oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Konfirmasi jelas status pacaran; pacaran membutuhkan keutuhan diri; berani menjaga jarak relasi dengan lawan jenis lainnya; membutuhkan pendampingan pacaran; hindari TTM ‘teman tapi mesra’ dan PHP ‘pemberi harapan palsu’; ciri ketidakutuhan diri: buru-buru pacaran, rela direndahkan pacar asal masih dalam relasi pacaran, buru-buru pacaran lagi setelah putus dari pacar, memiliki sifat mendominasi pacar.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Batasan Sehat Berpacaran". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, apa yang dimaksud dengan batasan sehat berpacaran? Apakah berarti ada batasan yang salah yang dilanggar atau yang tidak sehat, Pak?
SK : Arti kata batasan itu bisa dimengerti sebagai pagar pelindung. Jadi dengan menegakkan batasan yang sehat berarti kita sedang melindungi untuk hal yang mendatangkan kebaikan. Demikian pula untuk hal berpacaran. Untuk itu saya akan membagikan 4 hal yang dibutuhkan untuk membangun batasan sehat dalam berpacaran.
Y : Nomor satu apa, Pak?
SK : Yang pertama, berpacaran membutuhkan status. Jadi ketika relasi makin dekat antara pria dan wanita maka sebaiknya salah satu pihak dan bahkan kedua belah pihak berani untuk mengkonfirmasi, berani untuk menyatakan apakah memang relasi ini ialah relasi romantik, relasi berpacaran atau bukan.
Y : Kenapa hal ini penting? Maksud saya begini, muda mudi biasanya easy-going, kenapa tidak dibiarkan saja mengalir? Pokoknya relasi baik, tentunya tidak sampai melanggar batasan kekudusan dan sebagainya.
SK : Jadi dalam rangka untuk melindungi kedua belah pihak, Bu Yosie. Ada istilah yang berkembang ‘pemberian harapan palsu’ atau PHP. Jadi ini akan melindungi dari hal demikian, supaya tidak ada salah satu pihak pun baik pria atau pun wanita yang di-PHP atau diberi harapan palsu dan kemudian dia terluka mendalam. Dan itu juga untuk memberi pertanggungjawaban kepada dunia luar. Jadi orang-orang akan memertanyakan misalnya kedua belah pihak orangtua atau pun teman-teman dekat, teman-teman gereja akan bertanya, "Hubungan kalian ini pacaran atau bukan? Tampilannya seperti pacaran?"
Y : Kemana-mana berdua misalnya.
SK : Iya dan terasa eksklusif serta membuat teman-teman lainnya risih, "Katanya teman tapi tampilannya seperti berpacaran". Nah, ini tidak memberikan damai sejahtera. Tidak ada pertanggungjawaban secara sosial, secara relasi di hadapan tubuh Kristus atau di tengah masyarakat sehingga status ini akan memberikan batasan yang sehat.
Y : Seperti TTM atau ‘teman tapi mesra’. Itu tidak memberikan pertanggungjawaban yang baik ya, Pak, di lingkungan sosial di gereja?
SK : Iya. Jadi ini juga khususnya buat para pria; lebih banyak saya jumpai pria-pria yang mengabaikan bahwa perhatian-perhatian atau puji-pujian yang diberikan kepada wanita itu bisa menumbuhkan perasaan cinta pada pihak wanita. Makanya dalam hal ini para pria perlu jelas batasannya. Jadi kalau memang tidak punya maksud serius untuk menjadikan wanita itu pasangan kekasihnya, maka berhentilah atau batasilah perhatian dan pujian.
Y : Tidak perlu memberikan puji-pujian, perhatian yang berlebihan begitu ya, Pak?
SK : Benar.
Y : Sebenarnya bagaimana pihak wanitanya?
SK : Jadi pihak wanita berhak untuk mengkonfirmasi ke pria tersebut, "Saya merasa pria ini semakin dekat dan sepertinya tumbuh perasaan cinta dalam diriku dengan perhatian dan puji-pujiannya itu". Berhaklah wanita ini mengkonfirmasi, bertanya secara asertif artinya dengan pilihan kata yang baik, nada yang baik, waktu yang tepat…
Y : Apa nanti tidak dikira ke-GR-an (GR: ekspektasi terlalu berlebihan) kalau tanya begitu?
