Lanjutan dari T42A
Saudara-saudara pendengar yang kami kasihi dimanapun Anda berada, Anda kembali bersama kami pada acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Saya Gunawan Santoso bersama Ibu Idajanti Raharjo dari LBKK (Lembaga Bina Keluarga Kristen), telah siap menemani Anda dalam sebuah perbincangan dengan Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling dan dosen di Seminari Alkitab Asia Tenggara Malang. Perbincangan kami kali ini akan melanjutkan perbincangan kami pada kesempatan yang lalu yaitu tentang "Dampak Perceraian pada Anak". Kami percaya acara ini akan sangat bermanfaat bagi kita semua, dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
PG : Pada intinya suami dan istri itu memulai pernikahan di dalam kecocokan, pasti ada ketidakcocokan tapi pada umumnya banyak kecocokan. Setelah menjalani pernikahan barulah mereka menyadari aa yang tidak cocok, dan yang biasanya mereka lakukan adalah mengoreksi ketidakcocokan itu supaya lebih cocok.
Namun ada pasangan-pasangan yang berhasil, ada juga yang tidak berhasil. Nah, yang tidak berhasil inilah akhirnya terlibat dalam suatu siklus, siklus pertengkaran yang tidak bisa selesai-selesai. Nah, pertengkaran demi pertengkaran membuat mereka pada akhirnya putus asa, merasa tidak berdaya, frustrasi tidak tahu lagi apa yang harus mereka lakukan dan mereka merasa bahwa pasangan itu benar-benar di luar kendalinya, di luar kontrolnya. Apapun yang dia lakukan tidak lagi berdampak pada pasangannya, pasangannya tetap berbuat seperti yang tidak dia inginkan. Alhasil dia akan merasa masa bodoh, dia akan mendiamkan, memasabodohkan pasangannya. Namun dalam perasaan masa bodoh itu sebetulnya dia merasa sakit, luka karena dia harus hidup dalam rumah di mana awan begitu gelap, di mana tidak ada keceriaan sama sekali, tidak ada gelak tawa, tidak ada komunikasi jadi itu adalah suatu suasana yang sangat tidak nyaman dan membuat dia sangat terluka atau sakit. Nah inilah yang sering kali menjadi pencetus orang bercerai yaitu kalau rasa sakit itu tidak tertahankan. Ini dengan catatan kalau tidak ada orang ketiga yang muncul, kalau ada orang ketiga yang muncul biasanya masalah perceraian ini bisa dipercepat. Kalau tidak ada orang ketiga yang biasanya membuat orang mengambil tindakan untuk bercerai adalah rasa sakit yang tidak tertahankan itu.PG : Sebetulnya pernikahan itu sangat rawan pada masa 5 tahun pertama setelah pernikahan atau mungkin lebih kritis lagi 3 tahun pertama. Kalau 3 tahun pertama kita gagal untuk mencocokkan diri an menemukan celahnya, kita kecenderungannya akan terus membawa problem itu untuk tahun-tahun mendatang jadi 3 tahun pertama itu sangat krusial.
PG : Nah fase kedua yang memang rawan terhadap perceraian adalah usia pertengahan yaitu usia sekitar 45-55. Rawannya adalah karena pada saat itu meskipun secara sejarah, latar belakang mereka sdah menikah 20 tahun misalnya, tapi saat itu adalah saat di mana anak-anak sudah besar.
Anak-anak itu sering kali menjadi pengikat orang tua dan sekaligus merupakan suatu pengalihan problem, waktu ada anak sedikit banyak problem itu dialihkan sehingga kita tidak langsung menatap pasangan kita. Ada yang harus kita urus yaitu anak-anak kita. Kalau anak-anak sudah besar berarti tidak ada lagi yang jadi pengalihan, kita harus menghadapi pasangan kita secara langsung. Nah, di situlah kecocokan kita diuji mati-matian. Kalau pada awal pernikahan sebelum punya anak, kita sudah bermasalah dan tidak dibereskan dengan tuntas pada waktu itu, kemudian muncul anak-anak dan kita repot membesarkan anak biasanya problem itu muncul kembali di usia pertengahan. Jadi betul sekali kata Bu Ida, ada orang yang sudah menikah 20 tahun-an, akhirnya bubar.PG : Yang pertama adalah anak merasa terjepit Pak Gunawan, terjepit di tengah-tengah sebab meskipun si anak itu tahu, misalkan saja mamanya yang kurang benar atau papanya yang kurang benar, tetp anak mengalami kesulitan untuk berkata saya memilih mama saya karena papa saya tidak benar misalnya.
