TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Orang Percaya dan Politik ( I )

Orang Percaya dan Politik ( I )

Kode Kaset: 
T561A
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K.
Abstrak: 
Menjadi orang percaya dan berpolitik sangat terkait erat, dalam Perjanjian Baru kita tidak dapat memisahkan Injil dan politik, ada kesatuan yang terjadi dimana Injil lahir, tumbuh, berkembang dan menyebar, disanalah ada situasi politik yang menyebar di dalamnya.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.


Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Orang Percaya dan Politik" (bagian pertama). Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

Y : Pak Sindu, tema yang kita akan perbincangkan kali ini sangat menarik, ya. Tentang "Orang Percaya dan Politik" sebab saya mengamati banyak orang percaya sebetulnya alergi atau menghindari politik. Bagaimana menurut Bapak, silakan Pak.

SK : Saya sepakat dengan pendapat Bu Yosie, memang kita mudah menemukan ketidaknyamanan di beberapa komunitas gereja dan pelayanan ketika menyinggung membicarakan tentang politik dan pemerintahan negara, bahkan ada rasa ketakutan kalau-kalau nanti gereja, pelayanan terseret dengan perdebatan urusan politik, pemerintahan, ketatanegaraan.

Y : Benar, Pak.

SK : Mereka berpendapat gereja dan pelayanan itu ‘kan urusannya hanya untuk soal-soal rohani dan amanat agung Kristus. Soal politik, soal negara itu ‘kan sudah ada yang mengurusi dan bukan tugas kita-kita di gereja dan di pelayanan. Itu kira-kira pendapat umum beberapa hamba Tuhan dan pemimpin gereja dan pelayanan, Bu Yosie.

Y : Iya, benar Pak, bahkan kadang kita seperti buta tidak mengerti apa-apa tentang politik karena sikap yang tadi, menghindari atau ketakutan atau tidak nyaman, ya Pak.

SK : Ya, jadi kebutaan atau kegagapan terhadap dunia politik itu yang membuat akhirnya barulah menjelang Pemilu baik Pemilihan Umum Presiden, Pemilihan Umum Anggota Legislatif, Pemilihan Umum Kepala Daerah, baru mulai tergopoh-gopoh datang dan bertanya ke orang tertentu, "Bagaimana Pak, bagaimana Bu, tolong beritahu siapa yang harus kami coblos, partai mana yang sebaiknya dipilih, nama siapa, nomor berapa ? Itu baru muncul hanya saat-saat tertentu, termasuk, "Ayo kita berdoa puasa agar Pemilihan Umum berjalan lancar, tertib, aman, terpilih pemimpin dan anggota legislatif yang takut akan Tuhan dan setelah momen pemilihan umum berlangsung, ya sudah lewat.

Y : Kita jarang lagi bicara tentang negara, tentang politik bahkan berdoa, begitu ya Pak ?

SK : Kalau pun berdoa, berdoanya hal-hal yang klise. Kita doakan agar supaya Pemerintah dari pusat sampai daerah, takut akan Tuhan, berjalan tertib aman, tercipta kondisi bangsa Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, jadi hal-hal yang sangat klise dan sangat umum.

Y : Atau juga mungkin kalau ada pengrusakan, pembakaran, baru kita tergopoh-gopoh lagi mendiskusikan, membicarakan tentang politik.

SK : Benar iya inilah yang juga terjadi, Bu Yosie, kalau kita melihat ke belakang di tahun-tahun tertentu kita bisa mengetahui peristiwa-peristiwa tertentu di beberapa kota atau Provinsi dan sekarang pun masih berlangsung kecil-kecilan, yang disebut Bu Yosie tadi, pengrusakan, pembakaran, pengeboman, penutupan gereja-gereja, baru terjadi antar gereja kumpul yang beda denominasi, beda aliran mau kumpul, baru merasa butuh Pemerintah, baru merasa butuh untuk mendekati tokoh-tokoh politik tertentu agar supaya menolong dalam situasi krisis ini dan ketika situasi mereda, membaik akhirnya juga kembali. Sebagian gereja dan pelayanan seperti tiarap kembali dan berkutat hanya pada area intern yang disebut hal-hal rohani dan berkenaan dengan amanat agung Kristus tadi.

Y : Ini yang menarik, Pak kalau begitu, karena kita tahu sebetulnya kita tidak bisa menghindari politik karena kita pun terkait. Kalau kita tidak mengetahui apa-apa, terkena dampaknya, kita bingung lagi, tergopoh-gopoh. Kalau begitu bagaimana seharusnya cara pandang dan respons kita sebagai orang percaya ?

