Oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Seringkali tujuan komunikasi bukan untuk mendengar dan mengerti informasi tapi untuk mengontrol pembicaraan, berdebat, mencari kesalahan, dan memutar balikkan pembicaraan agar menang; komunikasi yang baik dengan cara menyamakan pemahaman antara pendengar dan pembicara; ketika terjadi pembicaraan dengan emosi tinggi lebih baik berhenti, tunda dan mencari waktu lain untuk dilanjutkan; sikap rendah hati menolong untuk memiliki sudut pandang yang berbeda.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama dengan kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Terampil Bicara dan Mendengarkan". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, topik tentang "Terampil Bicara dan Mendengarkan" berbicara tentang konteks apa dan mengapa topik ini penting untuk kita pelajari bersama?
SK : Pembahasan ini berkaitan erat dengan komunikasi dalam pernikahan, Bu Yosie.
Y : Konteksnya berarti pernikahan ya, Pak?
SK : Iya. Dan juga bisa diterapkan di kehidupan yang lain di luar pernikahan juga karena komunikasi itu bersifat universal. Jadi memang beberapa ahli membuat sebuah rumusan yang menarik diantaranya bahkan sukses sebuah pernikahan ditentukan oleh cara menghadapi konflik dan ketidaksepakatan, bukan ditentukan oleh besarnya cinta, puasnya kehidupan seks dan berlimpah uang. Kemudian juga ada kalimat yang lain dari penulis yang lain, masalah utama pernikahan dewasa ini bukanlah seks, bukanlah tentang uang, bukanlah tentang membesarkan anak-anak; masalah utama dalam pernikahan dewasa ini adalah pada hilangnya komunikasi antara suami dan istri.
Y : Dengan kata lain, dalam pernikahan kadang kala masalah memang tidak terelakkan, tetapi bagaimana kita bisa mengkomunikasikannya dengan baik.
SK : Benar. Jadi soal uang, soal seks, soal membesarkan anak-anak itu tetap ada solusinya. Asalkan ada komunikasi. Komunikasi, Bu Yosie, itu adalah hal menyampaikan fakta, pikiran, perasaan sedemikian rupa sehingga kedua belah pihak merasa saling dimengerti. Jadi dari penjelasan ini kita bisa mengekstrak bahwa komunikasi itu bukan hanya soal berbicara, tapi juga soal mendengar untuk mengerti.
Y : Setuju Pak. Kadang kala kita tidak bisa berkomunikasi bukan tidak bisa bicara, tapi sulit mengerti apalagi dengan pasangan.
SK : Iya. Kenapa sulit mengerti? Karena mendengarnya untuk menjawab, mendengar untuk berdebat. Mendengar untuk mencari kelemahan dari rekan bicara untuk diputar balik supaya menang. Itulah yang menggagalkan komunikasi terjalin. Firman Tuhan sendiri saya kutip dari Yakobus 1:19-20 saya bacakan dari versi bahasa Indonesia sehari-hari "Perhatikanlah ini baik-baik, Saudara-saudara yang tercinta! Setiap orang harus cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berbicara dan lambat untuk marah. Orang yang marah tidak dapat melakukan yang baik, yang menyenangkan hati Allah." Jadi jauh sebelum ada pakar komunikasi atau buku-buku tentang komunikasi, firman Tuhan sudah menandaskan bahwa mendengar itu jauh lebih penting daripada sebatas hanya berbicara. Dan mendengar itu akan menolong kita mendengar yang baik, mendengar yang tepat, mendengar yang sesungguh-sungguhnya itu akan memperlambat emosi, amarah meledak.
Y : Iya. Firman Tuhan yang mengatakan. Kalau begitu bagaimana Pak mendengar yang benar tadi, mendengar yang sungguh, mendengar yang tepat?
SK : Jadi mendengar yang baik , mendengar yang tepat adalah ketika kita memusatkan pikiran kita pada pesan yang hendak disampaikan oleh rekan bicara itu. Kita perhatikan bahasa tubuhnya, nada suaranya untuk menangkap pesan apa yang hendak disampaikan. Kemudian kita katakan kembali dari apa yang kita pahami kembali dari kata-kata yang diucapkan maupun pesan yang muncul dari nada suara dan bahasa tubuhnya. Ini namanya paraphrase.
