu. Di minggu berikutnya, Andi sudah bisa menyanyikan dua frasa, "Saya berdosa, Tuhan ampuni." Demikianlah, setiap minggu, satu frasa demi satu frasa, Andi berusaha mengingat lirik "lagu dosa" kesukaannya. Walaupun belum bisa mengingat semua lirik lagu tersebut, Andi tetap menyanyikannya dengan penuh semangat dan tidak pernah malu untuk meminta menyanyikan lagu tersebut. Lagu ini adalah lagu tema untuk topik "Manusia Berdosa" yang selalu kami nyanyikan selama beberapa minggu di kelas khusus.
Bagi saya, kebersamaan dengan anak-anak disabilitas (ABK), khususnya disabilitas intelektual, menjadi momen berharga untuk belajar tentang kesederhanaan, ketergantungan dan otentisitas. Beberapa nilai atau prinsip hidup yang menurut kebanyakan orang sudah tidak cocok untuk diadopsi di tengah dunia yang sudah begitu individualis, konsumtif dan kompetitif.
Sulit untuk disangkal, kehidupan ini sangat menggoda untuk setiap orang memakai "topeng" jika ingin "bertahan hidup," dianggap, diterima atau mendapat perlakuan sesuai dengan harapan. Pada umumnya "topeng-topeng" tersebut digunakan untuk memoles diri, agar tampak lebih baik dan menarik sehingga akan lebih dianggap dan diperhatikan. Atau, berupaya keras membuat diri tampak lebih "kuat" sehingga tidak mudah dimanipulasi atau sebaliknya, supaya lebih mudah memanipulasi. Tetapi, tidak sedikit juga "topeng-topeng" yang dipakai untuk menjadikan diri terlihat lebih buruk, lebih papa atau lebih mengibakan agar mendapat belas kasihan dari orang lain. Intinya, berbagai "topeng" digunakan untuk menutupi kenyataan yang ada dengan menampilkan diri yang berbeda agar hidup dapat lebih "dinikmati."
Tetapi, banyak orang mengakui bahwa alih-alih kehidupan "bertopeng" membuat kehidupan lebih dapat "dinikmati," justru tidak jarang berujung pada terjadinya kelelahan mental yang berat. Ketika tidak diatasi, didampingi dan dibantu, kondisi seperti ini sangat mungkin berlanjut pada berbagai masalah kesehatan mental serius, yang telah menjadi isu utama secara global, khususnya sejak pandemi Covid-19, termasuk di Indonesia.
Tetap berusaha kuat atau lebih tepatnya, terlihat kuat, walaupun sebenarnya sudah sangat lemah, bahkan hampir ambruk. Tetap tersenyum lebar, walaupun sesungguhnya kepedihan hati yang dirasakan sudah tidak tertanggung. Tetap berjalan, bahkan sebisa mungkin berlari untuk mengejar ambisi dengan harapan akan mendapatkan kepuasan, walaupun sebenarnya berbagai pengalaman sebelumnya sudah memberi lampu merah untuk berhenti sejenak. "Sejujurnya, saya sudah sangat capek, bingung, bahkan putus asa dengan hidup ini" adalah ungkapan hati terdalam dan otentik banyak orang di tengah perjalanan hidupnya, yang mungkin sekian lamanya sudah terpendam begitu dalam dan sangat sulit diakui, apalagi diceritakan.
Dua minggu lalu sebelum menyiapkan artikel ini, ketika saya sedang mengajar di kelas khusus, Andi tiba-tiba berdiri dan membuka pintu kelas. Hal yang biasa dilakukannya ketika mau ke toilet. Ditemani oleh neneknya yang setiap minggu mendampingi di dalam kelas, Andi pergi ke toilet. Tetapi, tidak seperti biasanya, kali itu terasa agak lama, Andi dan neneknya belum balik ke kelas. Saya menitipkan kelas kepada rekan guru pendamping untuk melihat sebentar ke toilet. Rupanya Andi terkunci di dalam salah satu ruang toilet. Dia menangis dan neneknya berusaha menenangkan serta mengarahkannya bagaimana membuka kunci dari dalam. Saya sempat mendengar nenek Andi berkata beberapa kali, "Dede berdoa ya, sama Tuhan Yesus supaya pintunya bisa dibuka ya."
