TELAGA
Dipublikasikan pada TELAGA (https://telaga.org)

Depan > Kekerasan Terhadap Anak 4

Kekerasan Terhadap Anak 4

Kode Kaset: 
T373D
Nara Sumber: 
Ev. Sindunata Kurniawan M.K.
Abstrak: 
Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, tindak kekerasan terhadap anak terus mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Kekerasan terhadap anak diartikan sebagai perlakuan berulang berupa pengabaian maupun tindakan aktif yang membahayakan dan merusak anak-anak. Hal ini juga mencakup kegagalan orang tua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka. Diharapkan, dengan mengenal apasaja bentuk kekerasan terhadap anak, faktor-faktor penyebabnya, akibat yang ditimbulkan, serta mengetahui solusinya, orangtua dapat lebih bertanggungjawab dalam pengasuhan anak.
Audio
MP3: 
3.4 MB [1]
Play Audio: 
Your browser does not support the audio element.
Transkrip

Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi, di mana pun anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK bekerja sama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Hendra, akan berbincang-bincang dengan Bp. Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.

H : Pak Sindu, dalam pembahasan kita yang terakhir, Bapak sempat menjelaskan sedikit tentang agresif pasif. Kenapa bisa terjadi fenomena agresif pasif seperti itu ?

SK : Anak yang menjadi korban kekerasan, ketika berada di dalam rumah, dia menjadi pribadi yang selalu kalah. Maka ketika di luar rumah, ada keinginan kuat, "Aku harus menang !" sedikit pun tidak boleh ada ruang untuk kalah. Menang atau mati. Mungkin itulah semboyan anak korban dari kekerasan. Kemudian dia bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, itulah mekanismenya agar dia bisa bertahan hidup (survive, eksis) di tengah kekerasan dan penindasan orang tua. Jadi dia berusaha untuk 'survive' dan dia mendapati cara itu ampuh, maka terus-menerus diulangi, jadi kebiasaan, jadi pola hidup, jadi mekanisme hidup, jadi karakter dan jadi kepribadian. Disini kita bisa melihat rentetan yang sedemikian panjang dan sedemikian mencetak. Perlakuan orang tua memang mencetak anak kelak akan seperti apa, apakah anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau sebaliknya, menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

H : Dari pembahasan-pembahasan sebelumnya, Bapak banyak menjabarkan dampak kepada anak yang akhirnya menjadi agresif. Tapi pasti ada juga anak yang tidak agresif. Bagaimana dampaknya bagi anak yang tidak agresif ?

SK : Memang ada bentuk yang lain. Ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun agresif pasif. Dalam hal ini konteksnya, sang anak ini semua yang ada pada dirinya direbut habis-habisan lewat kekerasan yang dia terima. Apa yang dia miliki termasuk apa yang perlu dimiliki untuk menjadi pribadi yang sehat seperti sudah dirampas lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka anak ini tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan yang paling parah, dia memiliki rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Tak heran anak ini menjadi anak yang pasif dan apatis terhadap kehidupan.

H : Kenapa dia bisa merasa sangat benci kepada dirinya sendiri ?

SK : Karena dia tidak punya sesuatu yang bisa dia banggakan. Bukan hanya itu, yang dia mengerti tentang dirinya adalah, "Aku ini sampah. Aku ini kuburan yang penuh dengan tulang belulang. Aku penuh dengan hal yang busuk." Kenapa ? Karena perlakuan fisik yang sedemikian mendera, membuat anak melihat dirinya sebagai sansak hidup, yang buruk. Bahkan ditambah dengan kata-kata orang tuanya, "Tahu tidak, Kamu itu anak yang tidak pernah diharapkan di rumah ini ! Kelahiranmu itu sebuah kecelakaan. Kamu lahir membawa malapetaka. Gara-gara kamu lahir, keluarga kami miskin. Coba lihat kakakmu sudah banyak. Kamu itu anak yang kelima, kamu lahir membuat beban kami bertambah banyak !" itu pun ditambah dengan, "Kamu tidak berprestasi." dan lain-lain. Kata-kata caci maki dan penolakan yang aktif ini membuat lama kelamaan anak akan meyakininya. "Oh iya ya, aku ini memang jelek. Aku memang sampah dan tidak berguna." Ingat ! Kata-kata orang tua itu ibaratnya seperti kata-kata Tuhan. Jadi kalau Tuhan bilang, "Jadilah terang !", maka terang itu jadi. Demikian, orang tua sebagai wakil Tuhan, diberi otoritas Tuhan, kuasa penciptaan. Dan yang diciptakan itu adalah pribadi anak. Maka tidak heran kalau orang tua disebut sebagai wakil Tuhan, itu berarti sebagian kuasa penciptaan dimiliki oleh orang tua. Maka lewat kata-kata itu, itu kata-kata nubuatan dan punya kuasa. Anak selalu akan menjadikan orang tua khususnya di masa tumbuh kembangnya, sebagai poros. Kata-kata orang tua adalah kata-kata yang sangat berkuasa dan anak-anak dapat sangat mempercayainya. Sehingga kata-kata sampah yang menghancurkan harga diri anak itu akhirnya juga akan menghancurkan anak tersebut. Dan akhirnya sebagaimana orang tua membenci anak itu, jadilah anak itu membenci dirinya sendiri. Ini berakibat hidupnya sekadar menggelinding, hidup sekadar hidup, hanya sekadar memenuhi harapan orang tuanya, sekalipun dia tidak akan bisa memenuhinya.

H : Kalau dia sedemikian membenci dirinya, bagaimana relasinya dengan orang lain, Pak ?

SK : Akhirnya relasinya dengan orang lain pun diwarnai dengan kebencian dan penolakan. Bukankah Tuhan Yesus pernah mengatakan yaitu dalam hukum kedua yang setara dengan hukum pertama, yaitu, "Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." Jadi sebagaimana kita mengasihi diri kita sendiri, disitulah kita mempunyai modal kesanggupan untuk mengasihi orang lain. Sebaliknya ketika kita membenci diri kita sendiri, maka kita pun punya modal untuk menolak dan membenci orang lain. Memang orang yang membenci dirinya sendiri, dia juga tidak menyukai orang lain ! Ataupun ketika dia merasa sebenarnya butuh orang lain karena dia makhluk sosial, tapi karena dia membenci dirinya sendiri, tidak ada sesuatu yang menarik orang lain untuk mendekat bahkan berteman dengan dia. Kata-katanya negatif, wajahnya murung, hidupnya tidak ada terang yang ada kesuraman belaka, orang-orang pun secara alami enggan berteman dengan orang yang hidupnya suram, kata-katanya negatif dan tidak punya semangat hidup. Akhirnya ia akan merasa kesepian dan terasing. Demikian, Pak Hendra.

