Dalam rangka Hari Anak Nasional 2024
PRINSIP TABUR-TUAI DALAM
MEMBESARKAN ANAK
Membesarkan anak mengharuskan kita untuk hidup bersama dengan anak. Kita tidak dapat membesarkan anak dari jarak jauh. Nah, didalam hidup bersama dengan anak inilah terjalin RELASI yang akan memengaruhi anak secara signifikan. Kendati tidak selalu kasatmata, sesungguhnya ada banyak hal yang akan diserap oleh anak lewat relasinya dengan kita, orang tuanya. Dapat kita katakan, apa yang kita tabur akan kita tuai. Itu sebab kita mesti memerhatikan baik-baik benih apakah yang kita tabur pada diri anak sebab pada akhirnya, bagaimana nantinya mereka memerlakukan kita dipengaruhi oleh perlakuan kita kepadanya.
Ringkasan T534A [2]
Oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi
Simak judul-judul lainnya dalam kategori "Orang Tua – Anak" di www.telaga.org [3]
Shalom Bapak/Ibu konselor Telaga,
Sebelum saya bertanya, saya mau cerita mengenai latar belakang pertanyaan saya. Saya seorang mahasiswi semester 4 sedang kuliah di Pekanbaru. Saya memunyai keluarga, tapi pisah dengan mereka karena melanjutkan studi di luar daerah. Kami semua beragama Kristen keturunan dari nenek moyang. Ketika saya masih SD, keadaan keluarga sangat kacau dan gelap. Ayah suka mabuk dan kadangkala memukul mama, bukan hanya itu bahkan juga memaki. Sifat papa cepat emosi, tidak bisa mengontrol emosinya, meluapkan emosinya dengan memukul, memarahi dan memaki di rumah. Ketika itu papa juga seorang pekerja/aktivis di gereja. Setiap hari Minggu dia ke gereja, sering berkhotbah, melayani jemaat di setiap lingkungan, memimpin P.A. dan kegiatan rohani lainnya. Bahkan papa juga sering bersaat teduh tengah malam, ketika kami semua sudah tidur. Namun setiap hari sifat buruk papa yang ‘emosian’ itu tidak pernah hilang, bahkan semakin parah. Saya tidak mengetahui masalah antara papa dan mama ketika itu, tapi yang kuingat mama sedang menangis dan di pipi mama ada bekas tamparan berwarna merah. Papa juga pernah mengurung kami, anak-anaknya dan mama di dalam kamar sehari penuh. Saya tidak mengetahui masalahnya apa, setiap kali saya bertanya kepada mama, mama tidak pernah jujur, dia berusaha menutupi. Melihat perlakuan papa seperti itu di rumah, saya mulai membenci papa. Saya tidak pernah bersyukur punya papa seperti dia. Tahun berganti tahun, sifat papa tidak pernah berubah. Ketika aku masuk SMP, suasana di rumah masih sama, tapi kali ini papa semakin jahat. Dia marah, memukul, memaki dan juga mengutuk. Dia tidak pernah menasihati kami dengan kata-kata yang baik. Dia menasihati dengan cara yang kasar, saya merasa tidak ada kasih sayang dari papa untuk kami di rumah. Waktu itu papa menyuruh saya untuk menyajikan minuman kepada tamu-tamu yang mengadakan P.A. di rumah, tetapi aku tidak mau, aku menolak dan masuk ke kamar, pura-pura tidur. Saya benar-benar benci kepada papa, saya tidak menganggap dia sebagai orang tua saya. Selesai P.A. dan semua orang sudah pergi dari rumah, papa langsung mengomel, marah, memaki dan terakhir dia mengutuki saya. Saya tidak menyangka papa sampai mengutuki saya, kata-katanya tidak pernah saya lupakan sampai saat ini. Saya sungguh membenci papa, waktu itu saya menangis di kamar, saya tidak bisa tidur, kata-kata kutukan papa selalu terngiang di telinga saya, hal itu membuat saya "down" tidak ada semangat hidup lagi, saya merasa bahwa hari esok tidak ada lagi buat saya. Setiap hari ke sekolah, saya tidak pernah semangat. Saat belajar pun saya sangat terganggu. Pikiran saya selalu teringat pada kata-kata kutukan papa. Tiga tahun saya di SMP, saya selalu menutup diri, pendiam, tidak bergaul dengan orang lain. Hari-hari saya penuh dengan kesedihan dan air mata. Saya selalu bertanya, mengapa Tuhan mengizinkan semuanya itu terjadi, mengapa saya mesti lahir di keluarga ini? Mengapa saya mesti memunyai orang tua seperti itu. Saya merasa tidak ada seorang pun yang mengerti perasaan saya, saya mulai malas ke gereja, tapi lebih suka menyendiri di kamar. Saya benar-benar merasa kepahitan dengan papa, saya membenci papa…………Yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana saya bisa mengampuni papa seutuhnya, tidak setengah-setengah? Bagaimana saya bisa melupakan rasa sakit hati dan kepahitan yang saya terima dari papa? Bagaimana agar supaya kutukan itu tidak terjadi bagiku? Mohon doa dan jawabannya, terima kasih. Tuhan Yesus memberkati!