Membayangkan rasa takut Andi di dalam ruang toilet, mendengar tangisannya yang keras dan melihat tangan kecilnya yang berusaha menarik sekat-sekat lubang ventilasi yang cukup lebar di bagian bawah pintu ruang toilet itu, tanpa berpikir lama, saya segera membantu usahanya menarik paksa sekat-sekat tersebut. Saya berpikir bahwa saya harus segera berbuat sesuatu untuk menolong Andi dan jalan satu-satunya supaya dia bisa segera keluar adalah sedikit merusak pintu ruang toilet itu, yaitu dengan mencabut beberapa sekat yang menutup lubang tersebut.
Tetapi, sebelum saya sempat menarik keluar salah satu sekat di pintu toilet tersebut, anak-anak yang lain dan beberapa rekan guru datang. Sambil membawa sejumlah anak kunci, seorang guru mencoba membuka pintu toilet tersebut dan berhasil. Kami semua menarik napas lega ketika pintu terbuka. Andi keluar sambil menangis dan memeluk neneknya. Kami kembali lagi ke kelas. Andi masih terlihat tegang dan takut. Terdengar neneknya berusaha menenangkan Andi dengan berulang kali mengatakan "Terima kasih, Tuhan Yesus sudah menolong Andi ya."
Ketika memersiapkan artikel ini, kejadian dua minggu lalu itu kembali muncul dalam benak saya. Saya mengakui bahwa sebagai gurunya, saya merasa "paling" bertanggung jawab untuk segera menolong Andi pada waktu itu. Dalam pikiran saya, dalam keterbatasan pengetahuan saya tentang pintu itu, saya berasumsi bahwa pintu itu hanya bisa dikunci dan dibuka dari dalam karena jenis kuncinya adalah slot. Karena itu satu-satunya jalan untuk mengeluarkan Andi adalah dengan mendobrak pintu itu atau menarik paksa sekat-sekat pada lubang ventilasinya sehingga dia bisa keluar. Tetapi, rupanya pintu ruang toilet itu berupa tarikan kunci bulat yang menggunakan anak kunci untuk membukanya dan anak kunci itu ada serta selalu siap untuk dipakai membuka atau menutup pintu itu, kapan pun dibutuhkan.
Terkadang kita berada dalam kondisi hidup yang sepertinya hanya tersisa satu jalan untuk bisa keluar dari berbagai himpitan dan tekanan problem hidup yang begitu besar. Sepertinya berbagai sumber daya yang ada sudah dioptimalkan untuk menyelesaikannya. Tetapi tidak kunjung berhasil, bahkan semakin berat menekan. Di tengah kebingungan dan keputusasaan, mungkin kita sedang merencanakan satu jalan keluar yang menurut kita sebagai satu-satunya jalan yang terbaik dan terakhir, walaupun kita tahu bahwa jalan itu pada akhirnya tetap "merusak." Sebuah alternatif solusi yang kita tahu Tuhan tidak berkenan, tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin akan memunculkan masalah baru. Di tengah ketegangan itu, kita lupa ada Tuhan yang selalu ada di dekat kita, bahkan yang tinggal dalam diri kita, yang selalu siap sedia untuk menyatakan pertolongan-Nya. Dia selalu hadir dalam hidup kita, tetapi kita sering kali lupa untuk mengizinkan-Nya berkarya.
Kehadiran Sang Pencipta alam semesta di kandang Bethlehem dan terbungkus dengan lampin di dalam palungan, menunjukkan dengan gamblang bahwa jalan yang dipilih-Nya adalah jalan kesederhanaan, ketergantungan dan otentisitas. Max Lucado mengungkapkan: "Tangan yang memegang alam semesta lahir dalam buaian yang kecil dan kasar. Ini mengingatkan kita akan kerendahan hati dan kesederhanaan kedatangan Juruselamat." Dia tidak memilih kemewahan dan keagungan sebuah takhta sebagai tempat kelahiran-Nya. Palunganlah yang menjadi pilihan untuk tubuh bayi-Nya yang lemah dibaringkan dan setiap saat harus menunggu uluran tangan kedua orang tua-Nya untuk Dia dapat bertahan hidup. Sebuah palungan yang mungkin kotor dan beraroma tidak sedap di dalam kandang binatang yang sempit, berantakan dan tidak nyaman telah menjadi pilihan tempat bagi-Nya. Itulah cara yang dipilih Sang Juruselamat untuk datang ke dunia sebagai satu-satunya jalan untuk manusia dapat diselamatkan dan menikmati hidup yang sesungguhnya.