H : Apakah sikap membenci diri ini dapat menjerumuskannya kepada hal-hal yang mengarah pada perusakan diri atau kematian ?

SK : Iya, ini sebuah mata rantai yang tidak terputuskan. Karena dia membenci dirinya, tanpa sadar dia melakukan berbagai perilaku atau mengembangkan gaya hidup yang merusak dirinya. Dalam hal ini bisa berupa dia jatuh kepada kerentanan untuk merokok. Merokok itu 'kan merusak diri, memasukkan berbagai jenis racun kimiawi, diantaranya nikotin, untuk menghancurkan paru-paru dan tubuhnya. Rentan dengan minuman beralkohol, penyalahgunaan obat-obatan, men-tatoo atau menindik tubuhnya di sana-sini. Jadi merajah tubuh bukan sekadar seni. Tatoo itu sebuah seni, iya ! Tapi di sisi lain, tattoo itu bisa menjadi bentuk pelarian, mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batin seseorang. Semakin banyak rajahan, sayatan, tindikan, tusukan pada tubuhnya, itu seperti membuat anak yang terluka ini lega. Kenapa ? Karena bisa menyalurkan kebencian yang amat sangat dalam hatinya. Bahkan beberapa anak tumbuh menjadi pribadi yang suka menyulutkan rokok, membakar kulitnya dengan rokok yang menyala. Sakit, panas, luka bakar. Kemudian sengaja menyayat tubuhnya dengan silet, menghisap darah yang mengalir dari sayatan itu. Itu dilakukan karena dia sangat membenci dirinya dan dengan dia dia melukai dan meminum darahnya sendiri, itu seperti memberikan kelegaan sesaat.

H : Mengerikan sekali ! Tapi ini sulit dimengerti, bagaimana dia bisa merasa lega padahal dia sedang menyakiti dirinya ? Jadi dia lega tapi sakit. Bagaimana, Pak ?

SK : Ini memang kontradiktif tapi nyata. Karena dia tidak bisa mengekspresikan dengan baik, jadi ibaratnya dalam bahasa simbolik, seperti ada bola api yang panas dalam dirinya dan dia kepanasan, dia terbakar. Bagaimana agar dia tidak merasa panas ? Yang perlu dia lakukan bukankah mengeluarkan bola api panas itu. Karena dia tidak mengerti cara yang sehat untuk mengeluarkan bola api yang membakar tubuhnya, maka dia membuat luka-luka sayatan. Itu salah satu bentuk ekspresi yang tidak sehat dan sifatnya palsu untuk mengeluarkan panas api itu. Jadi dinamikanya bisa kita pahami demikian. Dia mencoba mengeluarkan panas bola api dalam tubuhnya itu, tapi karena tidak tahu cara yang sehat, maka dia menyayat-nyayat tubuhnya. Dengan adanya luka, bagian tubuh yang menganga dan darah yang keluar, itu seperti menyalurkan panas yang menyiksa tubuhnya.

H : Jadi rasa sakit yang dia ciptakan sebenarnya tidak seberapa dibanding dengan rasa sakit yang terkurung di dalam dirinya ?

SK : Tepat, jadi sebenarnya dia sedang mengorek-ngorek lubang dalam dirinya lewat tubuhnya yang disayat dan dilukai itu supaya apa yang menyiksa di dalam tubuhnya itu dikeluarkan.

H : Apakah ini juga termasuk orang-orang yang suka melakukan kegiatan ekstrem yang menantang maut, ya Pak ?

SK : Ya. Memang beberapa anak korban kekerasan itu menjadi orang yang rawan untuk melakukan kekerasan. Di jalanan, kekerasan di luar, tanpa sadar salah satu itu bersifat ganda. Di satu sisi mengeluarkan energi kekerasan di dalam dirinya, dia lampiaskan kepada pihak luar. Tapi di sisi yang lain sebenarnya dia sedang menantang maut. Sedang membuka jalan yang lebih besar untuk menuju kematian. Karena bagi dirinya mati adalah keuntungan. Sayangnya bukan seperti Rasul Paulus yang "Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan", disini konteks mati adalah keuntungan karena dia begitu menderita oleh karena kekerasan yang bertahun-tahun dia terima. Maka dia menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar, itu sebagai ekspresi dia menantang maut dan dia ingin cepat mati.

H : Jadi konsepnya hidup bukan hidup bagi Kristus, tapi hidup adalah penderitaan dan mati adalah keuntungan ?

SK : Ya.

H : Apakah ada dampak dalam kehidupan seksualnya ?

SK : Ya, bagi anak korban kekerasan maka dia rawan menjadi budak seks. Baik itu seks yang bersifat normal maupun yang abnormal. Disini seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya yang membuat dia putus sementara dari rasa sakitnya. Memang sebenarnya seks dalam rancangan Tuhan bukanlah sebagai mekanisme atau alat pelarian, bukan juga obat sakit hati. Tetapi anak yang menjadi korban kekerasan itu bisa jadi tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk ke dalam kehidupan seks yang liar tak terkendali dan menjijikkan.

H : Tadi Bapak menyebutkan ada budak seks, baik seks normal maupun seks abnormal. Bedanya seperti apa, Pak ?

SK : Seks yang normal itu dilakukan dengan lawan jenis. Tapi yang tidak normal, dilakukan oleh sejenis, atau maaf, dilakukan dengan binatang. Ada seks yang tidak normal dalam konteks dilakukan dengan tindak kekerasan. Karena dia membenci dirinya dan suka melukai dirinya, maka ketika dia berhubungan seks, dia lebih suka berhubungan seks sambil disiksa dan disakiti sampai berdarah-darah. Jadi seks yang masochis. Atau sebaliknya, dia melampiaskan energi kekerasan yang ada dalam dirinya ini, dia menjadi pelaku kekerasan, maka ketika dia berhubungan seksual, dia berhubungan seksual dengan menyiksa rekan seksnya. Lahirlah seks sadisme. Atau sebaliknya, dia menjadi pelacur. Bukan hanya wanita, pria pun bisa menjadi pelacur, berhubungan seks liar dan bebas. Dan ini terus berekskalasi meningkat-meningkat yang sesungguhnya adalah sekadar "mencari kepuasan palsu" yang tidak ada ujungnya dan ujungnya itu hanyalah kehancuran, kematian yang sia-sia.