Y : Iya. Seperti merangkum begitu ya, Pak. Untuk menyamakan pengertian daripada salah mengerti.
SK : Iya, jadi untuk ini saya mau jelaskan tentang sebuah teknik. Teknik ini boleh disingkat TBM (terampil bicara dan mendengarkan). Ini adalah ciptaan sekelompok ahli dari sebuah universitas di Kanada. Para ahli ini sudah melakukan studi jangka panjang, studi longitudinal pada beberapa pasangan dan singkat kata menemukan komunikasi itu adalah kunci dari suksesnya sebuah pernikahan. Maka kemudian mereka menciptakan sebuah teknik yang sederhana yang tepat guna untuk diterapkan. Jadi teknik ini disebut TBM dimana caranya orang yang berbicara harus pegang kartu bicara atau mungkin bisa diganti dengan tongkat bicara.
Y : Jadi kita buat kartunya, seperti kesepakatan begitu?
SK : Atau kita bisa pakai tongkat bentuknya bolpoin, pinsil; sesuatu untuk bisa dipegang. Jadi siapa yang memegang kartu bicara atau tongkat bicara maka dialah yang berbicara. Yang tidak memegang, tugasnya adalah mendengar dan memparafrase. Jadi coba simak penjelasannya, aturan untuk pembicara ialah: yang pertama berbicaralah untuk diri sendiri, buat kalimat singkat dua atau tiga kalimat dan berhentilah bicara setelah itu untuk memberi kesempatan pendengar mengulangi kalimat kita dengan kata-katanya sendiri yaitu memparafrase. Sementara aturan untuk pendengar: parafrasekan apa yang kamu dengar; artinya apa yang kamu dengar tadi dari kata-kata sebanyak dua tiga kalimat dan kamu juga lihat nada suaranya, kamu parafrasekan atau ucapkan kembali dengan kata-katamu sendiri itu. Boleh mengulangi tidak apa-apa dengan sedikit modifikasi. Atau dengan kata-kata kita sendiri. Jadi aturan yang berikutnya atau aturan untuk keduanya, yang pegang kartu yang pegang tongkat bicara itu yang berbicara berhak bicara. Dan ketika pembicara merasa sudah cukup untuk menyampaikan maksud pikiran dan hatinya, maka tongkat atau kartu bicara itu diberikan kepada rekannya dan yang tadi mendengar jadi berbicara; karena dia tidak lagi memegang tongkat atau kartu bicara, dia yang menjadi pendengar dan berarti tugasnya mendengar dan memparafrase.
Y : Oke. Pak, teknik TBM ini cocok digunakan untuk dalam keadaan yang seperti apa?
SK : Jadi teknik ini dilatih di masa damai. Ketika pasangan suami istri itu sedang dalam kondisi hubungannya baik, latihlah sehari boleh tiga kali empat kali cukup masing-masing 10 menit.
Y : Maksudnya untuk pembicaraan apa yang dibicarakan, segala sesuatu begitu atau berlaku untuk masalah poin-poin penting tentang sekolah dimana anak sebentar lagi naik kelas, atau hal-hal apa?
SK : Jadi mulai latihan dari topik-topik yang ringan, topik yang menyenangkan bukan topik yang berat dan sensitif terhadap konflik. Boleh ya kita coba simulasi?
Y : Boleh, Pak.
SK : Sekarang coba Bu Yosie yang memegang tongkat bicara atau kartu bicara, saya yang memparafrase.
Y : Oke. Ini boleh pertanyaan, Pak?
SK : Iya boleh menyampaikan dulu. Misalnya Bu Yosie menyatakan tentang situasi liburan; misalnya kita ibaratnya suami-istri. Bu Yosie boleh ceritakan rencana liburan sekolah anak mau seperti apa. Tapi Ibu dua tiga kalimat kemudian akan saya parafrase, kemudian setelah dua tiga kali Ibu berbicara dan saya parafrase, Ibu berikan tongkat bicara dan saya yang menanggapi. Nanti Ibu bisa menambahkan, "Kalau begitu menurut kamu bagaimana tentang rencana ini?" Silakan, Bu Yosie
Y : Keinginan saya liburan anak-anak sekolah nanti kita itu pergi touring karena jalan tol sekarang sudah baik, saya ingin ke Jawa Tengah, ke Jakarta dan keliling pulau Jawa.