Jadi karena anak sulit sekali memilih hal ini, memilih papa atau mama dia merasa sangat terjepit di tengah, siapa itu yang harus dia bela, siapa itu yang dia harus ikuti nantinya atau misalnya terjadi perceraian. Nah waktu terjadi perceraian di situlah anak mulai bingung, dalam keadaan terjepit dia suka bingung harus pilih siapa. Karena dia merasa sungkan berkata saya pilih mama atau saya mau pilih papa, dia sungkan terhadap orang tua yang satunya.PG : Betul, dalam hati dia sudah ada penilaian siapa yang lebih salah, dan siapa yang lebih benar. Namun waktu mereka menyadari orang tua sekarang bercerai, tetap ada rasa sungkan mengkhianati rang tuanya.
Jadi sering kali anak-anak itu tidak berani, saya itu mau pilih siapa, makanya salah satu dampak yang lain dari perceraian pada anak adalah anak sering kali mempunyai rasa bersalah, bersalah karena dia pilih orang tua yang satu bukan yang satunya, bersalah karena kadang-kadang kita susah mengerti, tapi kadang kala anak merasa bahwa marekalah yang menjadi penyebab perceraian. Sebab adakalanya dalam rumah tangga yang memang tidak cocok, yang memang sedang bermasalah itu salah satu bahan keributan adalah anak, sering kali kita ini bertengkar karena urusan anak, nah anak di dalam ketidakmengertiannya berkata papa, mama bercerai gara-gara saya, dulu mereka sering ribut karena saya tidak belajar, saya dulu agak malas sekolah, mama sering marahi saya waktu di rumah karena saya dimarahi mama terus-menerus, papa bela, akhirnya papa mama bertengkar, dan akhirnya ribut. Akhirnya mereka bercerai karena salah saya. Nah, sekali lagi ini adalah memang suatu proses yang alamiah, orang selalu mencari kambing hitam atau mencari penyebab atau mencari titik kesalahan, supaya mereka bisa mengerti, memahami dengan akal inilah sebabnya terjadi perceraian jadi orang selalu ingin tahu mencari penyebab atau siapa yang salah. Nah sering kali anak-anak menyalahkan diri mereka sendiri.PG : Kalau perselingkuhan, kemungkinan besar lebih gampang untuk anak cerna, ada orang ketiga itu lebih gampang.
PG : Betul, sebab sering kali kalau cekcok melibatkan anak.
PG : Sebetulnya yang terjadi adalah si anak nomor 1 mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan dia mau melampiaskannya. Pelampiasannya adalah dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturn, memberontak dan sebagainya.
Atau yang kedua, yang sering terjadi waktu orang tua bercerai anak kebanyakan tinggal dengan mama. Nah berarti ada yang terhilang yakni figur otoritas, figur ayah. Waktu figur otoritas itu menghilang, anak sering kali tidak terlalu takut pada mama. Maka ini adalah suatu fakta yang saya pernah baca dalam suatu hasil riset yang menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan orang tua tunggal oleh seorang ibu cenderung nakal.PG : Ya, anak akhirnya merasa tidak pas karena dia melihat ke kiri, dia melihat ke kanan, teman-temannya punya papa, punya mama, kok saya tidak punya papa, kok saya tidak punya mama. Waktu dia icara dengan teman-temannya mereka membicarakan tentang papa dan mama, dia tidak bisa bicarakan papanya, papanya tidak tinggal serumah apalagi kalau papanya menikah lagi dengan orang lain dia lebih susah lagi bicara tentang papanya yang sudah punya istri yang lain.
Jadi dengan kata lain statusnya itu sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan dia orang yang berbeda dari anak-anak lain. Nah ini tadi yang dimaksud dengan kehilangan jati diri sosialnya, identitas sosialnya itu. Dia tiba-tiba tidak masuk, tidak pas lagi dengan lingkupnya.PG : Betul, sering kali begitu mereka itu bisa membawa suatu perasaan bahwa mereka anak-anak yang cacat, anak-anak yang tidak setara dengan anak-anak lain. Oleh karenanya timbul suatu rasa taku kalau saya ini menikah dengan orang yang benar-benar, nanti saya dipandang rendah atau ada suatu perasaan saya tidak pantas berpasangan dengan orang yang dari keluarga benar-benar.