H : Dikatakan dia menjadi budak seks karena dia menjadi kecanduan dengan seks ini dan seks ini menjadi alat pelariannya, ya Pak ?

SK : Betul, memang mekanisme pelarian. Seks sebenarnya dirancang Tuhan bukan sebagai solusi bagi orang yang menjadi korban kekerasan, tetapi oleh lewat proses hidup yang keliru dia mengerti seks dengan keliru juga dan menikmati seks dengan model yang keliru. Sebenarnya dia menjadi semakin terjerat dalam mata rantai kekerasan juga.

H : Jadi selain masalah seksual, penyalahgunaan obat-obatan, narkoba, alkohol, dan lain sebagainya ini bisa masuk dalam kategori mekanisme pelarian, Pak ?

SK : Ya, mekanisme pelarian ini juga bisa berupa mencari kekuatan diri yang palsu. Misalnya belajar bela diri, tenaga dalam, bermain dengan kuasa kegelapan atau okultisme. Dalam hal ini untuk memperkuat diri yang lemah dan bertahun-tahun telah menjadi korban kekerasan. Disini saya ingin menegaskan, belajar bela diri bukan serta merta keliru. Tetapi ketika orang mempelajari bela diri sebagai mekanisme pelarian karena korban kekerasan, inilah yang menjadi ruang yang keliru.

H : Tapi 'kan ada sebagian korban kekerasan yang menjadikan pencarian kekuatan fisik dan supranatural ini akhirnya menjadi rentan mengejar maskulinitas yang palsu.

SK : Iya, memang yang dicari, khususnya bagi anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan, akhirnya jatuh menjadi maskulin yang palsu. Dia merasa, "Ini lho pria sejati. Tubuhku atletis. Aku jago bela diri. Ini tatoo-ku, mana tatoo-mu ?" atau seorang perokok, "Pria punya selera." Atau peminum, "Ini lho, aku bisa minum "Johnny Walker", aku bisa minum beberapa krat sekaligus." "Ini lho aku jadi pemimpin gang yang ditakuti." "Ini lho, ada banyak wanita yang sudah aku tiduri." Tapi itu seakan-akan seperti sebuah teriakan bahwa, "Aku ini lho laki-laki sejati. Aku bukan pecundang. Jangan sekali-kali meremehkan aku ! Jangan menginjak-injak aku lagi seperti dulu aku pernah mengalaminya !" Semua itu saya katakan sebagai kepriaan yang palsu, maskulinitas yang bohong.

H : Maskulinitas yang asli seperti apa, Pak ?

SK : Maskulinitas yang asli itu seperti Tuhan Yesus. Dia itu pria sejati yang asli, yang sesungguh-sungguhnya. Jadi Dialah sosok yang sehat. Pria yang sejati tidak perlu menunjukkan dengan dada yang membusung atau dengan bulu dada yang sedemikian rupa. Tapi dia tunjukkan dengan sikap yang tegas, sikap yang mengayomi, sikap yang berani membela kebenaran dan keadilan, sikap yang berani berterus-terang dalam kasih, sikap yang rela berkorban seperti Kristus membela yang benar, rela berkorban, mati untuk sebuah kebenaran, dan melindungi yang lemah apalagi wanita dan anak-anak. Itulah pria sejati.

H : Tanpa perlu atribut-atribut seperti gang motor dan sebagainya ya ?

SK : Ya, pria sejati juga pria yang tunduk kepada Allah. tunduk kepada otoritas dan menghargai otoritas, bukan pria yang memberontak.

H : Selain mekanisme pelarian diri, dalam ilmu psikologi juga dikenal mekanisme pertahanan diri. Apakah ini juga terjadi pada korban kekerasan ini ?

SK : Memang korban kekerasan mau tidak mau secara alami kental dengan mekanisme pertahanan diri. Jadi sebuah bentuk karena dia cemas, tegang, takut, akhirnya lahir cara-cara melindungi diri yang sebenarnya kurang sehat, apalagi kalau dilakukan berulang-ulang. Jadi anak-anak korban kekerasan rawan untuk menjadikan model penyangkalan sebagai cara hidupnya. "Tidak kok, dia yang salah !" mengkambinghitamkan orang lain. "Ayah dan ibuku yang membuatku seperti ini. Aku luka batin. Aku ini korban kekerasan, jadi wajar kalau begini." Jadi dia memakai pengetahuan-pengetahuan tentang luka batin, kepahitan, itu hanya untuk membenarkan diri sendiri, bukan untuk mencari pertolongan untuk bagaimana dia ditolong dan dipulihkan dilepaskan dari jerat kekerasan ini. Malah dia membenarkan dan mengkambinghitamkan. Ini adalah bagian dari mekanisme pertahanan diri. Merasionalisasi, mencari alasan-alasan yang logis, termasuk berbohong, itu termasuk mekanisme pertahanan diri, Pak Hendra.

H : Pak, semua mekanisme ini adalah cara yang salah. Pastinya dengan cara yang salah akan menghasilkan keyakinan-keyakinan yang salah ?

SK : Benar, Pak Hendra. Keyakinan yang salah pada anak-anak korban kekerasan bisa dalam bentuk tiga rupa. Itu sebenarnya konteksnya bukan hanya pada anak korban kekerasan, tapi bisa pada siapa pun kita, orang-orang yang berdosa juga bisa mempunyai keyakinan-keyakinan yang keliru. Tapi khusus untuk anak korban kekerasan, saya bisa soroti dalam tiga bentuk. Pertama, keyakinan yang keliru berkenaan dengan diri sendiri. misalnya bagi anak laki-laki mungkin berpikir demikian, "Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan itu bikin lembek. Tidak boleh merasa. Menangis itu cewek, untuk banci. Aku laki-laki sejati tidak boleh menangis, tidak boleh ikut merasa." Itu penipuan, kebohongan, keyakinan yang keliru tentang diri. Bagi anak perempuan bisa jadi berpikir begini, "Wanita itu memang diciptakan untuk dijajah pria. Wanita itu memang kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar." Maka tidak heran wanita-wanita ini mempunyai konsep diri yang negatif, benci dengan kewanitaannya, bahkan ada beberapa yang mempersembahkan diri untuk diinjak-injak laki-laki. Keyakinan diri yang keliru juga bisa dalam bentuk, "Aku ini tidak berharga, sampah, pecundang. Apapun yang kulakukan memang salah dan gagal." Atau dia berpikir, "Hanya satu jalan hidup sukses, yaitu kuat, hebat dan berkuasa ! Harus jadi orang yang kaya raya ! Harus jadi orang yang punya reputasi biar korupsi tidak apa-apa, yang penting kaya raya dan sukses. Dan itu membuat aku tidak akan pernah jadi korban kekerasan, tidak akan pernah ditindas orang lain. Maka pilihan hidupku hanya satu: menindas atau ditindas. Menang atau sama sekali jadi orang yang diinjak."