Salam : Y.Y.
Halo Y.Y., selamat berkenalan dengan saya, Hanny, salah seorang konselor di Telaga. Saya ikut merasakan kemarahan dan kegelisahan Y.Y. terhadap papa. Kemarahan Y.Y. terhadap papa sangat mendasar sekali, karena karakter papa yang semakin hari tidak semakin membaik, malah semakin "jahat" (terhadap istri dan anak-anak). Apalagi peran papa di luar rumah bertolak belakang dengan karakter papa di rumah, ini membuat Y.Y. semakin tidak terima. Papa juga ternyata tidak hanya melakukan kekerasan secara fisik, tapi kekerasan secara verbal, sampai keluar kata-kata kutukan dari mulut seorang papa pada anak perempuannya sendiri……pasti rasanya campur aduk antara tidak percaya, marah, sedih, kecewa terhadap papa yang demikian. Maka sangat beralasan jika Y.Y. sulit rasanya bisa mengampuni papa, karena Y.Y. melihat dan mengalami sendiri PERBUATAN papa yang…….."munafik" (di gereja dan di rumah berbeda), "jahat pada keluarga" (tidak berperan sebagai suami dan ayah yang melindungi dan menjaga) dan "mengutuk" anaknya sendiri.
Y.Y., saya mau mengajak untuk belajar memisahkan PERBUATAN dan PRIBADI. Saya rasa perbuatan papa saat ini tentu ada penyebabnya. Dan biasanya faktor pengaruh lingkungan keluarga asal papa atau faktor pengaruh pergaulan papa yang mungkin sangat membentuk papa. Sebenarnya, papa adalah sosok pribadi yang perlu dikasihani dan ditolong.
Y.Y., saya merasa memang sulit mengampuni orang yang dekat dengan kita, apalagi itu papa kita sendiri. Ada banyak luka yang sudah papa buat dalam diri Y.Y., karena itu Yesus mau mati bagi dosa-dosa manusia, sebab tidak ada manusia yang bisa mengatasi dosanya sendiri. Bahkan pengampunan yang Yesus lakukan justru sekaligus berkuasa memulihkan luka-luka yang ada dalam diri Y.Y. Atas dasar kita sudah mendapat pengampunan dari Tuhan Yesus lebih dahulu, maka kita bisa mengampuni orang lain. Karena pengampunan itu bukan suatu KEMAUAN Y.Y. tapi KEPUTUSAN Y.Y. mau mengampuni papa, seperti yang diperintahkan Tuhan. Pengampunan itu bukan berdasarkan KEMAMPUAN kita, tapi KUASA ROH KUDUS yang akan membantu Y.Y. mengampuni papa. Pengampunan itu PILIHAN Y.Y. sebagai HAK ISTIMEWA dari Tuhan, bukan KEWAJIBAN yang memaksa kita, karena justru pengampunan akan mendatangkan KEMERDEKAAN dari luka-luka hati yang membelenggu. Pengampunan malah akan mendatangkan kedamaian, ketenangan dan kelegaan dari kesesakan rasa benci atau dendam dalam diri kita. Pengampunan adalah awal kita bisa menerima keadaan papa yang tidak sempurna, kemudian belajar mengasihi papa. Karena pada dasarnya, tidak ada orang tua yang sempurna, mereka pun dibesarkan oleh orang tua yang tidak sempurna. Justru kita harus berada di pihak yang mau memutuskan ikatan rantai pola keluarga yang tidak baik itu, diawali dengan pengampunan. Setelah itu baru ada pemulihan dalam diri kita dan dalam diri keluarga kita.
Perubahan bisa terjadi, asal ada yang memulai. Tidak bisa menunggu papa dulu berubah. Coba pihak kita dulu yang berubah…..pasti lambat-laun…..orang-orang di sekitar kita juga akan berubah dengan kuasa dan pertolongan Tuhan.