SK : Untuk itu, Bu Yosie, kita membahas di bagian pertama dan nanti di bagian kedua. Untuk bagian pertama ini saya mau mengajak kita untuk melihat situasinya Tuhan kita Yesus waktu Dia datang sebagai manusia selama 33,5 tahun di dunia. Kalau kita lihat kehidupan Yesus terutama ketika Dia muncul di publik atau di masyarakat selama 3,5 tahun lewat, diawali peristiwa pembaptisan oleh Yohanes Pembaptis di sungai Yordan, maka kita akan tahu kalau kita teliti membaca keempat Injil, kita akan menemukan bahwa munculnya Yesus di publik selama 3,5 tahun sudah menimbulkan riak politik bahkan gelombang ombak politik secara nasional pada masa itu. Pada masa itu Yesus muncul di masyarakat dengan seruan yang berkata, "Kerajaan Allah sudah dekat" sebagaimana dinyatakan di dalam Injil Matius 3:2 [2] dan seruan itu disambut dengan penuh antusias oleh para rakyat Yahudi yang saat itu sangat menanti-nantikan mesias politik bagi pembebasan dari penjajahan Romawi.

Y : Sebetulnya ironisnya seruan itu juga ditakuti oleh Pemerintah saat itu, ya Pak ?

SK : Ya kalau pemerintah pada saat itu, pemerintah Romawi, Alkitab tidak mencatat tentang ketakutan itu, tetapi yang merasa terancam, yang merasa tidak suka akhirnya adalah para pemimpin agama Yahudi karena situasi saat zaman Yesus lahir dan besar, sebetulnya kekuasaan politik secara "de facto" dikuasai oleh pemimpin agama Yahudi.

Y : O, begitu !

SK : Agama dan politik menyatu.

Y : Jadi tokoh-tokoh politik adalah tokoh-tokoh agama, maka mereka berkepentingan menentang Yesus.

SK : Ya, Jadi kalau kita baca di Kitab Suci di keempat Injil kita menemukan Yesus berkeliling ke kampung-kampung dan jalanan Galilea kemudian Ia juga masuk ke Provinsi Yudea. Disana Yesus menuai banyak simpatisan kebangunan rohani yang kental dengan suasana politis.

Y : Maksudnya bagaimana, Pak ?

SK : Pada waktu itu banyak rakyat jelata, orang-orang Yahudi ini pergi mengikuti Yesus ke manapun Yesus pergi dengan satu keyakinan bahwa Yesus sedang membuka lembaran baru yang mereka nanti-nantikan dimana mereka akan dibebaskan dari beban pajak yang berlipat-lipat dan penindasan socio politik yang sedang terjadi oleh kerajaan Romawi. Situasi ini membuat kembali para pemimpin agama Yahudi terancam karena secara kekuasaan politik, merekalah yang menggenggam, merekalah yang dihormati, merekalah yang menikmati.

Y : Merekalah yang menikmati kuasa itu, ya Pak.

SK : Tepat, bahkan mereka diperkaya secara ekonomi juga oleh rakyat-rakyat jelata, orang Yahudi yang mengakui kepemimpinan agama, kepemimpinan sosial politik yang dipegang oleh para pemimpin agama Yahudi ini. Sekarang mereka sedang berbelok semakin lama semakin mengikuti Yesus.

Y : Jadi sepertinya Yesus menjadi ancaman yang besar terhadap posisi politik para ahli agama itu, ya Pak ?

SK : Ya, akan menjadi hal yang kurang tepat kalau kita membaca keempat Injil itu hanya dari sudut, "Oh, ini kebangunan rohani, ini hanya soal agamawi". Tidak, konteks pada zaman Yesus, agama dan politik menjadi satu. Tidak heran juga keduabelas murid Yesus sendiri juga mengikut Yesus secara antusias. Mereka menganggap pernyataan-pernyataan Yesus menunjuk juga pada apa yang diharapkan orang-orang Yahudi saat itu, yaitu suatu revolusi sosio politik, revolusi yang akan menghantar bangsa Yahudi menuju kepada tatanan dunia baru sebagaimana yang dinubuatkan para nabi Perjanjian Lama, bahwa mereka akan dibebaskan dari belenggu penjajahan, belenggu kemiskinan dan mereka akan mengalami kemuliaan, kejayaan seperti raja Daud pada masanya. Jadi mereka sedang menantikan Mesias dan Mesias dalam pengertian orang-orang Yahudi bukan sekadar Mesias rohani tapi sangat kental dengan Mesias politik.

Y : Menarik sekali, ya Pak. Sebetulnya kita pun sebagai pengikut Yesus tidak bisa memisahkan area rohani dan area politik, sebab Yesus pun lahir di zaman yang satu, begitu ya Pak ?

SK : Ya, pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus sendiri, Bu Yosie, pada saat itu memang berbau politis. Kita bisa mengecek pada beberapa bagian kitab Injil menuliskan bahwa Yesus mencela para penguasa dan Ia menunjuk kepada diri-Nya sendiri sebagai teladan, sebagai pembawa kebenaran, sebagai Kebenaran itu bahkan. Dan Yesus juga berbicara tentang Kabar Baik bagi orang-orang miskin yang pada saat itu rakyat miskin atau orang yang hidup di bawah garis kemiskinan amat banyak. Yesus juga dalam beberapa peristiwa Injil mencatat, Yesus membawa banyak orang ke tempat-tempat sunyi yang bisa dipersepsi sebagai niatan melakukan revolusi.