SK : Jadi, Bu Yosie menyampaikan ke saya tentang rencana liburan nanti keinginannya bisa tour ke kota-kota lain karena melihat jalan tol sudah bagus.
Y : Ingin sambil menikmati tempat-tempat wisata yang menyenangkan di beberapa tempat sambil kuliner, sambil ke tempat-tempat alam, pasti menyenangkan. Sepertinya anak-anak juga suka.
SK : Jadi Bu Yosie sebenarnya tidak ingin kemana-mana, tapi pergi terpaksa karena untuk melayani anak-anak.
Y : Iya sih, sebetulnya…..
SK : Nah, saya sengaja salah. Ibu benar tidak apa yang saya maksudkan tadi?
Y : Maksud saya…..
SK : Bukan itu ‘kan? Memang saya sengaja, kalau memang saya salah Ibu boleh mengatakan, "Oh bukan itu yang saya maksud", Ibu boleh mengoreksi tapi Ibu mengulangi lagi pesan Ibu tadi. Jadi saya sengaja sebenarnya. Parafrase saya salah, sebab Ibu tadi tidak berbicara terpaksa demi anak-anak, tidak ada tadi kalimat atau maksud itu. Jadi saya sengaja, saya belokkan. Maka Ibu silakan menyatakan kembali.
Y : Tidak terpaksa, tapi saya memang tidak punya satu tujuan tempat yang harus tapi lebih ke kebersamaan dengan keluarga, dengan anak-anak yang menyenangkan.
SK : Jadi Ibu mengatakan sebenarnya Ibu tidak terpaksa. Ibu sendiri ….
Y : Senang…
SK : Maaf, Bu Yosie tidak boleh mengomentari.
Y : Oh tidak boleh mengomentari !
SK : Iya. Jadi beri tempat ketika Ibu Yosie sebagai pemegang kartu atau tongkat bicara, sesudah selesai berbicara dua tiga kalimat lalu berhenti. Ijinkan saya memparafrase dengan kata-kata saya sendiri. Setelah saya salah memparafrase, mengulangi dengan kata-kata saya sendiri dan Ibu merasa tidak tepat itu boleh dikoreksi, "Bukan maksud saya seperti ini" atau jika tepat maka lanjutkan ide itu lagi.
Y : Oke.
SK : Oke. Saya akan memparafrase yang tadi: jadi Ibu Yosie tidak terpaksa namun memang sebenarnya saya lihat menikmati pergi dengan keluarga dengan anak-anak dan Ibu ada wisata kuliner atau makan-makan selain wisata kota atau alam.
Y : Iya. Betul. Jadi saya tidak terlalu menekankan tujuannya tapi kebersamaan dan kegiatannya yang menyenangkan bersama dengan anak-anak.
SK : Jadi titik sasarannya itu adalah tujuan yang menyenangkan anak-anak. Jadi soal kegiatannya apa Ibu fleksibel. Tapi sasarannya adalah apa yang bisa menyenangkan hati anak-anak.
Y : Iya betul. Ambil tongkat lagi.
SK : Oke, Ibu berarti bagian Ibu sudah selesai. Ibu sekarang berikan tongkat bicara itu kepada saya.
Y : Oh begitu.
SK : Sekarang saya menerima tongkat bicara, baru saya berbicara. Saya pikir gagasan Bu Yosie bagus. Saya mendukung sepenuhnya.
Y : Senang sekali kalau didukung.
SK : Nah, Ibu tidak boleh merespons tapi Ibu seharusnya memparafrase. Apa yang saya ucapkan.
Y : Ternyata sulit sekali ya Pak?
SK : Makanya latihan diperlukan.
Y : Oh, tapi Bapak akhirnya meresponi apa yang saya bicarakan kalau saya harus meresponi lagi dengan paraphrase seperti apa Pak?