Y.Y., kuasa Tuhan melebihi kuasa apapun, bahkan kuasa Tuhan sudah mengalahkan kuasa iblis di kayu salib. Tentunya, kuasa dan kedaulatan Tuhan ada di atas kuasa manusia siapapun, termasuk papa kita sendiri, sekalipun itu berupa kutukan papa. Tuhan adalah Pencipta, Pemilik dan Perencana hidup manusia, apalagi manusia yang percaya pada-Nya. Y.Y. harus serahkan kata-kata kutukan itu pada Tuhan dan percaya Tuhan mampu putuskan…….minta Tuhan memulihkan ingatan Y.Y. dan kata-kata kutukan tersebut…….Y.Y. tidak perlu memikirkan terus kutukan tersebut, sebaiknya Y.Y. menggantinya dengan kata-kata yang baik dari Firman Tuhan. Y.Y., saya percaya Tuhan akan menolong Y.Y. bisa mengampuni papa, memulihan ingatan Y.Y. dari kata-kata kutukan papa, belajar menerima dan mengasihi papa sebagai pribadi yang diciptakan Tuhan dan dikasihi Tuhan (sama-sama membutuhkan pengampunan dosa dari Yesus).
Papa perlu dikasihani karena papa juga korban, mungkin karena keluarga asal atau lingkungan dia dibesarkan……papa justru perlu diampuni dosanya, didoakan dan ditolong. Y.Y. minta kekuatan Tuhan untuk mendoakan dan mengampuni papa terus-menerus……minta kemampuan dari Tuhan untuk berubah sikap terhadap papa……minta kasih yang melimpah untuk mengasihi dan menerima papa dengan memerhatikan kebutuhan papa.
Y.Y., apa yang ditabur manusia, itu yang akan dituainya. Tuhan akan memberkati pengampunan dan perbuatan baik Y.Y. terhadap papa. Kiranya Tuhan menolong dan memberkati Y.Y.
Salam kasih,
Hanny
Sebagai tambahan: Y.Y., luka sakit hati yang pernah ada dalam diri Y.Y. karena perbuatan dan perkataan papa, perlu diakui satu per satu di hadapan Tuhan dan manusia (jika ada konselor atau hamba Tuhan) dengan penuh kejujuran dan terbuka. Sangat baik jika Y.Y. bisa mengungkapkan semua luka-luka itu dengan penuh perasaan. Keluarkan perasaan kemarahan, kekecewaan, kesedihan dan ketakutan Y.Y. saat Y.Y. mengakui luka-luka itu. Setelah semuanya diungkapkan dan dikeluarkan….Y.Y. bisa mengampuni papa di hadapan Tuhan dan manusia (konselor atau hamba Tuhan, atau jika sudah memungkinkan di hadapan papa…..katakan pada papa bahwa Y.Y. mau mengampuni papa.
Rasa sakit hati kadang akan muncul berulang-ulang…..tidak apa-apa….itu wajar….jika luka itu sangat dalam…..lakukan lagi pengakuan tentang luka itu di hadapan Tuhan (atau konselor atau hamba Tuhan) dan lakukan lagi proses mengampuni kembali. Proses seperti ini bisa dilakukan beberapa kali, sesuai keadaan seseorang yang berbeda-beda, tapi justru proses pengakuan dan pengampunan ini akan semakin memulihkan Y.Y.
"MENURUNKAN
EKSPEKTASI / STANDAR"
Oleh : Ev. Sudarmadji, M.Th. *)
Empat orang anak laki-laki tak henti-henti terjun ke air. Dari dalam air mereka naik ketepian kemudian melompat lagi. Mereka melakukannya berulang-ulang hampir seharian lamanya sampai tidak menghiraukan ketika dipanggil untuk makan. Di dekat mereka ada lagi anak-anak lain bermain air berenang ke sana kemari. Tak ketinggalan ada satu anak lelaki kecil mengenakan pelampung mainan agar dapat mengapung. Wajah mereka semua berbinar, sambil tertawa dan berteriak girang, mereka sangat menikmati bermain air.
Jangan membayangkan bahwa anak-anak tersebut bermain di kolam renang, tempat rekreasi/wisata atau di pantai. Mereka hanya bermain di sungai kecil yang lebarnya tak lebih dari lima meter dan airnya berwarna kecoklatan. Sepanjang pinggir sungai tersebut juga dipenuhi rerumputan liar. Sesekali ada kuda dan anjing menyeberangi sungai tersebut, tepatnya di bagian yang tidak terlalu dalam. Secara keseluruhan sungai tersebut memang tidak terlalu dalam, karena bagian terdalam hanya sekitar satu meter saja.