SK : Betul. Jadi bisa seperti GR ‘gede rumangsa’ (dalam bahasa Jawa) berharap terlalu lebih atau menafsirkan terlalu berlebihan. Maka kalau merasa ada kemungkinan seperti itu, titip lewat teman dekat yang bisa dipercaya.
Y : Setuju juga.
SK : Jadi titip untuk menanyakan apakah dia menganggap sebatas teman ataukah memang sedang memupuk perasaan cinta, sedang penjajakan. Dengan demikian jadinya jernih, transparan relasi ini.
Y : Setuju Pak. Ini untuk melindungi kedua belah pihak dari PHP tadi yang tidak perlu dan rasa terluka yang tidak perlu sehingga hubungan kita dengan sesama jenis, dengan lawan jenis berjalan dengan sehat dan baik. Yang poin kedua, Pak?
SK : Kedua, berpacaran membutuhkan keutuhan diri. Jadi pacaran itu bukan jawaban atas ketidakutuhan diri. Berpacaran bukanlah solusi untuk hati yang kesepian. Pacaran tidak akan menyembuhkan rasa kesepian atau hati yang kesepian.
Y : Begitu ya, Pak? Padahal faktanya justru seringkali pacaran itu pelarian dari hati yang kesepian atau katakanlah hati yang kosong tidak menerima kasih dari orang tua dan sebagainya. Lalu bagaimana Pak, tanda-tandanya kita ini mengalami ketidak utuhan diri? Bagaimana mengenali diri kita, Pak?
SK : Yang pertama, Bu Yosie, yaitu ketika kita terburu-buru berpacaran dengan tanpa menetapkan kriteria sehat pacar yang hendak kita terima atau pilih dan tanpa tujuan ke arah pernikahan. Jadi berpacaran yang benar adalah memang disasarkan ke arah pernikahan, artinya penjajakan untuk mengenal dengan lebih baik apakah lawan jenis itu tepat atau tidak menjadi teman hidup saya. Bukan berarti pasti harus jadi teman hidup. Bukan. Jadi pacaran itu sarana untuk mengenal. Kalau tidak punya sasaran itu sebaiknya tidak berpacaran tapi berteman, bersahabat.
Y : Oke. Kalau persahabatan itu apakah sah untuk mengisi ruang-ruang hati kita yang memang perlu diisi dengan kasih?
SK : Sah. Justru itu pilihan yang tepat. Jadi kalau kita memang punya hati yang sepi atau pergumulan akan kesepian justru salah satu solusinya ialah bangun pertemanan, persahabatan yang sehat. Dimana pertemanan dan persahabatan yang sehat itu memberi batasan-batasan yang jelas, tidak menguasai tidak membangun ketergantungan. Nah, disinilah kita juga diuji dan dimatangkan sebagai langkah berikutnya untuk nantinya kita lebih siap untuk berpacaran.
Y : Oke. Tanda-tanda apa lagi, Pak, yang harusnya kita sadari ketika sebelum kita berpacaran mengetahui tentang ketidakutuhan diri itu tadi, Pak?
SK : Jadi tanda ketidakutuhan diri yang kedua adalah membiarkan perlakuan merendahkan terjadi. Misalnya ketika kita membiarkan orang lain atau pacar kita menghina kita dengan kata-kata makian, melakukan kekerasan fisik, tamparan dan tendangan pada kita lalu kita biarkan. Atau pun pacar kita melakukan sentuhan seksual, pemaksaan seksual yang memang itu sesungguhnya kita tahu itu keliru, tapi kita biarkan. Jadi pasangan-pasangan pacaran yang demikian itu akan melakukan atau membiarkan hal-hal yang merendahkan itu terjadi. Karena dia tidak siap untuk putus pacaran. Bergantung rasa amannya terhadap pacar itu. Dan mengabaikan nilai-nilai yang baik, yang dia selama ini kenali dan pegang tapi diabaikan, ditindas nilai-nilai; baik itu demi memertahankan relasi sekalipun itu relasi yang buruk.