SK : Oh berarti, saya menangkap Pak Sindu setuju dan mendukung
Y : Oh oke, hanya seperti itu ya?
SK : Iya
Y : Oh Bapak setuju dan mendukung ide saya ya, Pak?
SK : Iya saya mendukung dengan sepenuh hati. Dan saya melihat ini sangat baik, waktu yang baik, kebersamaan keluarga kita senang-senang bersama setelah bekerja keras selama sekian bulan.
Y : Harus bagaimana Pak?
SK : Ya memparafrase
Y : Oh, Bapak setuju dan merasa ide ini akan memberikan kita refreshing setelah bekerja
SK : Iya betul kita ‘kan butuh refreshing bersama bukan hanya pribadi saja, tapi refreshing bersama sebagai keluarga dan ini membangun keakraban kita sebagai keluarga.
Y : Oke. Parafrase lagi.
SK : Hm… Ternyata tidak mudah Pak. Kita terbiasa dalam berbicara dan mendengarkan, kita terbiasa langsung berespons, Pak Sindu.
SK : Iya
Y : Kita kurang berlatih untuk memparafrase. Apa sebenarnya pentingnya memparafrase?
SK : Kalau Ibu lihat pembicaraan ini alamiah atau tidak, dengan cara pakai kartu TBM atau tongkat bicara ini bersifat alamiah atau mekanis?
Y : Mekanis.
SK : Jadi memang mekanis, tidak alamiah dan yang kedua, kalau Ibu menebak dari cara berbicara seperti itu yang memegang tongkat bicara atau kartu bicara yang berhak berbicara dua tiga kalimat saja dan yang mendengar harus memparafrase, lalu pemegang tongkat bicara bisa berbicara lagi. Kira-kira ini mekanis seperti robot, lebih lambat tidak alamiah. Kira-kira tujuannya apa?
Y : Tujuannya latihan peran dan kesabaran.
SK : Dan untuk memastikan bahwa….
Y : Apa yang didengar benar
SK : Tepat. Jadi ini bukan sekadar latihan, Ibu Yosie, ini teknik. Jadi ini kita bisa terapkan ketika kita di masa damai, hubungan baik kita latih 10 menit sehari, bisa 3 kali supaya bisa lebih meningkatkan ketrampilan. Nantinya ketika ada percakapan yang sensitif yang membuat nada kita Do (rendah) tapi Do(tinggi) artinya bisa memicu amarah maka kita bisa memakai tanda time-out, "Oke stop. Rasanya pembicaraan kita mulai riskan. Kita ada 2 pilihan; tetap kita lanjutkan tapi mari pakai teknik TBM atau kita tunda besok kita pilih waktu yang nyaman dengan percakapan alamiah atau pun besok pakai teknik TBM"
Y : Oke
SK : Lalu ambil poin-poin jadi tongkat bicara diambil atau ambil kertas sebagai kartu bicara ketika memakai teknik ini. Dengan cara TBM ini ibarat lalu lintas kalau macet memakai cara buka-tutup, yang satu ditutup yang satu arus jalan dulu setelah lancar, berhenti. Lalu yang sebaliknya jalan. TBM ini memiliki sistem buka-tutup memperlambat tempo, memastikan bahwa yang berbicara itu dipahami dengan tepat lewat paraphrase dari yang mendengarkan jadi pesannya tersampaikan. Karena bergantian yang bicara maka kemungkinan untuk debat kusirnya dihilangkan.
Y : Jadi paraphrase tadi seperti mengulang atau mengkalimatkan kembali dengan kata-kata itu tapi dari kata-kata si pembicara ya, Pak?
SK : Jadi memparafrase artinya apa yang kita dengar lewat kata-kata pembicara tadi, apa yang kita dengar lewat nada bicara tadi kita ucapkan, kita sampaikan kembali dengan kata-kata kita. Dimana tidak apa-apa memulai kata-kata yang sama, tapi juga baik kalau kita sedikit modifikasi dari yang kita tangkap. Dan tidak bersifat robotik seperti benar-benar mengulang sama tanpa perasaan. Tidak. Tujuannya mendengar untuk memahami. Seperti kata firman Tuhan kalau kita cepat mendengar dan lambat bicara itulah yang akan menyenangkan hati Allah dan mendatangkan kebaikan.