Y : Bisa dianggap sebagai pemberontak !

SK : Seperti mengkonsolidasi kekuatan sosial politik pada saat itu. Seperti melakukan kampanye politik. Dan jangan lupa sekian waktu kemudian Yesus juga menyatakan kepada publik bahwa tak lama lagi Bait Allah di Yerusalem akan hancur dan pada awal Paskah atau hari raya pembebasan Israel, Yesus sendiri mengorganisasi orang-orang di sekelilingnya dalam bentuk yang tidak mungkin tidak dianggap sebagai prosesi kerajaan.

Y : Yang mana ya, Pak ?

SK : Peristiwa ketika Yesus mau memasuki Yerusalem, Dia meminta murid-murid untuk menyiapkan keledai yang tidak pernah ditunggangi, keledai muda dan Yesus masuk kemudian orang-orang spontan mengambil daun palem, menyambut-Nya dan membuka jalan pada waktu Yesus masuk sebagai Raja yang akan membebaskan mereka dari belenggu tirani penjajahan. Jangan lupa pada saat itu Yesus secara sengaja dan secara dramatis mengungkapkan suatu perumpamaan tentang kehancuran Bait Allah dimana pada saat itu Bait Allah adalah pusat dari agama Yahudi didalam segala hal. Bicara tentang Bait Allah, Bu Yosie, tidak sama dengan berbicara tentang gedung gereja saat ini atau suatu gereja yang besar, katedral, yang terbatas hanya mengurusi hal-hal agamawi atau rohani.

Y : Jadi fungsi Bait Allah ada hal yang lain ya, Pak ?

SK : Benar, fungsi Bait Allah mencakup fungsi seperti masa sekarang ini Gedung Parlemen, Gedung Perwakilan Rakyat, atau sebagaimana istana kepresidenan untuk masa kita sekarang. Terhadap institusi sosial politik religius, terhadap institusi sentral dan vital dalam hal keagamaan, terhadap kehidupan sosial politik orang Yahudi inilah Tuhan Yesus berbicara, bahwa Bait Allah inilah yang akan dihancurkan dimana tidak ada satu batupun yang ada di atas batu yang lain. Ini menggemparkan, mengancam dan itu bersifat subversif artinya merongrong kekuasaan pemerintahan yang sedang ada baik oleh kekuasaan Romawi, tapi yang terancam sebenarnya adalah kekuasaan sosio politik religius dari para pemimpin agama Yahudi.

Y : Karena itu akhirnya Tuhan Yesus dijerat pasal, akhirnya dihakimi, oleh para ahli agama akhirnya kita tahu Dia dihukum mati.

SK : Benar, Yesus dijerat oleh pasal penistaan agama. Dan kemudian barulah Dia dibawa kepada pemerintah ‘de jure’ (secara hukum) berkuasa yaitu pemerintah kerajaan Romawi karena mereka tidak mungkin memberi hukuman mati kalau tidak ada pemerintah yang legal. Dibutuhkan kekuasaan legal sebagaimana kita tahu dalam Kitab Suci, Yesus dibawa kepada Pontius Pilatus, wali negeri, pemerintah yang sedang berkuasa di daerah pada saat itu. Maka Yesus dikenakan hukuman mati yang sangat keji lewat penyaliban, Ia mati sebagai pemberontak politik. Sebagai pembangkang politik.

Y : Kalau begitu bagaimana mungkin kita berani mengatakan Yesus tidak berpolitik. Yesus berarti pelaku politik pada zaman-Nya.

SK : Ya, jadi melekat kedatangan Dia sebagai Mesias untuk menggenapi janji-janji Allah tentang penyelamatan manusia dari hukuman dosa dan pada saat itu juga kedatangan Yesus membawa imbas, membawa dampak secara langsung dan nyata dalam perubahan situasi sosial politik pada waktu itu. Kita tidak memisahkan sama sekali dunia, keselamatan surgawi dengan situasi sosial politik.

Y : Dunia nyata kita hadapi di sekeliling kita. Kalau begitu selanjutnya bagaimana dengan Kisah Para Rasul, rasul Paulus dan kebenaran firman Tuhan terhadap konteks politik?