Y : Jadi lebih rela memiliki relasi yang buruk daripada sama sekali tidak memiliki relasi karena adanya kekosongan yang mendalam ya, Pak?
SK : Iya. Termasuk di dalamnya adalah tidak siap untuk putus pacaran.
Y : Tahu pacarnya tidak benar tadi…
SK : Iya. Suka minta uang, pinjam uang tapi tidak pernah dikembalikan. Sudah pernah melakukan perselingkuhan, punya pacar-pacar yang lain lalu ditegur dan minta maaf kemudian pacaran lagi dengan yang lain. Tapi tidak siap untuk memutus. Ini tanda bahwa kita memiliki ketidakutuhan diri. Termasuk mungkin orangtua, pembimbing rohani, guru di sekolah sudah memeringatkan, "Kamu pacarannya tidak sehat. Pacarmu seperti ini, sudah putus saja daripada kamu dirugikan" namun tetap memertahankan. Nah, itu tanda terjadi ketika ada ketidakutuhan ini di dalam diri kita.
Y : Menarik ya, Pak. Padahal seringkali kita berpikir ketika kita memertahankan relasi pacaran meskipun dulu karena kita justru banyak mengasihi atau penuh dengan kasih, ternyata konsep yang salah ya, Pak Sindu?
SK : Benar. Jadi bahwa pacaran itu dilandasi dengan batasan yang sehat. Kita mengasihi dalam 2 wujud, kita memberi tapi juga kita menerima. Termasuk pacaran yang sehat bukan dibangun atas dasar belas kasihan, "Kasihan wanita ini kesepian. Kasihan cowok ini tidak ada yang mau jadi pacarnya. Sudahlah saya jadi pacarnya, saya mau menolong dia." Tidak bisa.
Y : Iya. Biasanya begitu ya Pak, ‘saviour syndrome’.
SK : Iya. Jadi yang disebutkan Bu Yosie, gejala penyelamat atau menjadi pahlawan kesiangan.
Y : Bagi pacarnya.
SK : Iya. Itu bukan landasan pacaran yang sehat.
Y : Iya, Pak silakan diteruskan apalagi gejala-gejala ketidakutuhan diri yang seringkali memang tidak disadari khususnya wanita?
SK : Iya. Jadi termasuk di dalamnya cepat-cepat berpacaran dengan orang lain, ketika putus pacaran. Ketika kita memiliki diri yang utuh dan diri yang cukup sehat, kita akan memberikan ruang waktu ketika memang mengalami putus pacaran waktu untuk berduka, waktu untuk berhenti sejenak mengelola perasaan negatif atau kesedihan karena putus pacar itu. Itu butuh beberapa minggu atau mungkin beberapa bulan supaya dengan demikian tidak ada lagi perasaan marah, perasaan sepi yang tersisa ketika mengijinkan berduka, menangis, meratap. Ketika cukup masa perkabungan itu, baru siap untuk ‘move-on’, siap untuk membangun relasi romantik dengan pria lain atau wanita lain.
Y : Jadi memastikan bahwa hubungan yang baru nanti tidak hanya sekadar pelarian lagi, Pak? Yang kalau tidak kita pastikan kita hanya cepat-cepat berpindah itu hanya pelarian demi pelarian untuk mengisi kekosongan yang sama.
SK : Betul. Termasuk tanda yang berikutnya, Bu Yosie. Orang yang tidak utuh diri ketika berpacaran dia akan condong menguasai, mendominasi pacarnya atau mengendalikan pacarnya. Berpacarannya bersifat menindas, menguasai, bersifat posesif.
Y: Contohnya?