H : Mengerikan sekali, dengan keyakinan yang keliru ini otomatis jalan hidupnya menjadi tersesat, Pak ?

SK : Iya.

H : Kalau berkenaan dengan orang lain, keyakinan yang keliru itu seperti apa ?

SK : Keyakinan yang keliru bisa jadi anak laki-laki berpikir, "Oh, memang yang namanya wanita itu hak miliknya perempuan. Wanita itu layak dipukul, direndahkan." Maka ketika dia bertemu wanita, misalnya waktu dia mengendarai sepeda motor, "Hahaha, apa ini wanita naik motor ? Serempet aja, permainkan saja. Apalagi dia wanita pakai mobil". Dengan gampang dia lecehkan dengan pandangan matanya, dengan menderu-derukan kendaraannya untuk menakut-nakuti wanita. Jadi memandang wanita secara rendah. Ini termasuk keyakinan yang keliru tentang orang lain. Atau sebaliknya bagi anak perempuan berpikir, "Semua anak laki-laki itu cuma satu shio (menurut cara pikir orang Tionghoa), yaitu shio buaya atau shio serigala. Semua laki-laki cuma mau seks, hanyalah pelaku kekerasan. Hanya satu yang perlu dilakukan, laki-laki harus dilawan !" Tuduhan-tuduhan seperti itu bisa muncul.

H : Kalau terhadap Tuhan, Pak ?

SK : Terhadap Tuhan, dia berpikir, "Tuhan memang ada tapi Dia jauh tak terjangkau. Tuhan memang penuh kasih. Sayangnya tidak mengasihi diriku. Bohong kalau Tuhan Mahakasih." Jadi hal-hal seperti ini bisa sedemikian mendalam. Mungkin orang belajar Alkitab, belajar teologi di Sekolah Teologi, pendeta pun bisa berkhotbah sesuai firman, tapi kalau dicek hidupnya, apa yang dia khotbahkan mungkin bukan keyakinannya. Kenapa ? Karena lukanya begitu dalam. Emosi yang gelap itu memelintir keyakinan-keyakinannya. Sehingga ada keyakinan yang hanya bersifat akademis untuk diajarkan ke orang lain, tapi tanpa sadar ada keyakinan yang lain yang dia yakini sampai mati-matian sulit untuk dilepaskan.

H : Juga ada keyakinan bahwa Tuhan itu tidak adil ya, Pak ?

SK : Ya, dalam hal ini termasuk mempengaruhi luka ini, pola pandang terhadap Tuhan. Ini yang begitu dalam sekali. Akhirnya pandangan ayah yang buruk, ayah pelaku kekerasan itu terpantulkan bahwa Bapa di surga adalah Bapa yang buruk dan pelaku kekerasan. Dia bisa menjadi pemimpin pujian dan menyanyikan "Allah itu Baik, Bapa itu Baik". Dalam hatinya, "Iya, Bapa baik untuk kamu, tidak untuk saya." Jadi muncul rasa tidak aman, pandangan rohaninya tentang Bapa di Surga itu keliru. Kalau dalam bentuk yang lain karena pandangan rohani yang keliru itu, membuat dia bisa bersifat anti-Kristen, anti iman terhadap Kristus. Apalagi kalau papanya aktivis gereja atau hamba Tuhan. Maka dia akan berpikir, "Aku sengaja tidak menjadi Kristen untuk melawan iman orang tuaku." Atau sebaliknya, dia menjadi Kristen tapi Kristen yang legalis. Tekankan teologi kebenaran, teologi iman, sayangnya miskin kasih karunia, miskin anugerah, miskin pengampunan. Dalam hal ini terjadi kesesatan dalam dia menghayati hidup teologi karena dia korban kekerasan yang belum disembuhkan.

H : Selain semua dampak yang telah Bapak jabarkan, apakah masih ada dampak-dampak yang lain ?

SK : Dampak yang terakhir adalah mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi. Dampak kekerasan orang tua pada anak bukan berhenti pada anak. Tapi juga bisa berdampak pada cucunya, cicitnya, canggahnya dan generasi berikutnya. Begitu jauh akibat buruk dari dosa kekerasan terhadap anak ini, Pak Hendra.

H : Di akhir sesi ini, pesan firman Tuhan apa yang ingin Bapak sampaikan ?

SK : Saya bacakan dari Efesus 6:4 [2], "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Dalam hal ini kita para orang tua, baik sebagai ayah atau ibu, mari kita dengar firman Tuhan ini, mendidik anak-anak kita di dalam kuasa Tuhan. Bukan mendidik di dalam hal yang membangkitkan amarah, kebencian dan kepahitan bagi anak kita, maka mari kita menjadi orang tua yang tidak melakukan kekerasan terhadap anak. Mari kita berdoa, "Bapa yang di surga, berikanlah kami kuasa untuk mengasihi. Otoritas yang melindungi dan mengasihi sebagai orangtua bagi anak-anak kami. Dengan demikian biarlah kami menghentikan mata rantai kekerasan yang mungkin dulu pernah kami terima. Kami sudahi cukup pada kami. Anak kami mengalami proses pendidikan yang berbeda. Kami juga berdoa bagi gereja-gereja di Indonesia secara khusus, supaya lebih menaruh perhatian terhadap isu kekerasan terhadap anak agar gereja tidak menutup mata, tapi gereja membela anak-anak yang terjajah dan teraniaya ini. Muncul program terobosan yang mendampingi orang tua untuk mendidik dalam kasih dan disiplin yang benar. Berkati pula Komnas Perlindungan Anak, berkati LSM yang bergerak dalam perlindungan anak. Supaya dalam berkat Tuhan, karya mereka semakin nyata, melindungi, membela dan mengangkat anak-anak untuk menerima apa yang layak sebagai anak, tumbuh menjadi anak-anak Indonesia yang sehat, kuat, dan diberkati oleh Tuhan. Dalam nama Tuhan Yesus, amin. "

H : Terima kasih Pak Sindu. Para pendengar sekalian, terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, M.K., dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kami baru saja berbincang-bincang tentang topik "Kekerasan Terhadap Anak" bagian keempat. Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini silakan menghubungi kami melalui surat yang dapat dialamatkan ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Anda juga dapat menggunakan e-mail dengan alamat telaga@telaga.org [3]. kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org [4]. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan, akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa pada acara TELAGA yang akan datang.