SK : Kalau tadi yang kita bahas tentang situasi zaman Yesus, kemudian kita bergerak bagaimana dengan zaman para rasul ? Ketika Yesus sudah bangkit dari kematian dan Yesus naik ke surga, kita tahu gereja berkembang, diawali dari pertobatan 3000 orang lewat kebangunan rohani seorang rasul Petrus. Pada saat itulah gereja mula-mula berdiri, mereka memunyai pengakuan iman yang sangat singkat pada waktu itu. Yesus adalah Tuhan, Yesus adalah kurios (tuan). Tuan atau Tuhan, sama dalam hal ini. Dan pengakuan itu pun juga mengandung unsur politik, Bu Yosie, karena kata ‘kurios’ sangat melekat pada kaisar Romawi. Jadi pada zaman itu, kaisar Romawilah yang diakui sebagai kurios, yang dikultuskan sebagai tuhan tapi pada saat yang sama Yesus mendeklarasikan bahwa Dirinya adalah Tuhan yang sesungguhnya. Dia adalah Raja yang memiliki kuasa tak terbatas sebagaimana kita lihat dalam Matius 28:18 [3] ketika Yesus mau naik ke surga, Yesus mengatakan, "Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi".

Y : Amin. Tentunya pengakuan yang eksklusif ini menimbulkan dampak politis karena dianggap menentang kekuasaan kaisar yang selama ini melekat dengan sebutan atau pengakuan Tuhan, tuan, kurios, dan sekarang diakukan kepada Yesus.

SK : Benar, jadi situasi ini punya benturan politik. Kalau tadi kita berbicara dalam konteks zaman Yesus, selama 3,5 tahun, benturan yang paling keras dirasakan antara Yesus dengan pemimpin agama Yahudi. Tapi kemudian ketika Yesus naik ke surga muncul gereja, benturannya bukan sekadar dengan pemimpin agama Yahudi tapi dengan pemerintahan Romawi, dengan kaisar. Gereja tumbuh dengan sebuah keyakinan sejak awal bahwa kami adalah komunitas yang berbeda, kami adalah kesatuan tubuh dari orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir. Sebagaimana kita baca dalam surat Galatia 3:28 [4], maka kita akan tahu sebuah keyakinan kokoh dari gereja mula-mula, sejak gereja mula-mula sampai sekarang bahwa di dalam Yesus tidak ada lagi orang Yahudi, tidak ada lagi orang Yunani, tidak ada lagi hamba atau orang merdeka, tidak ada lagi laki-laki atau perempuan karena semua adalah satu di dalam Kristus Yesus. Berdasarkan keyakinan ini muncullah sebuah kesatuan, tidak ada lagi bangsa, tidak ada lagi ras, tidak ada lagi wilayah geografis yang diistimewakan, semua adalah satu sebagai komunitas orang-orang percaya di dunia. Jadi tidak adanya diskriminasi ini membuat secara alamiah, Bu Yosie, gereja sebagai komunitas orang-orang yang ditebus ini, menganggap dirinya berada di atas angin. Berada di atas ketaatan terhadap penguasa-penguasa dunia.

Y : Karena merasa superior ya, Pak.

SK : Benar, muncullah sebuah pikiran alamiah, natural, untuk apa tunduk kepada kaisar di Roma sementara kaisar sendiri tunduk kepada apa yang disembahnya.

Y : Yaitu Tuan di atas segala tuan tadi yaitu Tuhan Yesus.

SK : Karena kaisar sendiri punya dewa yang disembah. Untuk apa kita menyebut kaisar itu kurios, sementara kaisar yang mengaku diri kurios atau tuhan itu juga punya Tuhan yang lain. Jadi dia bukan Tuhan yang sesungguhnya, tapi dalam nama Yesus kami orang-orang percaya yang terdiri dari berbagai bangsa, terdiri dari berbagai status sosial, punya Allah di atas segala allah, Raja di atas segala raja, jadi rasa superior memunculkan secara alamiah pemberontakan kudus.

Y : Menarik ya.

SK : Kami tidak perlu tunduk pada pemerintahan di dunia ini, pemerintah di dunia ini apa sih? Pemerintah di dunia ini tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan pemerintahan sorgawi.

Y : Tapi bagaimana dengan surat rasul Paulus yang jelas mengatakan tiap-tiap orang harus tunduk kepada pemerintah.

SK : Benar, dalam konteks itulah maka rasul Paulus oleh hikmat Roh Kudus menulis Surat Roma yang di antaranya ada di dalam Roma 13:1 dikatakan oleh rasul Paulus, "Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah". Dalam Roma 13:4 dan 5 [5], "Pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang. Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita". Jadi disinilah oleh hikmat Roh Kudus, Paulus memberikan pengaman, katup, ingat…ingat….ingat, kita memunyai Raja di atas segala raja, kurios yang sejati, Yesus Kristus, tetapi jangan lupa kita masih menginjak bumi, kita masih hidup di dunia, kita tetap menghormati otoritas yang ada di dunia ini, jangan lupa otoritas di dunia ini termasuk pemerintahan Romawi yang bengis sekalipun, yang sadis, yang tidak adil sekalipun tetap mereka memunyai otoritas karena Allah mengizinkan mereka menjadi wakil Allah yang tetap harus kita hormati dan taati.

Y : Bahkan dengan segala konsekwensinya, maksudnya menaati harus membayar pajak, menaati peraturan pemerintah yang ada. Itu yang menjadi konteks bagian yang dikatakan Rasul Paulus ya, Pak.