SK : Membelenggu pacarnya itu. Jadi "kamu harus ikuti apa kemauanku. Kalau kamu sayang kamu ikuti kemauanku. Kalau kamu sayang berarti kamu akan selalu hadir dimanapun aku ada. Ketika aku kirim teks atau SMS, WhatsApp, kamu harus langsung balas. Dimanapun aku butuh kamu responsif." Itu berarti kita menguasai, mendominasi, posesif, mengendalikan demi pemuasan diri. Pacaran yang sehat bukan demi pemuasan diri tetapi kita saling memberi hal yang baik, sumbangsih untuk pertumbuhan bersama. Bukan menindas yang satu demi diri sendiri. Atau menindas diri sendiri demi menyenangkan yang lain. Tapi kita mengorbankan kepentingan kita. Itu berarti kita dalam kondisi yang tidak utuh, tidak siap sesungguhnya untuk berpacaran.
Y : Lalu bagaimana Pak, kalau memang keadaan kita yang kita sadari seperti tanda-tanda ketidakutuhan, apa yang harus kita lakukan sebelum kita nanti melangkah ke hubungan yang lebih baik, lebih sehat?
SK : Jadi selesaikanlah lebih dulu. Sembuhkan lebih dulu. Pergunakan kesepian kita supaya kita bisa membangun batasan yang sehat untuk berpacaran. Jadi berpacaran itu adalah relasi dari 2 orang yang utuh, 2 orang yang cukup dewasa. Maka juga memerbaiki kondisi kita, perbaiki relasi dengan Tuhan, relasi dengan tubuh Kristus. Biasanya orang-orang yang punya pergulatan kesepian itu ada akar kekosongan di masa lalunya. Carilah konselor yang memahami tentang pergulatan ini. Ini melakukan proses konseling yang mendalam supaya akar-akar masa lalu itu bisa dikuliti, bisa diambil, masalah-masalah itu diselesaikan sehingga kita bisa menjalani masa kini dan ke depan dengan memiliki keutuhan.
Y : Saya setuju sekali tadi bahwa berpacaran adalah relasi dari dua orang yang sudah dewasa, yang sudah utuh. Jadi tidak membebani atau saling menyedot, saling menarik tapi justru berjalan bersama menuju ke arah yang sehat yaitu pernikahan. Bagaimana dengan batasan ketiga Pak Sindu, yang satu membutuhkan status, yang kedua membutuhkan keutuhan diri, dan yang ketiga, Pak?
SK : Berpacaran membutuhkan jarak dengan lawan jenis lainnya. Jadi berani berpacaran, berani menjaga jarak relasi dengan lawan jenis lainnya. Terkadang ketika berpacaran satu pihak protes, "Kenapa kamu membatasi relasiku? Mereka ini teman-temanku dari dulu sebelum kita berpacaran aku sudah dekat dengan teman-teman wanita ini. Kok eksklusif jadinya itu ‘kan tidak sehat?" Maaf. Itu pandangan yang keliru. Ketika kita berani berpacaran itu artinya kita berani untuk menciptakan relasi yang eksklusif.
Y : Tapi memang harus eksklusif ya, Pak ya?
SK : Iya. Bahwa dialah yang saya cintai. Wanita atau pria yang saya ingin menjajaki lebih khusus untuk lebih mengenal, apakah ini tepat dengan menemukan kecocokan, sejalan, sevisi untuk membangun relasi pernikahan. Maka dalam hal ini dengan lawan jenis lain kita harus membatasi dan menjaga jarak yang sehat.
Y : Setuju Pak. Itu sebabnya dibutuhkan kedewasaan tadi, Pak. Karena ketika kita masih remaja pasti kita masih butuh banyak teman, banyak dekat dengan orang. Tapi semakin dewasa semakin bisa memilah batasan yang tepat tadi.
SK : Iya. Jadi memang sebaiknya secara perkembangan psikologis, pacaran itu ketika kita telah meninggalkan jenjang SMA. Masa SMP dan SMA, masa remaja itu masa menjawab ‘siapa aku?’ untuk meneguhkan identitas sendiri, identitas dan jati diri dibangun lewat kelompok sejenis; pria dengan pria dan wanita dengan wanita. Termasuk kalau pun dengan lawan jenis untuk membangun pertemanan yang sehat. Setelah itu melewati tahapan itu barulah kita lebih siap untuk berpacaran, relasi lawan jenis yang eksklusif.