Y : Bagaimana kalau teknik ini dapat tidak digunakan untuk keadaan pasutri yang memang sudah perang? Maksud saya begini. Dalam keadaan perang masih tunggu-tunggu ambil bolpoin, kertas memungkinkan atau tidak karena sudah keburu meledak misalnya?
SK : Bisa. Jadi apalagi kalau sudah meledak amarah, berhenti stop. Kita tidak lanjutkan. Rasanya percakapan ini sudah saling menyakiti. Stop dulu. Lebih baik istirahat, makan dan melakukan aktivitas lain untuk menurunkan emosi kita yang tinggi. Dan kita akan lanjutkan besok. Lalu menentukan waktu, "Ayo, jam 7 malam habis makan, kita akan bicara. Kita tidak akan bicara apa-apa lagi. Time-out. Pembicaraan sudah sensitif. Kita memakai teknik TBM untuk berbicara." Jadi termasuk dalam hal ini kita bisa belajar memerhatikan termometer emosi kita dan pasangan kita. Ini bukan bentuk fisik termometer, tapi bahasa kiasan. "Nadanya mulai tinggi. Mulai marah? Rasanya ini sudah panas kondisinya, bagaimana jika kita stop dulu?" Ini memang disepakati sebelum ada pertengkaran, ketika lagi waras, lagi sehat, "Ayo kita membangun pernikahan yang baik. Butuh komunikasi yang baik, kamu sepakat tidak? Ayo kita latihan ini. Nanti kalau kita mulai nada tinggi pasangan kita boleh mengingatkan dan kita bisa memilih untuk menunda atau kita lanjutkan tapi pakai sistem TBM atau sistem kartu bicara atau tongkat bicara"; ini istilah yang sama dari ketiga istilah ini.
Y : Jadi ini bisa dipakai di dalam segala keadaan, baik dalam keadaan damai maupun perang. Tapi diperlukan kesadaran masing-masing pihak untuk sama-sama berkomunikasi atau berjuang di dalam hubungan ini ya, Pak?
SK : Iya. Jadi damai itu artinya ketika untuk latihan. Tapi ketika ada pembicaraan serius yang mulai "Bisa membuat sensitif" jadi tidak tunggu harus marah, topik ini topik yang agak sulit lalu menggunakan teknik TBM.
Y : Lalu bagaimana Pak kalau topik-topik yang sensitif, yang konflik, yang berpotensi konflik yang memang tidak bisa dihindarkan dalam kehidupan pernikahan?
SK : Tidak apa-apa. Justru teknik ini sangat jitu untuk bisa menolong kita leluasa berbicara, tidak debat kusir, dan memastikan bahwa kita didengar, kita dipahami, dan kita pun juga mendengar dan memahami pasangan kita. Maka dalam hal ini kita akhirnya bisa dengan cara kita saling memahami ini, nanti kita akan terjadi negosiasi, "Lalu jalan tengahnya apa?" solusinya seperti apa. Kita bukan hanya melihat dari sudut kita, tapi melihat sudut pasangan kita. Atau kalau perlu dari percakapan itu kita berkeinginan bertemu konselor, bapak ini, ibu ini, pak pendeta, bertemu mentor untuk semakin melengkapi pertimbangan kita. Jadi keputusan tidak harus seketika dibuat, tapi bisa kita tunda untuk kita ketemu pihak yang lain bersama-sama untuk minta masukan. Jadi dengan cara ini perbedaan bukan bencana, perbedaan adalah berkat. Karena dari perbedaan sudut pandang, perbedaan pengalaman kita akan saling memberi sumbangsih satu sama lain merayakan perbedaan. Tinggal jalurnya ini dipastikan.
Y : Diarahkan.
SK : Iya. Itu komunikasi yang membangun. Konflik yang diselesaikan dengan cara yang sehat bukan konflik dengan cara yang menghancurkan. Jadi konflik itu bukan masalah. Yang masalah adalah bagaimana menghadapi konflik itu. Konflik itu adalah alamiah, perbedaan pasti menghasilkan pergesekan, menghasilkan pertentangan. Tapi bagaimana pergesekan dan pertentangan perbedaan ini kita kelola dengan cara yang cantik, sehat dan membangun.