SK : Disini Rasul Paulus oleh hikmat Roh Kudus mau mengupayakan pencegahan supaya orang-orang percaya tidak mencemooh pemerintah yang sedang berkuasa, pemerintah yang di atas kita, di dunia ini. Jangan lupa yang dianjurkan disini bukan berarti tunduk begitu saja kepada apa yang diharapkan penguasa, tadi di Roma 13:5 [6] yang saya bacakan, "Sebab itu perlu kita menaklukkan diri bukan saja oleh kemurkaan Allah tapi juga oleh karena suara hati kita". Suara hati menjadi poin penting dimana ketundukan pada pemerintah yang ada di dunia ini, bukan ketundukan yang membabi buta. "Tinggalkan imanmu, jangan jadi orang percaya, injak-injak Alkitab". Wah, ini melawan nurani kita yang mengatakan, "Tuhanku adalah Tuhan yang hidup".

Y : Atau sebaliknya jangan hiraukan pemerintah, kita makhluk surgawi. Itu juga salah, tidak boleh ekstrem, ya Pak.

SK : Artinya sama sekali meniadakan pemerintahan yang ada di dunia, kita bersalah. Tapi ekstrem bahwa kita pasrah sepenuhnya, tunduk 100% apapun kata pemerintah yang berkuasa, itu juga salah.Kita ada di tengah-tengahnya. Ketundukan itu adalah dalam konteks membawa ketertiban. Bahwa orang-orang percaya sejak awal dididik oleh firman Allah untuk melihat bahwa hukum-hukum yang dibuat oleh pemerintah dari waktu ke waktu itu adalah hukum-hukum yang ditujukan untuk membawa kehidupan yang harmonis antar manusia ciptaan Allah dan Paulus menegaskan dalam hal ini bahwa ketundukan itu kepada pemerintah agar manusia bisa hidup tertib. Orang percaya ketika hidup di dunia tidak lepas dari berbagai kewajiban terhadap ketertiban hidup ini. Disinilah ketundukan pada pemerintah sekali lagi sebagaimana ketundukan kepada Allah untuk membawa ketertiban umum dalam hidup antar manusia di dunia ini.

Y : Sebelum kita berlanjut, satu dua kalimat sebagai kesimpulan di bagian pertama ini, Pak.

SK : Kita bisa simpulkan sampai di titik ini bahwa firman Tuhan secara khusus kita bicarakan dalam konteks zaman Yesus dan zaman gereja mula-mula menegaskan bahwa kehidupan orang percaya sangat dekat dengan kehidupan politik. Politik bukan sesuatu yang harus kita jauhi, malah sesuatu yang perlu kita akrabi karena itu menyatu sebagai ekspresi iman kita pada Allah yang hidup.

Y : Baik, Pak Sindu, nanti kita akan melanjutkan pembicaraan ke bagian yang kedua. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Orang Percaya dan Politik" bagian pertama. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org [7]. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [8]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan
T 561 A+B "Orang Percaya Dan Politik" ( I + II ) dpo. Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. Latar Belakang

Di beberapa komunitas gereja dan pelayanan ada ketidaknyamanan ketika membicarakan tentang politik dan pemerintahan negara. Bahkan merasa ketakutan kalau gereja dan pelayanan terseret dengan perdebatan urusan politik, pemerintahan dan ketatanegaraan. "Gereja dan pelayanan itu mengurus hal-hal rohani dan Amanat Agung Kristus. Soal politik dan negara itu sudah ada yang mengurusi dan itu bukan tugas kita-kita yang di gereja dan pelayanan". Demikian pendapat umum beberapa hamba Tuhan dan pemimpin gereja dan pelayanan. Umumnya kepedulian terhadap situasi politik dan pemerintahan negara baru muncul menjelang pemilihan umum presiden, legislatif, dan kepala daerah. "Tolong dong, beritahu siapa yang harus dipilih." "Ayo, kita berdoa puasa agar pemilu berjalan lancar, aman dan tertib dan terpilih pemimpin dan anggota legislatif yang takut akan Tuhan". Atau juga baru muncul ketika ada pengrusakan, pembakaran dan penutupan gereja-gereja. Diadakanlah rapat antar gereja dan lembaga pelayanan dengan pemerintah. Namun ketika situasi mereda dan membaik sebagian gereja dan pelayanan seperti tiarap dan berkutat kembali hanya pada area intern yang disebut hal-hal rohani dan berkenaan Amanat Agung Kristus semata.

Pertanyaan yang muncul: sudah tepatkah cara pandang dan respons orang percaya sebagaimana gambaran di atas? Untuk itu lewat "Orang Percaya dan Politik" bagian pertama dan bagian kedua kita akan membahas bagaimana konteks zaman Yesus dan apa kata Alkitab, apa yang melatarbelakangi sikap sebagian orang percaya tadi di atas yang memisahkan kehidupan orang percaya dan politik. Lalu kita akan melihat dalam situasi masa lalu dan kekinian negara kita Indonesia serta membahas bagaimana respons sepatutnya orang percaya.