Ringkasan

Satu sisi kita juga perlu menyadari benar: Jumlah anak di Indonesia sangat besar, sekitar 34 % atau sepertiga dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 240 jutajiwa.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang kemudian menjadi Komisi Nasional Perlindungan Anak, selama tahun 2003 tercatat 481 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus di tahun 2004. Delapan tahun kemudian, tahun 2012 melonjak menjadi 2.637 kasus kekerasan terhadap anak. Sementara selama Januari-Juli 2013 tercatat 1.824 kasus. Dari sini kita melihat kecenderungan grafik yang menaik dari tahun ke tahun. Namun, angka itu merupakan fenomena gunung es karena tak semua korban kekerasan mau melaporkan kasusnya karena takut, malu dan berbagai sebab.

Definisi Kekerasan terhadap Anak (child abuse). Semua perlakuan berulang terhadap anak, baik berupa pengabaian maupun tindakan aktif, yang membahaya-kan atau membuat kerusakan segi fisik, maupun perkembangan dan kesehatan emosi anak, yang biasanya dilakukan oleh orangtua atau orang-orang lain yang bertanggungjawab terhadap pengasuhan anak. Perlakuan pengabaian di sini mencakup kegagalan orangtua dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab pengasuhan mereka, baik berupa penolakan orangtua terhadap tugasnya maupun karena ketidakmampuan orangtua dalam menjalankan tugas pengasuhannya.

Bentuk-Bentuk Kekerasan pada Anakada 4 kategori, yaitu :

  1. Kekerasan secara Fisik terhadap Anak

  2. Adalah penyiksaan, pemukulan dan penganiayaan terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau memar akibat kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan, cubitan, ikat pinggang atau rotan, hantaman. Dapat berupa luka benda tajam, seperti akibat silet, pisau, parang. Dapat juga berupa luka bakar akibat minyak panas, air keras atau akibat sundutan rokok dan seterika. Lokasi luka biasanya ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau daerah pantat. Terjadinya kekerasan secara fisik terhadap anak umumnya dipicu oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti perilaku yang dianggap nakal atau rewel, menangis terus, minta jajan, buang air kecil maupun besar atau muntah di sembarang tempat, memecahkan barang berharga.
  3. Kekerasan secara Psikis terhadap Anak

  4. Meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar dan film porno pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif atau perilaku yang menunjukkan bahwa anak tersebut kurang dapat menyesuaikan diri atau kurang nyaman dengan lingkungan di mana dia berada, seperti menarik diri, mengunci diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takut bertemu dengan orang lain.
  5. Kekerasan secara Seksual terhadap Anak

  6. Berwujud perlakuan yang mengarah ke kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih besar usianya melalui kata, sentuhan, gambar visual, tindak ekshibisionisme; maupun perlakuan kontak seksual secara langsung yang dilakukan orang tua terhadap anaknya sendiri seperti 'incest', perkosaan, eksploitasi seksual atau pemanfaatan seksual.
  7. Kekerasan secara Sosial terhadap Anak

  8. Meliputi penelantaran anak dan eksploitasi anak. Penelantaran atau pengabaian anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak, a.l. anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan keluarga atau masyarakat. Contoh : memaksa anak melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, social atau politik tanpa memerhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan status sosialnya a.l. memaksa anak bekerja di pabrik yang membahayakan dengan upah rendah atau anak dipaksa melakukan pekerjaan rumah tangga yang melampaui batas kemampuannya.
Amsal 16:29 [5],"Orang yang menggunakan kekerasan menyesatkan sesamanya, dan membawa dia di jalan yang tidak baik" Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak, ada 3 faktor yaitu sebagai berikut :
  1. Faktor Orangtua dan Keluarga

    1. Dibesarkan dengan kekerasan dengan kata lain terjadi pewarisan kekerasan antargenerasi.

    2. 30 persen dari anak yang mengalami kekerasan dari orangtuanya, ketika tumbuh menjadi dewasa, menjadi orangtua yang melakukan kekerasan kepada anak-anaknya. Anak-anak yang yakin bahwa perilaku buruk layak mendapatkan tindakan kekerasan akan lebih sering menjadi orangtua yang memperlakukan anaknya secara salah, dibandingkan anak-anak yang yakin bahwa orangtua mereka salah saat memperlakukan mereka dengan kekerasan. Pola kekerasan orangtua menjadi patron anak dan mungkin satu-satunya patron terlebih ketika mendapati dirinya sukses dalam ukuran dunia: kaya raya dan mendapat status sosial tinggi di masa dewasanya.
    3. Orang tua belum mencapai kematangan fisik, emosi maupun sosial terutama untuk mereka yang memunyai anak sebelum usia 20 tahun.

    4. Menikah itu membagi hidup berarti membutuhkan diri yang sudah cukup mantap untuk kemudian membagikan ke pasangannya. Apalagi ketika ada anak bayi, membagi dengan minimal kepada 2 orang. Dirasakan kehadiran anak adalah beban, bukan berkat.
    5. Pecandu minuman keras dan obat-obatan.

    6. Memperbesar stres dan merangsang perilaku kekerasan. Pecandu mengalami emosi yang labil dan tidak terkontrol kata dan tindakan. Dirinya saja tidak terurus, apalagi pasangan (:istri) dan anaknya. Mereka malah dieksploitasi untuk kecanduannya.
    7. Gangguan jiwa

    8. Orang tua yang mengalami gangguan jiwa memunyai potensi menjadi orang tua yang melakukan kekerasan kepada anaknya. Misalnya orang tua menderita depresif secara klinis, murung terus, berputus asa, sehingga orang tua mengabaikan anak. Anak menyerap pola yang demikian. Orang tua yang menderita schizophrenia, halusinasi, paranoid, sehingga anak tinggal dalam kondisi yang tidak sehat.
    9. Asumsi orang tua keliru tentang anak

    10. Anak sebagai individu yang seharusnya memberikan dukungan dan perhatian kepada orangtua. Di sini terjadi pembalikan peran, sehingga ketika anak tidak dapat memenuhi harapan tersebut, orangtua merasa bahwa anak harus dihukum.
    11. Ketidakmengertian kebutuhan perkembangan anak

    12. Anak yang semestinya memang belum saatnya mampu dan terampil melakukan sesuatu, tapi karena minimnya pengetahuan orangtua, anak kemudian dipaksa untuk melakukannya. Ketika ternyata anak memang belum bisa, orangtua menjadi marah.
    13. Relasi pernikahan yang tidak memuaskan dan struktur keluarga yang tidak sehat

    14. Anak rentan menjadi sasaran pelampiasan kekecewaan orangtua ketika tidak puas dan dikecewakan dalam pernikahannya. Orangtua tunggal, hubungan yang salah satu dominan dan istri menjadi sasaran kekerasan, sering bertengkar, keluarga terpecah.
    15. Stres lain:

    16. akibat tekanan ekonomi, kelahiran bayi baru, ada anggota keluarga yang masuk Rumah Sakit atau mengalami musibah.