Saat musim panas di Mongolia, yakni ketika sudah tidak ada lagi es, pinggiran sungai menjadi pilihan untuk berpiknik dan berlibur. Banyak tenda berdiri di sepanjang tepinya. Di situ juga kami bersama satu keluarga berlibur. Tadinya saya berharap akan menemukan tempat wisata yang indah dan ada sungai berair jernih di dekatnya serta pepohonan yang rindang. Tetapi harapan tersebut segera sirna karena satu pohon pun tidak ada di sana, sehingga saat matahari muncul panasnya langsung menyengat dan bukan sungai jernih sebagaimana saya bayangkan.
Kembali lagi pada anak-anak yang berenang di sana. Mereka bersukacita dan sangat menikmati berenang di sungai kecil itu. Melihat mereka bersukacita, membuat saya berpikir dan merenung. Jika mereka dapat bersukacita mengapa saya tidak? Akhirnya saya pun bergabung dengan mereka menikmati "kolam renang" alami itu dan bermain air bersama mereka.
Perenungan yang saya peroleh dari situasi tersebut adalah menurunkan harapan (ekspektasi) dan standar. Ada kalanya dalam hidup ini kita harus menurunkan harapan dan standar kita agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang ada. Menurunkan harapan ini bukan hanya berlaku untuk beradaptasi dengan alam saja, melainkan juga untuk relasi kita dengan sesama, terutama keluarga.
Tak jarang kita memiliki harapan atau standar yang kita tetapkan dalam mendidik anak, tentu ini bukan hal yang buruk. Persoalan akan muncul bila apa yang kita harapkan tidak menjadi kenyataan. Sebagai contoh, saya berharap anak saya dapat mengikuti gaya hidup sehat seperti bangun pagi lalu berolah raga ringan atau jalan pagi sebagaimana biasa saya lakukan. Meskipun saya sudah membangunkannya dan mendorong dia untuk melakukannya bersama saya, tetapi aktivitas itu tidak kunjung menjadi kebiasaan baginya. Bila tidak bersama saya, ia akan kembali menjalani ritme hidupnya sendiri. Dalam situasi tersebut saya harus menurunkan ekspektasi saya agar tidak menjadi kesal atau marah, sama seperti saya harus menurunkan ekspektasi tentang tempat berlibur sebagaimana saya ceritakan di awal. Masih banyak contoh lain yang dapat kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari mengenai menurunkan ekspektasi.
Dalam beberapa hal, kita perlu menurunkan ekspektasi atau standar agar jangan menjadi marah, kesal, kecewa, bahkan stres. Demi kebaikan kesehatan mental kita tetap terjaga, kita harus rela untuk tidak berharap terlalu tinggi. Perihal menurunkan standar ini, saya teringat akan tokoh Yakub dalam perjalanannya menemui Esau. Setelah mereka bertemu, Esau menawarkan kawalan untuk menyertai perjalanan Yakub, namun Yakub menolaknya karena ia akan berjalan mengikuti langkah anak-anak (Kej. 33:14 [4]). Tentu Yakub sanggup berjalan cepat, tetapi ia memilih untuk melambatkan diri dan menurunkan ekspektasinya untuk dapat sampai ke tujuan lebih cepat. Dapat dibayangkan bagaimana Yakub menahan langkahnya. Seringkali ia harus menoleh ke belakang, berteriak memanggil, menyemangati bila anak-anak lelah, menggendong bila ada yang merajuk. Tentu butuh kesabaran ekstra untuk melakukan hal tersebut, karena tidak jarang perhatian anak mudah teralih lalu berhenti berjalan bila melihat sesuatu semisal batu, ranting, air dan sebagainya. Seperti itulah anak-anak, mereka belum banyak melihat, mendengar dan mengalami sehingga mereka belum memiliki perbandingan.
Perjalanan hidup kita mungkin serupa dengan perjalanan hidup Yakub, adakalanya kita perlu menurunkan ekspektasi dan standar kita dalam situasi tertentu. Jika kita mampu melakukannya, hal tersebut akan membuat kita dapat hidup lebih rileks, tidak terlalu terbeban, lebih memahami orang lain dan lebih sabar. Dampaknya relasi kita dengan pasangan, anak, teman atau siapa pun akan lebih baik karena kita tidak lagi menuntut mereka dengan standar yang kita tetapkan.