Yesus dan Kerajaan Allah

Sesungguhnya menjadi orang percaya dan berpolitik sangat terkait erat. Kemunculan Yesus sendiri di publik selama 3,5 tahun sudah menimbulkan riak politik, bahkan gelombang ombak politik secara nasional pada masa itu. Seruan-Nya bahwa Kerajaan Allah sudah dekat (Matius 3:2 [2]) disambut dengan penuh antusias para rakyat Yahudi yang sangat menanti-nantikan mesias politik bagi pembebasan dari penjajahan Romawi. Kemudian Yesus berkeliling ke kampung-kampung dan jalanan Galilea dan menuai banyak simpatisan kebangunan rohani yang kental dengan suasana politis. Mereka pergi mengikuti Yesus ke mana pun pergi dengan keyakinan bahwa Yesus sedang membuka lembaran baru yang mereka nanti-nantikan, yang akan membuat mereka bebas dari pajak yang berlipat-lipat dan penindasan politik yang terjadi.

Kedua belas murid Yesus sendiri mengikut Yesus dengan antusias karena menganggap pernyataan-pernyataan Yesus menunjuk pada apa yang diharapkan orang-orang Yahudi saat itu yaitu suatu revolusi sosiopolitik, menuju kepada tatanan dunia baru.

Pernyataan-pernyataan Tuhan Yesus sendiri pada saat itu memang berbau politis. Yesus mencela para penguasa dan menunjuk kepada diri-Nya sendiri. Yesus berbicara tentang kabar baik bagi orang miskin. Dia membawa banyak orang ke tempat-tempat sunyi yang bisa dipersepsi sebagai niatan melakukan revolusi. Dia menyatakan bahwa tak lama lagi Bait Allah di Yerusalem akan hancur.

Pada awal Paskah atau hari raya pembebasan Israel, Yesus mengorganisasi orang-orang di sekelilingnya dalam bentuk yang tidak mungkin tidak dianggap sebagai suatu prosesi kerajaan. Bahkan Yesus secara sengaja dan dramatis mengungkapkan suatu perumpamaan tentang kehancuran Bait Allah. Pada saat itu Bait Allah adalah pusat dari Yudaisme dalam segala hal, yang berbeda jauh dengan gedung gereja atau suatu katedral yang terbatas hanya mengurus hal-hal rohani.

Fungsi Bait Allah juga mencakup fungsi gedung parlemen atau istana kepresidenan saat ini. Terhadap institusi sentral dan vital inilah Tuhan Yesus berbicara. Maka, ketika Yesus dikenakan hukuman mati yang sangat keji lewat penyaliban, Ia pun mati sebagai pemberontak politik atau pembangkang politik. Maka, bagaimana mungkin kita berani mengatakan bahwa Yesus tidak berpolitik?

Para Rasul, Paulus, dan Kebenaran Allah

Pengakuan iman jemaat mula-mula sangat singkat, "Yesus Kurios" yang berarti Yesus Tuhan. Pengakuan ini mengandung juga unsur politik, bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan yang sesungguhnya, bukan Kaisar Romawi yang pada waktu itu dikultuskan sebagai ‘tuhan’. Sementara dalam Matius 28:18 [3] Yesus menyatakan kepada para murid bahwa Ia adalah Raja yang memiliki kuasa tak terbatas: "seluruh kuasa di surga dan di bumi sudah diserahkan kepada-Ku."

Pengakuan ini eksklusif karena memunyai dampak politis yang besar terhadap perkembangan gereja pada waktu itu. Banyak orang percaya dianiaya termasuk para rasul, bahkan karena usaha pekabaran Injil, Paulus ditantang oleh penguasa karena Yesus diakui sebagai Tuhan dan Mesias.

Gereja sejak awal meyakini dirinya sebagai suatu komunitas yang berbeda, baik dari orang Yahudi masa itu maupun dari orang kafir. Tidak ada orang Yahudi ataupun orang Yunani, yang ada hanyalah gereja Tuhan (Galatia 3:28 [9]: "Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tridak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus".) Makin disadari bahwa janji-janji Tuhan telah menjadi warisan bagi orang-orang percaya di seluruh dunia. Tidak ada lagi bangsa, ras maupun geografis yang diistimewakan.

Maka, wajar sekali bila akhirnya Gereja menganggap dirinya berada di atas ketaatan terhadap penguasa-penguasa dunia. Untuk apa tunduk kepada kaisar, sementara kaisar juga tunduk kepada apa yang dia sembah? Kemungkinan ke arah pemberontakan kudus seperti inilah yang bisa melatarbelakangi Paulus menulis surat kepada Jemaat di Roma khususnya yang kita kenal di Surat Roma pasal 13 [10].