Charles Spurgeon menuliskan: "Dia dilahirkan dalam kemiskinan di lumbung dan dibaringkan di palungan untuk memberi kita kekayaan surga. Dia meninggalkan takhta-Nya dalam kemuliaan untuk menjadi bayi di Betlehem." Di tengah gelombang hiruk pikuk dunia yang datang silih berganti dan begitu menggelisahkan, membingungkan, menakutkan, bahkan siap menenggelamkan, datanglah mendekat pada Sang Penebus yang sudah datang bagi kita semua. Temukan dan alamilah kebesaran kuasa dan keagungan takhta kemuliaan Sang Pencipta di palungan Betlehem yang sangat sederhana itu!
*) Salah seorang konselor PKTK Sidoarjo yang berdomisili di Singkawang, Kalimantan Barat
Saya seorang ibu berusia 54 tahun, memunyai seorang anak laki-laki berusia 23 tahun. Anak saya menutup diri terhadap saya. Kalau berbicara sering tidak menghormati saya. Apa yang harus saya lakukan untuk memerbaiki hubungan ini? Saya seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja, suami bekerja. Sebenarnya ada banyak kelemahan pada diri saya. Pada waktu kecil, saya tidak pernah dididik/diajari apa-apa oleh orang tua saya dan hal itu membuat saya bingung dalam bersikap, bertindak, berpikir. Setelah menikah saya kecewa karena melihat bahwa suami bukanlah figur suami dan ayah yang baik. Pada waktu anak saya (laki-laki) berumur 4 tahun, saya pernah emosi dan mengatakan "goblok" pada anak saya, karena dia tidak bisa menggambar (saya pikir apabila anak saya pintar maka ayahnya akan baik pada saya), sampai saat ini saya menyesal. Sejak itu saya mencari jalan keluar dengan membaca buku psikologi. Selama sekolah kelas 1 SD – 6 SD, anak saya tidak pernah saya ajak belajar. Pada waktu SMP, anak saya sering dimarahi oleh guru dan diolok teman sekelas, sejak itu saya berusaha menyayangi dan mendidik dia semaksimal mungkin, lalu menyuruh les di rumah, tetapi sampai kelas 3 SMA IPA, anak saya masih sering dimarahi guru dan diolok teman yang pandai. Nilai rapotnya rata-rata 6 – 7. Saya mendorong anak saya supaya bergaul dengan temannya yang pandai, agar supaya ia rajin belajar, tetapi kelihatannya dia tidak bisa berteman dekat dengan anak-anak tersebut. Justru dia bergaul dengan anak-anak yang suka main ‘game online’, bahkan sampai bolos sekolah. Sampai sekarang dia masih senang main game tersebut di luar rumah sampai pagi hari. Anak saya sekarang berusia 23 tahun, baru lulus kuliah (dia sering mengeluh bahwa kepalanya berat kalau sudah kuliah) dan sekarang sedang mencari pekerjaan. Dia menutup diri dan menjauh dari saya, kadang-kadang kalau saya tanya, dia menjawab dengan tidak sopan serta mengatakan kalau saya tidak boleh ikut campur. Demikianlah keadaan kami. Ada 1 hal lagi yang membuat saya khawatir, anak saya suka memakai baju ‘press-body’ dan selalu beli ‘hand body lotion’ (apa karena saya dulu kadang-kadang mengatakan bahwa dia ganteng?)