*) Salah seorang konselor PKTK Sidoarjo
PERJALANAN PELAYANAN
TELAGA PENGHARAPAN
Oleh: Sri Wahyuni, M.Th in Counseling
Bersyukur atas kepercayaan dan pelayanan yang Tuhan berikan pada Telaga Pengharapan. Berikut liputan perjalanan Telaga Pengharapan di bulan Juli:
GKT Getsemani Balung
Pada tanggal 10 Juli 2024, Telaga Pengharapan berkunjung ke Komisi Pria GKT Getsemani-Balung yang sedang merayakan HUT ke-22. Acara HUT dihadiri oleh 50 orang jemaat. Sri Wahyuni, konselor Telaga Pengharapan mendapat kesempatan menyampaikan seminar dengan topik "Keluarga Sehat Jasmani, Jiwa dan Rohani."
Ringkasan Materi
Dalam 1 Tes. 5:23 [5], Rasul Paulus mendoakan jemaat Tesalonika: "Semoga Allah damai sejahtera menguduskan kamu seluruhnya dan semoga roh, jiwa dan tubuh mu terpelihara sempurna tanpa cacat pada kedatangan Tuhan kita, Yesus Kristus." Melalui surat ini, Paulus memberi dua nasihat berkaitan kehidupan keluarga yang sehat, yaitu:
Pertama, Allah menguduskan orang percaya bagi-Nya. "May God himself, the God of peace, sanctify you through and through. May your whole spirit, soul and body be kept blameless at the coming of our Lord Jesus Christ" (NIV 1 Thess. 5:23 [6]). Allah sendiri yang mengudus kan tubuh, jiwa, roh orang percaya sejak menerima Tuhan Yesus Kristus, berlangsung terus sampai pada kedatangan-Nya. Mengapa Tuhan menguduskan tubuh, jiwa dan roh orang percaya sempurna/sehat (Yunani = holokleros), tanpa cacat (Yunani = amemptos)?
Dalam Perjanjian memperlihatkan orang Israel harus mempersembahkan korban persembahan (domba) yang sehat/sempurna, tanpa cacat pada Tuhan. Bahkan, Penjanjian Baru memberikan gambaran Yesus Kristus adalah anak domba Allah, korban penebusan yang sempurna, tanpa cacat cela. Allah adalah Kudus, maka kita sebagai umat kepunyaannya pun harus dikuduskan bagi Tuhan. Kedua, orang percaya bertanggung jawab pada Tuhan untuk menjaga tubuh, jiwa dan rohnya sehat. Apa penghalang orang percaya dalam menjaga hidup sehat? Billy Graham dalam bukunya 7 Deathly Sin menyebutkan 7 dosa yang membawa maut, yaitu: kesombongan, kecemburuan, kerakusan, percabulan, amarah, ketamakan, kemalasan. Pertanyaan refleksi: Di area mana saudara bergumul dengan dosa tersebut sehingga menjadi penghalang untuk hidup sehat? . . .
Sebagai penutup, rahasia hidup sehat secara praktis terangkum dalam akronim SEHAT: S_eimbang, E_nergik berlatih, H_ati gembira, A_supan nutrisi, T_eratur
GKT JEMBERTelaga Pengharapan mendapat kesempatan melayani di Komisi Usianda GKT Jember pada tanggal 15 Juli 2024. Dihadiri 60 orang jemaat. Ev. Sri Wahyuni, konselor Telaga Pengharapan menyampaikan Firman Tuhan dengan tema "Mengatasi Konflik dalam Keluarga."
Ringkasan Materi
Konflik keluarga adalah suatu situasi dimana terjadi pertengkaran yang menimbulkan ketegangan dan mengancam satu/dua pihak, serta berdampak pada kesejahteraan keluarga. Alkitab juga mencatat konflik yang terjadi dalam keluarga, antara lain: Kain membunuh Habel (Kej. 4:8 [7]), konflik antara Esau & Yakub karena hak kesulungan (Kej. 25:28-34 [8]), saudara-saudaranya membenci Yusuf oleh karena iri hati (Kej. 37 [9]).
Adapun beberapa faktor penyebab konflik keluarga, yaitu:
Belajar dari Kitab Amsal, ada tiga karakter yang harus dimiliki untuk mengatasi konflik dalam keluarga: pertama, menjadi pribadi yang berhikmat (Ams. 10:12 [10]). Kedua, menjadi pribadi yang mengasihi (Ams. 13:10 [11]). Ketiga, menjadi pribadi yang sabar (Ams. 15:18 [12]).