13:1 Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah 1 p yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan q oleh Allah. 13:4 Karena pemerintah adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau berbuat jahat, takutlah akan dia, karena tidak percuma pemerintah menyandang pedang 2 . Pemerintah adalah hamba Allah untuk membalaskan murka Allah atas mereka yang berbuat jahat. t 13:5 Sebab itu perlu kita menaklukkan diri, bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati u kita. Apa yang digariskan di sini adalah pencegahan terhadap sikap mencemoohkan pemerintah, seolah-olah gereja berada di atas atau di luar semua kendali sosial dan hukum. Yang dianjurkan di sini bukanlah tunduk begitu saja kepada apa yang diharapkan penguasa, melainkan suatu kesadaran bahwa menjadi orang percaya seseorang tidak perlu berhenti sebagai manusia dan dia terikat kepada kewajiban-kewajiban terhadap sesamanya. Lebih dari itu adalah kewajiban terhadap Allah yang menghendaki manusia-manusia ciptaan-Nya hidup harmonis satu sama lain. Kewajiban-kewajiban tersebut kurang lebih diabadikan dalam hukum-hukum yang dibuat pemerintah dari waktu ke waktu. Yang ditekankan Paulus bukanlah apapun yang dilakukan pemerintah pasti benar dan apapun yang mereka tetapkan harus diikuti, melainkan bahwa Allah ingin agar manusia hidup tertib; bahwa menjadi orang percaya tidak berarti melepaskan seseorang dari berbagai kewajiban terhadap tata tertib ini. Orang percaya patut tunduk, paling tidak secara umum, kepada mereka yang dipercayakan untuk menegakkan tata tertib.

Roma 13 menyatakan bahwa setidak-tidaknya menjadi orang percaya tidak berarti menjadi seorang anarkis atau pemberontak. Allah Pencipta menginginkan manusia ciptaan-Nya hidup dalam berbagai hubungan sosial, di mana diperlukan tata tertib, stabilitas dan struktur di mana orang percaya tidak terlepas dari hal ini.

Dari Perjanjian Baru ini ternyata kita tidak dapat memisahkan Injil dan politik. Kita tidak dapat menitipkan politik hanya kepada mereka yang menyandang senjata atau kepada mereka yang memegang kalkulator. Bila kita berdoa, "Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga", kita tidak bisa hanya berpikir tentang suatu keadaan yang mulai terjadi setelah semua manusia mati atau diubahkan seperti 1 Korintus 15:51 [11] (15:51 Sesungguhnya aku menyatakan kepadamu suatu rahasia 1 : d kita tidak akan mati e semuanya 2 , tetapi kita semuanya akan diubah, f 15:52 dalam sekejap mata, pada waktu bunyi nafiri yang terakhir. Sebab nafiri akan berbunyi g dan orang-orang mati h akan dibangkitkan dalam keadaan yang tidak dapat binasa dan kita semua akan diubah).

Jika kita ingin menjadi benar di hadapan orang percaya generasi pertama yang berdoa dan hidup di dalamnya, kita perlu membayangkan, bekerja dan berdoa untuk negara, masyarakat dan politik, tidak kalah pentingnya dari kehidupan rohani dan keagamaan kita.

Definisi Politik

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani τα πολιτικά (politika - yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya πολίτης (polites - warga negara) dan πόλις (polis - negara kota). Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara. Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan memertahankan kekuasaan di masyarakat. Definisi ini meneguhkan pemahaman bahwa hidup bersama dalam masyarakat membutuhkan pengaturan. Jika sama sekali orang percaya tidak terlibat dalam pengaturan bersama, maka orang lainlah yang mengatur nasib orang percaya dan nasib kehidupan bersama. Tuhan Yesus memberi identitas pada orang percaya sendiri dalam Matius 5:13-14, “Kamu adalah garam dunia dan terang dunia.” Membawa pengaruh Kristus untuk memberkati seluruh dunia dengan kepelbagaian agama, kepercayaan, budaya, daerah, strata sosial ekonomi di manapun kita berada. Dengan kata lain, berani menjadi orang percaya, berani bermasyarakat, berani berpolitik.

Latar Belakang adanya orang percaya yang apolitik

Adanya orang percaya yakni bersikap apolitik dilatarbelakangi oleh pemikiran dikotomi yakni: pemisahan antara yang fana dan yang kekal. Ini sesungguhnya merupakan pikiran Plato dan agama dunia yang memisahkan tubuh dan jiwa. Tubuh itu fana dan jiwa itu suci. Segala aktivitas yang berhubungan dengan tubuh itu fana dan kesia-siaan, segala aktivitas yang berhubungan dengan jiwa itulah yang mulia dan kekal.

Pikiran Kristus tidaklah demikian. Pemikiran Kristus adalah lingkaran konsentris. Ada lingkaran terkecil. Di luarnya lingkaran lebih besar. Di luarnya lagi lingkaran yang lebih besar lagi. Lingkaran terkecil adalah Kristus. Berikutnya lingkaran kehidupan pribadi, lingkaran kehidupan keluarga, lingkaran kehidupan komunitas gereja, lingkaran kehidupan masyarakat kota, lingkaran kehidupan negara, lingkaran kehidupan antarnegara.