  2. Faktor Lingkungan Sosial atau Komunitas

    1. Kemiskinan dalam masyarakat dan tekanan nilai materialistik.

    2. Miskin membuat keluarga-keluarga dan masyarakat berfokus pada materi sebagai kebutuhan pokok. Sementara keluarga-keluarga dan masyarakat yang tidak miskin namun materialistik, juga terfokus pada materi sebagai pengejaran hidup yang tiada henti. Kemiskinan juga menyebabkan kondisi tempat tinggal yang benar-benar kurang memadai misal hanya satu kamar untuk beberapa anggota keluarga.
    3. Keyakinan masyarakat bahwa anak adalah milik orangtua sendiri.

    4. Anak seperti menjadi barang milik orangtua, yang nyaris bisa diperlakukan sesuka orangtua. Orang-orang sekitar menjadi merasa sungkan bertindak ketika mendapati anak mendapat kekerasan dari orangtuanya sendiri. Anak bukan milik orang tua sendiri tapi milik kita bersama.
    5. Nilai masyarakat yang terlalu individualistik dan masyarakat kian terpisah.

    6. Tidak ada lagi kepedulian terhadap sekitar. Uruslah urusanku sendiri. Akhirnya tercipta "pulau-pulau pribadi" secara sosial di antara keluarga-keluarga dalam suatu masyarakat. Padahal stres menjadi orangtua dan stres keluarga yang rentan bermuara pada kekerasan terhadap anak, akan lebih mudah dihadapi dengan baik jika ada sistem dukungan sosial yang didapat dari orang-orang sekitar. Maka, sebaliknya nilai masyarakat yang komunal dan saling peduli satu sama lain akan cenderung meminimalkan kekerasan terhadap anak.
    7. Status wanita yang dipandang rendah.

    8. Anak perempuan menjadi rentan untuk menjadi sasaran kekerasan baik secara fisik, psikis, seksual maupun sosial. Matius 19:13-15 [6], "Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan mendoakan mereka; anak tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Tetapi Yesus berkata:'Biarkanlah anak-anak itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepada-Ku; sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerasaan Sorga'. Lalu Ia meletakkan tangan-Nya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ. Tuhan Yesus sangat menghargai anak-anak, anak-anak adalah sosok pribadi yang sama berharga seperti orang dewasa.

  3. Faktor Anak itu Sendiri

  4. Mengalami ketidaksempurnaan fisik dan mental serta mengalami gangguan perkembangan.
    Cacat fisik, retardasi mental, gangguan tingkah laku, autisme, Gangguan perkembangan bisa akibat keterbatasan sejak lahir maupun akibat penyakit yang berkembang saat usia dini yang berakibat pada ketidakberfungsian di salah satu panca indra, kemampuan memahami dan psikomotorik.

    Akibat Kekerasan terhadap Anak
    1. Berupa luka fisik seperti memar-memar, goresan-goresan, luka bakar, cacat tubuh permanen, hingga kerusakan otak.

    2. Kita perlu menyadari betapa tubuh anak ringkih dan proses pemantapan sedang terus terjadi. Perlakuan-perlakuan buruk secara fisik bahkan hajaran dan aniaya fisik oleh orang dewasa sangat rawan mengganggu metabolisme tubuh bagian dalam dan menimbulkan keretakan dan patah tulang. Beberapa kasus pun berakhir dengan kematian, sebagaimana kasus Arie Hanggara (1986), bayi dan anak balita yang ditenggelamkan oleh ibunya di bak mandi dan anak yang dihajar hingga tewas oleh ayahnya.
    3. Yang belum banyak orang menyadari bahwa kekerasan pada anak berakibat pada kerusakan emosional anak.

    4. Kekerasan pada anak menimbulkan trauma pada anak. Trauma adalah peristiwa yang sedemikian menggedor jiwa seseorang, khususnya anak dalam perbincangan kita ini. Begitu kerasnya hajaran fisik dan apalagi berulang-ulang dan dibarengi dengan begitu menyakitkannya kata-kata dan kerasnya hardikan yang diterima, membuat anak mengalami trauma. Anak menjadi sulit tidur dan jika tidurpun terbangun-bangun oleh mimpi buruk dan menjerit di tengah malam. Dalam bentuk yang lain kecemasan dan rasa takut anak menjalar ke tubuh menjadi psikosomatis: keluhan atau kelemahan fisik yang sebenarnya akibat dari ketertekanan jiwa. Anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi. Artinya melihat sekitar lebih kuat dari sudut rasa tidak aman, oversensitif, mudah tersinggung, curiga, berprasangka buruk, tidak sabar dan mudah terpicu dengan ledakan amarah dan tindakan-tindakan menyerang yang reaktif serta minim penguasaan diri. Secara khusus menjadi pribadi yang negatif, agresif serta mudah frustrasi ini terjadi pada anak laki-laki dan tidak menutup kemungkinan anak perempuan.

    Sebagaimana orangtua memperlakukannya dengan kasar dan agresif, maka anak pun melakukan peniruan secara alamiah. Kecenderungan peniruan secara alamiah ini khususnya terjadi pada anak yang sejenis kelamin dengan orangtuanya. Anak laki-laki meniru ayah, anak perempuan meniru ibu. Jika pelaku kekerasan adalah ayah, maka anak laki-laki tumbuh kepercayaan dan keyakinan bahwa laki-laki identik kekerasan dan agresifitas.

    Sebaliknya, anak perempuan dengan ayah yang pelaku kekerasan dan ibu yang turut menjadi korban, di antaranya bisa tumbuh menjadi gadis yang serba nrimo perlakuan laki-laki dan merasa harkat martabatnya di bawah laki-laki. Ketika menikah kelak, secara tanpa sadar, anak perempuan yang tumbuh dewasa ini akan memilih pria pelaku kekerasan sebagai suaminya. Ada tindakan instingtif atau naluriah yang tidak disadarinya untuk tidak berminat dan menghindar pria yang baik dan lebih tertarik secara alami pada pria-pria yang sesungguhnya bakal menghajar dan menganiayanya kelak. Kesesatan berpikir ini sebenarnya sudah ditanamkan dan dipoles berulang-ulang sejak anak perempuan ini tumbuh sebagai anak yangmelihat dan mengalami kekerasan dari ayah dan juga belajar dan menyerap dari respons-respons ibunya yang nrimo. Satu sisi benci ayahnya juga merindukan ayahnya. Akhirnya membias pada benci tapi rindu pada pria penganiaya.