Saya ingin menambahkan, selama 15 tahun menikah, saya dan suami sering bertengkar. Saya sering protes pada suami tentang banyak hal termasuk tentang suami tidak pernah mendekat pada anak laki-lakinya. Suami lebih suka mendekat pada keponakannya laki-laki (anak dari kakaknya) sampai sekarang. Tapi sejak 3 tahun terakhir ini saya dan suami sudah jarang sekali bertengkar, mungkin karena kami menahan diri oleh karena sekarang kami tinggal menumpang di rumah kakak saya. Sebelum di rumah kakak, kami tinggal di rumah sendiri. Demikian tambahan dari saya, sebelumnya saya mengucapkan terima kasih pada tim Telaga dan saya mohon balasannya.
Salam: LH
JAWABAN :Ibu LH yang kami hormati,
Terima kasih sudah mengikuti program Telaga dan mengirimkan email kepada kami. Setelah membaca apa yang terjadi dalam perjalanan kehidupan keluarga Ibu (khususnya berkaitan dengan masalah komunikasi dan relasi dengan anak laki-laki Ibu yang telah dewasa), harus kami katakan dengan terus terang bahwa tidak mudah untuk memerbaiki hubungan yang sudah terbentuk seperti itu, tetapi sebagai orang yang percaya kepada Tuhan Yesus, kita punya pengharapan dan harus yakin bahwa DIA mampu menolong dan mengubahkan keadaan yang tidak baik menjadi lebih baik. Asalkan Ibu, suami serta anak laki-laki tersebut mau dengan rencahhati datang minta tolong kepada-NYA.
Demikian tanggapan kami atas pernyataan Ibu, kami akan doakan Ibu dan keluarga. Sebagai penutup, kami berikan beberapa ayat firman Tuhan dari Yeremia 17:5-8 [1], semoga ini bisa mengingatkan Ibu untuk terus mengandalkan Tuhan.
Shalom,
Suriati
BUKAN KARENA KEBAIKANMU G = 1 4/4 Bu – kan kar’na (1) ke-ba-ik-anmu bukan kar’na (1) fasih lidahmu (2) ke-lebih-anmu bukan kar’na (2) baik ru-pamu Bu – kan kar’na (1) ke-ka-ya-anmu, kau di-pilih, kau dipanggilnya (2) ke-ca-kapan-mu, kau dipanggil, kau dipakai-Nya Bi-la eng-kau dapat, itu ka-re-na-Nya. Bila engkau punya, Se-mua dari pada-Nya. Se-mua hanya anugrah-Nya, dibri-kan-Nya pa da kita. Se-mua a-nugrah-Nya bagi kita jika engkau di – pa – kai-Nya.
Dalam rangka Hari Ibu yang diperingati pada tanggal 22 Desember, apakah peran Ibu dalam keluarga?
ANAK dan KETAKUTAN ? ANAK YANG TIDAK KENAL TAKUT
Adakalanya orang tua bingung melihat perubahan sikap anak yang tiba-tiba menjadi penuh ketakutan. Apa yang terjadi dan apa yang dapat dilakukan orang tua?
Penyebab Ketakutan dan Penanganannya
Amsal 15:33 [2], "Takut akan Tuhan adalah didikan yang mendatangkan hikmat . . ."
Anak perlu dididik untuk takut akan Tuhan dan berani menghadapi apa pun. Ketakutan dihilangkan melalui pendampingan atau penyertaan, jadi, didik anak untuk selalu ingat bahwa Tuhan menyertainya.
Sebagian anak sejak lahir sudah membawa kecenderungan untuk tidak mengenal takut. Ciri-cirinya adalah keras kepala, tidak mudah mendengar atau menaati perintah orang tua, tidak takut ancaman, tidak takut bahaya dan cenderung menyerempet bahaya.
Apa yang orang tua harus lakukan?
Firman Tuhan:
"Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati." (Amsal 16:2 [3])
Ringkasan T156
Oleh: Pdt.Dr.Paul Gunadi
Simak judul-judul kategori "Pendidikan" di www.telaga.org [4]
Kita sudah berada di penghujung tahun 2024 dan awal tahun 2025. Tak dapat diingkari bahwa penyertaan TUHAN selalu kita alami dan rasakan. Beberapa doa syukur dan doa permohonan adalah sebagai berikut :
Links
[1] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Yer+17:5-8
[2] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+15:33
[3] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+16:2
[4] http://www.telaga.org
[5] https://telaga.org/jenis_bahan/berita_telaga