Y : Iya setuju, Pak. Tadi, di dalam masa-masa SMP dan SMA kita sedang membangun diri yang utuh tadi. Sehingga ketika proses itu beres, baru kita siap untuk membangun hubungan yang lebih eksklusif.
SK : Juga demikian, Bu Yosie, terkadang orang berpikir, "Saya ‘kan butuh cadangan, Pak Sindu. Saya ‘kan butuh kalau ini putus saya masih punya cewek yang lain".
Y : Sering terjadi, Pak, seperti itu; sekali menyatakan cinta langsung 3 supaya ada cadangannya. Jadi ketika ditolak sana maka diterima sini, Pak.
SK : Iya. Jadi inilah kondisi yang tidak sehat. Sekalipun mungkin itu tren jaman, tapi bukan berarti karena tren harus kita ikuti. Kita punya nilai. Kita punya identitas. Kita punya jati diri sebagai milik Kristus. Nilai-nilai kebenaran, keadilan, kekudusan, kemurnian. Mari kita berani….
Y : Tujuan hidup kita apa, bukan hanya sekadar menjalin hubungan dengan cewek atau cowok ya, Pak?
SK : Iya. Jadi melangkahlah dalam iman, di dalam kita mengekspresikan relasi pacaran itu bahwa Tuhan sudah menyediakan kasih karunia pasangan yang tepat untuk saya. Jadi sambil kita menjalin relasi pacaran, sambil kita membawa dalam doa untuk melangkah dengan iman. Jadi dengan demikian pacaran yang eksklusif, artinya tidak membangun pertemanan seperti TTM (teman tapi mesra) dengan banyak yang lain, berani kita lakukan. Maksudnya berani kita berkata ‘tidak’ demi pacaran yang sehat tersebut.
Y : Tahu tujuan kita apa, punya nilai-nilai tadi?
SK : Iya.
Y : Yang terakhir Pak, batasan sehat dalam berpacaran.
SK : Yang keempat, berpacaran membutuhkan pendampingan. Jadi sebaiknya sejak awal berpacaran sudah menyepakati untuk bersedia menerima pendampingan dari pihak ketiga, yaitu orang yang sudah dewasa dan sudah menikah atau pun pendampingan ini bisa dari sosok lajang yang memang sudah dewasa, sudah matang. Jadi bisa itu pemimpin gereja kita, seorang pendeta, konselor, mentor pemuridan, atau paman, bibi kita yang memang kebapakan atau keibuan dan berhikmat. Bisa kita secara sengaja minta menjadi pembimbing kita berdua yang sedang berpacaran.
Y : Oh begitu. Tapi apa yang perlu dilakukan di dalam pendampingan itu? Apakah seperti langsung katekisasi pranikah atau apa hal-hal yang perlu dilakukan dalam proses pendampingan berpacaran?
SK : Sebagaimana yang Bu Yosie sampaikan, seringkali orang sebatas konsentrasi mau menikah menjalani katekisasi atau bimbingan pranikah. Padahal lebih baik lagi sebelum menetapkan diri akan menikah, dalam berpacaran pun ada pembimbingan, ada pendampingan masa berpacaran. Yang pertama yang bisa dilakukan adalah ‘assessment’ kepribadian. Jadi dalam hal ini memang perlu datang ke seorang konselor atau psikolog untuk dilakukan tes kepribadian sehingga mengenali masing-masing pria, wanita ini karakteristik; profil kepribadiannya seperti apa, menemukan potensi kesesuaian, potensi konflik dalam berpasangan, sudah diketahui lebih dini. Kemudian juga lewat konselor itu bisa mengenali rekam jejak keluarga asal masing-masing dan kualitas pernikahan orangtua masing-masing. Umumnya kita akan memilih pasangan, pacar dan pasangan nikah, dan menjalani model pernikahan tidak jauh dari kondisi pernikahan orangtua masing-masing.
Y : Sebab, itu yang kita tahu ya, Pak? Mau tidak mau itu yang memengaruhi kita.