    Di sini kita melihat sebuah keterkaitan bahwa perlakuan orangtua pada anak membentuk pola merasa anak, pola perasaan anak atau pola dalam anak memproses perasaannya. Juga membentuk pola pikir anak, pola anak mempersepsi sebuah peristiwa dan menginterpretasikannya atau menafsirkannya dan pola keyakinan-keyakinan anak. Termasuk dalam hal ini keyakinan anak terhadap dirinya yang biasa disebut sebagai konsep diri atau gambar diri. Kekerasan pada anak berdampak pada segi konsep diri, keyakinan-keyakinan atau sistem nilai, pola reaksi yang terwujud dalam mekanisme pelarian dan mekanisme pertahanan diri, penghakiman dan kepahitan.

    Respons atau dampak pada anak bisa bermacam-macam. Tadi dipaparkan anak yang menjadi agresif secara aktif lewat kata-kata yang menyerang secara terbuka maupun lewat tindakan kekerasan fisik namun ada juga anak yang tumbuh menjadi agresif yang bersifat pasif. Misal kedua orangtua sama-sama pelaku kekerasan. Sedikit melawan dan memberontak langsung ditebas. Ada kemarahan yang terserap dalam diri anak namun tak berani diekspresikan secara terbuka. Maka anak mengekspresikan kemarahan dan pembangkangannya secara diam-diam dan terselubung. Muncullah pola kebiasaan perilaku agresif pasif. Agresif, menyerang namun tidak kentara. Terlambat,melakukan sabotase. Dalam pergaulan dengan teman di masa remaja dan dewasa, tumbuh menjadi pribadi yang suka main belakang. Seperti bunglon, tampilan di depan, baik, simpatik, bersahabat, tapi di belakang ternyata bermain intrik, berlaku licik, menggigit dari belakang. Ketika dikonfrontasi, berkelit dan tidak mau mengakui. Malah membangkitkan amarah dan kebencian yang semakin besar, dan siap melakukan sabotase yang lebih besar jika perlu mati bersama. Lebih baik saya kalah, kamu juga kalah, daripada kamu menang, saya kalah. Kenal di luaran tidak tampak, tapi semakin kenal, baru tahu.

    Matius 18:6 [7], "Tetapi barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut". Perlakuan orang dewasa bisa membawa anak semakin dekat pada pribadi Yesus atau sebaliknya perlakuan kekerasan akan menyesatkan anak.

    Kenapa bisa demikian? Karena selama di rumah menjadi anak, aku kalah. Kini di luaran, aku harus menang. Sedikitpun tak ada ruang untuk kekalahan. Menang atau mati, mungkin begitu semboyan hidup anak korban kekerasan. Bermuka dua, bermain intrik, menerkam dari belakang, saat kecil menjadi mekanisme pertahanan dirinya, cara untuk bisa survive, eksis, hidup di tengah kekerasan dan penindasan orangtua. Ketika menemukan cara atau strategi ini kok manjur, cespleng, maka diulangi, diulangi dan diulangi. Jadilah kebiasaan, jadilah pola hidup, mekanisme hidup. Jadilah karakter. Di sini kita melihat rentetan yang panjang dan mencetak. Perlakuan orangtua mencetak menjadi anak yang bagaimana: anak yang memiliki rasa aman dan kepribadian yang sehat, atau menjadi anak yang penuh curiga dan memiliki kepribadian yang buruk dan negatifistik.

    Bentuk yang lain, ada anak yang tidak agresif, baik agresif aktif maupun tidak agresif. Mengalami kekerasan di rumahnya, membuat sang anak seperti habis-habisan. Semua yang dimiliki dan perlu dimiliki untuk menjadi diri yang sehat seperti sudah dirampas dan dirampok lewat berbagai bentuk kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun. Maka ia tumbuh menjadi pribadi yang sama sekali tidak mampu menghargai dirinya sendiri, konsep dirinya negatif, gambar dirinya buruk dan paling parah, memiliki rasa benci yang luar biasa kepada dirinya sendiri. Ini membuatnya menjadi sangat pasif dan apatis terhadap kehidupan. Hidup hanyalah sekadar menggelinding memenuhi apapun yang orang tua mau, tanpa ada minat, aspirasi, semangat apalagi impian. Karena membenci dirinya, maka secara alami orang tidak tertarik berteman dengannya. Maka iapun kesulitan menjalin relasi dengan orang lain. Sisi lain ia terbiasa untuk bersikap masa bodoh dan mematikan perasaan dan minatnya. Butuh tapi cuek. Hidupnya datar dan flat. Menarik diri dari orang lain. Sikap membenci diri menjerumuskannya untuk melakukan berbagai hal yang mengarah pada pengrusakan diri dan kematian. Rentan untuk merokok, alkohol dan penyalahgunaan obat-obatan, menatto dan menindik tubuh di sana-sini. Merajah tubuh di sini bukan sekadar seni tapi ini mekanisme pelarian dari rasa sakit dalam batinnya.

    Kebencian pada diri bisa berwujud dalam minat yang besar untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekstrem yang menantang maut: menjadi petinju, petarung, suka berkelahi, kebut-kebutan liar. Juga membuatnya rentan untuk menjadi budak seks, baik seks yang normal maupun yang abnormal. Seks menjadi penawar sementara bagi rasa sakit hatinya dan membuatnya putus sesaat dengan rasa sakitnya. Karena seks bukan dirancang Tuhan untuk pelarian dan obat sakit hati maka tak heran menjadi anak korban kekerasan bisa tumbuh begitu obsesif dengan seks dan akhirnya masuk dalam kehidupan seks yang liar dan tak terkendali dan begitu menjijikkan: mulai dari pornografi, masturbasi, seks di luar nikah, seks sejenis, seks masokis berhubungan seksual sampai dirinya disiksa, sebagian menjadi penyiksa orang lain, menjadi pelacur dan seterusnya. Terus bereskalasi untuk mencari kepuasan palsu yang tidak ada ujungnya sampai kemudian dia hadapi kehancuran dirinya yang makin menjadi.