Pandangan Yohanes Calvin

Persepsi Yohanes Calvin atau John Calvin—seorang teolog dan reformator Perancis—tentang politik tampak dalam bukunya Institutio Christianae Religionis (Pengajaran Agama Kristen). Dalam uraiannya mengenai Pemerintahan Sipil, Yohanes Calvin memaparkan dua hal mendasar, yakni Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus. Ia mengatakan, "Kerajaan Kristus itu berada dalam jiwa dan batin manusia dan memiliki hubungan dengan hidup kekal. Sedangkan Pemerintahan negara bermaksud menetapkan tata kehidupan yang benar dari segi sipil serta lahiriah yang memiliki hubungan dengan kekinian hidup manusia." Yohanes Calvin berpendapat bahwa sesungguhnya tidak ada pertentangan antara Pemerintahan Negara dan Kerajaan Kristus, meskipun keduanya berbeda. Ia bahkan memberi penghargaan yang tinggi dan tulus terhadap pemerintahan negara:

"Maka oleh siapapun tak boleh diragukan lagi bahwa kekuasaan politik itu adalah suatu panggilan yang tidak hanya suci dan sah di hadapan Allah, tetapi juga yang paling kudus dan yang paling terhormat di antara semua panggilan dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana."

Dalam bahasan khusus tentang Pemerintahan Negara, Yohanes Calvin berpendapat maksud pemerintahan sipil bukan sekadar menciptakan kebebasan di mana kemanusiaan dijunjung tinggi. Tetapi lebih dari itu pemerintahan sipil itu menuntun warganegara terutama orang percaya agar tidak menghina kebenaran Allah, tidak menyembah berhala, dan tidak menghujat agama. Sebaliknya supaya mereka memelihara ketenteraman umum, tidak merongrong milik sesama manusia, menegakkan keadilan serta memupuk sikap ikhlas dan sopan santun di antara mereka.

Pada dasarnya yang diinginkan Yohanes Calvin adalah supaya di antara orang percaya ada bentuk ibadah yang umum dan praktik hidup sehari-hari yang mencerminkan apa yang diimani dan di antara umat manusia ada perikemanusiaan. Dengan singkat kata, Pemerintahan Negara itu penting, bahkan kekuasaan politik itu merupakan panggilan yang suci, sah, paling kudus dan paling terhormat dalam seluruh lingkungan hidup orang-orang fana, termasuk orang-orang percaya. Lebih jauh, Yohanes Calvin menghargai mereka yang terpanggil melayani dalam Pemerintahan Negara.

Partisipasi Aktif Orang Percaya dalam Sejarah Indonesia

Ada banyak nama orang percaya yang terbukti telah berperan penting dalam sejarah politik kebangsaan dan pemerintahan di Indonesia. Antara lain: Pattimura, Christina Martha Tiahahu, Johanes Leimena, Tahi Bonar Simatupang, Radius Prawiro, Yap Thiam Hien.

Respons

Jadi bagi orang percaya dunia politik bukanlah panggung haram. Malahan sangat penting untuk orang-orang tekuni dan gumuli demi kemajuan bangsa dan kebaikan masyarakat luas. Menjadi birokrat, teknokrat, politisi adalah juga panggilan orang-orang percaya untuk bersaksi di tengah-tengah dunia ini.

Tindak Lanjut Gereja, Pelayanan dan Keluarga Orang Percaya
  1. Ajarkan kebenaran ini dalam kurikulum bina iman
  2. Ikut aktif serta dalam percakapan, dialog, dan aksi konkret bermasyarakat, berbangsa, bernegara.
  3. Dorong dan dukung warga gereja dan orang-orang percaya terjun dalam karya kemasyarakatan, politik kebangsaan, parlemen, dan pemerintahan.
Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [12]
Audio [13]
Pengembangan Diri [14]
T561A [15]

URL sumber: https://telaga.org/audio/orang_percaya_dan_politik_i

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T561A.mp3
[2] https://alkitab.mobi/tb/Mat/3/2/
[3] https://alkitab.mobi/tb/Mat/28/18/
[4] https://telaga.org/Galatia%203%3A28
[5] https://alkitab.mobi/tb/passage/roma+13%3A4-5
[6] https://alkitab.mobi/tb/Rom/13/5/
[7] mailto:telaga@telaga.org
[8] http://www.telaga.org
[9] https://alkitab.mobi/tb/Gal/3/28/
[10] https://alkitab.mobi/tb/Rom/13
[11] https://alkitab.mobi/tb/1Ko/15/51/
[12] https://telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[13] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[14] https://telaga.org/kategori/pengembangan_diri_0
[15] https://telaga.org/kode_kaset/t561a