SK : Tontonan menjadi tuntunan secara alamiah. Maka dengan mengenal sejak dini kalau misalnya kita memiliki latar belakang orangtua yang pernikahannya kurang sehat, kita bisa melakukan pembelokan secara sengaja lewat pendampingan tersebut, lewat pembimbingan, lewat proses konseling sehingga kita tidak perlu meneruskan pola yang buruk dari pernikahan orangtua kita masing-masing.
Y : Jadi pendampingan ini seperti pembimbingan, ya Pak, yang memastikan bahwa berpacarannya sehat, bergeraknya ke arah yang matang, relasi yang mengerucut bukan sembarangan.
SK : Iya. Jadi lewat proses pendampingan ini, pembimbingan ini kita memastikan kita berada dalam trek, dalam rel, dalam jalur yang sehat dan tepat mengarah ke depan. Kalau pun relasi itu putus, berujung ke keyakinan tidak cocok untuk melangkah lebih lanjut, tidak apa-apa tapi putus secara terhormat. Tidak perlu sampai saling menyakiti, ….
Y : Saling mencaci. Kadang bisa mengumbar di medsos atau status yang tidak elok.
SK : Betul. Kemudian juga pendamping ini menolong pasangan bisa membahas hal-hal yang sensitif yang mungkin enggan untuk dibahas, disinggung dalam relasi pacaran.
Y : Misalnya apa, Pak?
SK : Misalnya tentang batasan waktu, "Kapan mau menikah? Apakah relasi ini memang semakin mantap atau semakin tidak mantap untuk diteruskan?" Kadang salah satu pihak kucing-kucingan. Satunya ingin tanya umumnya yang wanita karena batasan usia, yang cowok…
Y : Tidak berani melangkah secara serius.
SK : Benar. Maka adanya pembimbing, pendamping, pihak ketiga ini akan menolong memberi batasan waktu, "Ayo kita sekarang sudah melewati 6 bulan. Ayo sekarang beri umpan balik masing-masing bagaimana. Ini sudah jalan setahun, ini kira-kira relasi ini bagaimana menurut kalian masing-masing?" Dengan demikian ada semacam wasit yang memastikan, baik jalannya…..
Y : Pertandingan…
SK : Melindungi kedua belah pihak, termasuk merancang masa depan. Kira-kira kalau menikah seperti apa model pernikahan yang akan kalian akan jalani; model keluarga, mau punya berapa anak dan sebagainya. Jadi ini memang akan masuk, bisa masuk ke tahap pranikah. Jadi…
Y : Sekalian perencanaan pernikahan ya, Pak?
SK : Iya. Mulus jalannya dari pacaran sampai ke arah, semakin mantap ke arah pernikahan bisa dilanjutkan. Tapi kalau pun tidak cocok mau ganti pembimbing, mentor atau pendamping tidak apa-apa; sampaikan, "Terima kasih untuk bimbingannya selama ini dan kami merasa cukup" jadi bisa diganti dengan yang lain.
Y : Diperlukan keterbukaan juga ya, Pak. Dari yang dibimbing bersedia mau terbuka menceritakan masalah ini juga, dua arah begitu ya, Pak?
SK : Betul.
Y : Untuk firman Tuhan yang mendasari hubungan sehat dalam berpacaran, apa Pak Sindu?
SK : Saya bacakan dari Amsal 30:19, " Jalan rajawali di udara, jalan ular di atas cadas, jalan kapal di tengah-tengah laut, dan jalan seorang laki-laki dengan seorang gadis." Di sini firman Tuhan menggambarkan tentang hal keunikan termasuk relasi laki-laki dan perempuan di dalam masa berpacaran. Jadi marilah berani untuk mengakui ada banyak hal kita kurang pahami, ada banyak hal yang kita akan hadapi dalam masa berpacaran. Beranilah untuk belajar. Beranilah untuk mencari pendamping, pembimbing atau mentor. Beranilah melibatkan Tuhan, Kristus dan tubuh Kristus. Dengan demikian perjalanan kita akan bermakna dan berhasil.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu untuk uraiannya. Saya percaya ini akan memberkati para pendengar khususnya yang sedang bergumul tentang berpacaran. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Batasan Sehat Berpacaran". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.