    Mekanisme pelarian selain dalam rupa penyalahgunaan obat-obatan, narkoba dan kehidupan seks yang permisif, juga bisa berupa pencarian kekuatan diri yang palsu. Belajar beladiri, tenaga dalam dan bermain kuasa kegelapan atau okultisme, guna memperkuat diri yang diri lemah dan bertahun-tahun menjadi korban kekerasan. Pengejaran tubuh yang atletis, jago beladiri, bertatto, perokok, peminum, menjadi anggota bahkan pemimpin geng, meniduri banyak wanita.

    Selain mekanisme pelarian, anak korban kekerasan juga kental dengan mekanisme pertahanan diri, baik itu penyangkalan, pembenaran diri, rasionalisasi, intelektualisasi, termasuk berbohong. Maka di tengah kecemasan dan ketakutannya, berbohong menjadi caranya melindungi diri dari kekerasan yang bisa bertub-tubi. Karena cukup efektif, maka diulangi dan diulangi. Menjadi pola tetapnya: mekanisme, cara untuk mempertahankan dan melindungi diri di saat tersudut.

Keyakinan-keyakinan yang keliru menjadi kental bagi anak korban kekerasan. Ada tiga bentuk: Keyakinan-keyakinan yang keliru berkenaan diri sendiri, berkenaan orang lain dan berkenaan Tuhan.

Berkenaan diri sendiri, misalnya :

  • Bagi anak laki: Disiplin dan wibawa itu identik dengan sikap keras, agresif dan mati rasa. Perasaan bikin lembek.
  • Bagi anak perempuan: Wanita itu diciptakan untuk dijajah pria dan kelas dua. Menjadi wanita adalah sebuah kesalahan besar.
  • Aku tidak berharga, aku pecundang, apapun yang kulakukan pasti salah dan gagal.
  • Hanya 1 jalan hidup sukses: kuat, hebat dan berkuasa jika tidak mau ditindas
Berkenaan orang lain:
  • Bagi anak laki: wanita itu milik pria, layak dipukul dan direndahkan.
  • Bagi anak perempuan: laki-laki itu serigala: lawan dan injak.

Berkenaan Tuhan: Berpikir bahwa Tuhan itu memang ada, tapi Tuhan itu begitu jauh tidak terjangkau. Tuhan itu penuh kasih tapi sayangnya tidak mengasihi diriku.

Mata rantai kekerasan akan diwariskan dari generasi ke generasi.

Efesus 6:4, [8] "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan".

Para orang tua dengarlah Firman Tuhan, didiklah anak dalam kuasa Tuhan bukan dalam amarah, membangkitkan kebencian atau kepahitan pada diri anak. Solusi kekerasan terhadap anak adalah :

  1. Orang itu perlu bersedia mengakui bahwa pola yang diterimanya adalah salah.
  2. Bersedia mengenali di titik-titik mana ia terluka, masih menyimpan amarah dan kesedihan. Ini harus dibereskan melalui hamba Tuhan atau konselor.

Tandanya, ia bisa mengingat peristiwa itu tapi gema negatifnya, gema amarah dan ketakutan itu berangsur-angsur hilang.

Orang tua perlu bersedia untuk sekolah menjadi orang tua, antara lain membaca buku, artikel-artikel dan lain-lain.

Bagi orang yang menikah dengan usia terlalu muda, jalani bimbingan pra-nikah yang baik. Setelah menikah ikuti bimbingan pasca nikah dari konselor atau hamba Tuhan yang mengerti.

Dalam hal orang tua yang bermasalah sebagai pecandu minuman keras atau obat-obatan. Akui dulu dia bermasalah, kemudian mencari jalan keluar baik itu melalui konselor, rumah-rumah singgah dan lain-lain. Berani menjadi orang tua artinya bersedia belajar dan 'bayar harga'. Pelajari pembahasan tentang perkembangan anak, jadikan hal itu sebagai kompas dalam menghadapi anak sesuai dengan tahap perkembangannya.

Dalam konteks personal, pasutri mengadakan waktu berdua dimana bisa berdiskusi yang bisa menjadi energi bagi anak. Orang tua tunggal juga perlu waktu 'time-out'.

Kenali faktornya, selesaikan masalah dari faktor itu dan perlahan-lahan pasti akan memberikan energi bagi anak-anak kita yang lain.

Keyakinan-keyakinan yang keliru seperti nilai-nilai masyarakat yang menganggap anak adalah milik orang tua sendiri, masyarakat yang terlalu individualistik, masyarakat yang menganggap status wanita itu lebih rendah. Kita perlu mengoreksi keyakinan-keyakinan seperti itu, mari kita akui bahwa belajar Firman Tuhan itu penting.

Firman Tuhan juga mengajarkan agar kita peduli kepada orang lain. Sesama saudara seiman silakan berkonsolidasi. Kita masing-masing adalah bagian dari gereja lokal, gereja lokal adalah tempat berkomunitas. Esensi gereja adalah komunitas, di dalam gereja kembangkan komunitas menjadi kelompok-kelompok yang bisa saling mendukung.

Matius 25:21 [9], "Maka kata tuannya itu kepadanya : Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkata kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu".

Tuhan ingin agar hidup kita siap untuk dipertanggungjawabkan. Talenta juga termasuk anak-anak yang dipercayakan kepada kita, apakah kita telah mengembangkan potensi yang positif dari masing-masing anak? Sebagaimana kita serius di masing-masing bisnis, marilah kita juga serius untuk masing-masing anak, jadikan pergumulan dalam apa yang terbaik yang bisa kita berikan bagi anak-anak. Anak adalah batu ujian kesetiaan dan batu ujian kinerja kita di hadapan Tuhan.

Ev. Sindunata Kurniawan, M.K. [10]
Audio [11]
Orangtua-Anak [12]
T373D [13]

URL sumber: https://telaga.org/audio/kekerasan_terhadap_anak_4

Links
[1] http://media.sabda.org/telaga/mp3/T373D.MP3
[2] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=efesus&chapter=6&verse=4
[3] mailto:telaga@telaga.org
[4] http://www.telaga.org
[5] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=amsal&chapter=16&verse=29
[6] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=matius%2019:13-15
[7] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=18&verse=6
[8] http://alkitab.sabda.org/passage.php?passage=efesus%206:4
[9] http://alkitab.sabda.org/verse.php?book=matius&chapter=25&verse=21
[10] https://telaga.org/nara_sumber/ev_sindunata_kurniawan_mk
[11] https://telaga.org/jenis_bahan/audio
[12] https://telaga.org/kategori/orangtua_anak0
[13] https://telaga.org/kode_kaset/t373d