Y : Iya, baik Pak. Sebab memang rata-rata didalam perbedaan itu masing-masing pihak menuntut pasangannya itu sama dan masing-masing punya ‘point of view’ yang berbeda sehingga akhirnya saling tidak mau saling mengalah.
SK : Iya. Jadi ‘point of view’ sudut pandang itu wajar jika berbeda. Justru dengan berbeda kita akan saling memperkaya. Titik kritisnya ialah bagaimana kita bersedia memahami sudut pandang yang berbeda ini dan melihatnya untuk melengkapi sudut pandang kita sendiri. Jadi dalam hal ini memang dibutuhkan sikap hati.
Y : Sikap hati yang seperti apa, Pak?
SK : Sikap hati yang rendah hati. Sikap hati yang dikuasai kasih Kristus. Rasa sayang terhadap pasangan kita. Rasa sayang terhadap diri kita secara utuh. Rasa sayang kepada rencana kebaikan Allah bagi diri kita, pasangan kita, keluarga kita. Jadi sikap hati ini yang perlu juga dipupuk. Maka kalau kita mau memiliki komunikasi yang sehat dalam pernikahan kita, mari juga masing-masing kita juga bertumbuh dalam relasi kita dengan Kristus; saat teduh, merenungkan firman, berdoa, waktu kontemplasi, meditasi, menikmati hadirat Tuhan, waktu untuk menyerap firman Tuhan dalam kesendirian atau di gereja bersama KTB kita. Ini akan menolong sifat-sifat Kristus, emosi yang tenang, matang, stabil akan kita serap lewat proses situ. Sehingga kita tidak sumbu pendek, tapi punya panjang sabar, akal sehat itu lahir dari kesabaran kita.
Y : Dan sama-sama mengakui diri tidak sempurna. Sehingga dengan ketidaksempurnaan sama-sama terus belajar membangun komunikasi yang sehat, sama-sama menjembatani konflik sehingga lahir keluarga-keluarga yang juga sehat.
SK : Maka dalam hal ini, Bu Yosie, dibutuhkan jam solusi dan jam romantik. Jadi jam solusi artinya kita bisa menempatkan hari dan jam tertentu untuk kita pasti bicarakan masalah apa yang belum tertangani sebelumnya. Misalnya sebagai suami-istri sepakat bersama tiap Rabu jam 9 malam. Jadi tiap Rabu jam 9-10 malam kita menyediakan waktu khusus.
Y : Untuk menceritakan masalah-masalah.
SK : Iya. Yang sampai sekarang masalah-masalah itu belum terselesaikan, belum terbahas, belum tersampaikan kita utarakan. Dan supaya kalau sensitif topiknya pakai teknik tongkat atau kartu bicara atau TBM tadi. Jadi selalu diadakan tidak boleh tidak ada. "Kalau tidak ada masalah jadi tidak perlu" tetap harus diadakan jadi supaya pasangan itu tidak ada kucing-kucingan menghadapi masalah kedua-duanya. Karena sudah ada tekniknya ‘kan untuk melindungi dari cara yang destruktif. Kemudian yang kedua ada jam romantik. Tiap hari tertentu, jam tertentu "Mari kencan berdua" tanpa membahas masalah. Masalah di jam solusi. Romantik adalah bagaimana menyenangkan bersama; "Kali ini kamu yang menetapkan. Makan dan berganti untuk nonton. Jadi masing-masing diwadahi, diakomodasi
Y : Difasilitasi, disenangkan.
SK : Jadi tabung cinta diisi lewat jam romantik dan solusi juga ada diselesaikan lewat jam solusi.
Y : Dengan demikian masing-masing pihak itu diakomodir dan juga hubungan ini akan semakin sehat dan bertumbuh. Baik terima kasih banyak, Pak Sindu untuk uraiannya tentang "Terampil Bicara dan Mendengarkan". Saya yakin ini bermanfaat bagi pendengar sekalian. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.