Berikut langkah praktis untuk menyelesaikan konflik dalam keluarga, antara lain: pertama, kesadaran. Sadar dan berani mengambil tanggung jawab kita dalam masalah tersebut. Kedua, komunikasi yang sehat, melalui keterbukaan, kejujuran, serta mendengarkan secara aktif. Ketiga, memahami kebutuhan pribadi dan orang lain. Setiap orang memiliki kebutuhan untuk dikasih dan dihargai. Keempat, fokus solusi. Temukan akar masalah dan fokus menemukan solusi terbaik bagi kesejahteraan keluarga. Kelima, cari bantuan. Ada masalah yang dapat diselesaikan sendiri. Namun, ada masalah yang butuh bantuan profesional.
SMPK ALETHEIA JEMBERPerjalanan Telaga Pengharapan mengunjungi SMP Kristen Aletheia Jember pada tanggal 26 Juli 2024. Dalam rangka Parents Meeting, pihak sekolah mengundang para orang tua murid untuk hadir dalam Ibadah Pembukaan Semester Baru tersebut. Sri Wahyuni, konselor Telaga Pengharapan menyampaikan topik "Membesarkan Anak dengan Cara Allah."
Ringkasan Materi
Alkitab mengatur hubungan antara orang tua dan anak, dimana baik anak maupun orang tua memiliki peran dan bertanggung jawab di hadapan Tuhan, sebagai berikut: pertama, anak harus menghormati orang Tua di dalam Tuhan (Ef. 6:1-3; Kol. 3:20 [13]). Perintah menghormati orang tua merupakan hukum pertama yang mengatur hubungan orang tua dan anak. Perintah ini disertai dengan janji Tuhan bahwa anak-anak berbahagia dan panjang umur di bumi. Tuhan memberikan berkat bagi anak-anak yang taat dan menghormati orang tua. Kedua, orang tua harus mendidik anak di dalam Tuhan (Ef. 6:4; Kol. 3:21 [14]). Tuhan memberi kepercayaan dan otoritas kepada orang tua untuk mendidik anak di dalam Tuhan. Namun, Tuhan juga memberi peringatan bagi orang tua agar tidak membuat anak sakit hati, supaya anak tidak tawar hati/patah semangat. Kunci relasi orang tua dan anak yang sehat adalah orang tua dan anak memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan. Semakin dekat relasi dengan Tuhan, maka semakin dekat pula relasi orang tua dan anak.
INSTAGRAM LIVEInstagram Live 26 Juli 2024 bersama Sri Wahyuni, konselor Telaga Pengharapan dan Nancy Rosita Timisela, konselor Sukacita Counseling Center mengulas topik "Waspadai Labeling."
Ringkasan Materi
Labeling adalah pemberian label/cap tertentu yang disematkan pada individu atas perilaku yang dilakukan. Beberapa faktor penyebab orang melakukan labeling, yaitu: faktor perilaku, stigma sosial, faktor demografi dan karakter klinis. Labeling memberi dampak yang buruk, antara lain:
Berikut empat cara mengatasi labeling: pertama, menyadari distorsi yang telah terjadi dari labeling. Kedua, membangun gambar diri yang sehat. Ketiga, melindungi diri dengan melatih pikiran tetap positif. Keempat, mencari dukungan. Ikuti perbincangan lengkapnya di instagram @telagapengharapan
Tujuh bulan telah kita lewati di tahun 2024, pada tanggal 23 Juli 2024 kita telah memeringati Hari Anak Nasional. Beberapa doa syukur dan doa permohonan adalah sebagai berikut :
Links
[1] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+22:6
[2] https://telaga.org/audio/prinsip_taburtuai_dalam_membesarkan_anak
[3] https://telaga.org/
[4] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kej+33:14
[5] https://alkitab.mobi/ayt/passage/1Te+5:23
[6] https://alkitab.mobi/tb/1Te/5/23/
[7] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kej+4:8
[8] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kej+25:28-34
[9] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Kej+37
[10] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+10:12
[11] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+13:10
[12] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Ams+15:18
[13] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Efe+6:1-3;Kol+3:20
[14] https://alkitab.mobi/ayt/passage/Efe+6:4;Kol+3:21
[15] https://telaga.org/jenis_bahan/berita_telaga