Jadi saya lebih cocoklah menikah dengan yang sejenis dengan saya, harapannya adalah yang sejenis dengan saya, lebih bisa menerima saya, senasib dan orang tuanya pun juga bisa menerima saya. Sebab dia tahu bahwa banyak orang tua tidak rela menikahkan anaknya dengan seseorang yang dari keluarga yang sudah broken-home seperti itu.PG : Dan korban yang kedua kalinya Ibu Ida, pertama kali waktu orang tuanya bercerai, kedua kali waktu mereka sudah dewasa, jadi ada rasa takut seperti itu, takut dihukum lagi oleh masyarakat.
PG : Ada perasaan terbelah, ada perasaan dia itu dicabik-cabik, satu pihak harus ke mama satu pihak harus ke papa. Akan muncul suatu dorongan dalam diri si anak untuk menjadi perekat, untuk menadi penyatu.
Nah jadi apa yang dilakukan, dia akan menjadi juru bicara misalkan dari orang tuanya. Mama ngomong kepada dia tentang si papa dan nanti yang sampaikan bukan langsung si mama pada papa, si anak yang menyampaikan. Atau si papa ingin komunikasi dengan si mama tidak mau langsung, tapi melalui si anak. Jadi akhirnya si anak inilah yang menjadi jubir di antara kedua orang tuanya. Atau bisa juga dia yang menjadi peredam persoalan atau konflik di antara kedua orang tuanya yang sudah bercerai ini, karena dia tahu dua-duanya mengasihi dia dan dia mau dua-duanya itu jangan sampai lebih buruk lagi keadaannya. Jadi apa yang terjadi dialah yang akan meredam konflik, misalnya papanya marah-marah terhadap mamanya (di belakang mamanya maksud saya) waktu ketemu mamanya, mamanya tanya, "papa marah-marah atau tidak?" Dia akan bilang: "Tidak, papa tidak bilang begitu," dengan kata lain sejak kecil dia akhirnya belajar untuk mendistorsi fakta kehidupan.PG : Dalam hubungan nikah yang sudah-sudah sangat jelek ya, pertengkarannya sudah sangat parah, kebanyakan anak-anak yang akan memilih untuk supaya mereka bercerai. Dan dari hasil riset yang saa pernah baca, memang diperlihatkan demi kesehatan jiwa si anak, anak-anak itu akan lebih tenteram sewaktu dilepaskan dari suasana seperti itu.
Jadi pada waktu orang tuanya tidak tinggal sama-sama mereka itu rasanya lebih tenang karena tidak harus menyaksikan pertengkaran. Nah akhirnya mereka lebih mantap, lebih damai hidupnya, dan lebih bisa berhubungan dengan orang tuanya secara lebih sehat.PG : Ada yang terjadi seperti itu juga betul, jadi akhirnya dititipkan kepada orang lain. Nah, apapun yang terjadi memang secara sepihak anak-anak ini bebas dari pertengkaran orang tuanya. Namu di pihak lain dia harus menanggung kerugian-kerugian yang sebetulnya juga berat, jadi dibebaskan dari pertengkaran itu suatu manfaat, itu suatu hal yang positif.
Tapi di samping manfaat anak cerai itu sebetulnya menanggung lebih banyak kerugian, banyak sekali. Saya pernah membaca hasil suatu riset yang menunjukkan bahwa bahkan sudah sampai 20 tahun kemudian, saya kurang ingat berapa, tapi sudah sangat lama berpuluhan tahun kemudian anak-anak korban perceraian tetap masih membawa luka-luka akibat perceraian orang tuanya, jadi dampaknya itu sangat panjang.PG : Bisa jadi, memang tadi kata Pak Gunawan ada yang bisa nakal luar biasa, tapi ada yang kebalikannya justru menjadi anak yang sangat baik dan bertanggung jawab. Yang terjadi adalah sebetulny pengkompensasian Pak Gunawan.
Si anak ini seolah-olah mengkompensasi kekurangan atau kehilangan dalam rumah tangganya. Misalkan dia tinggal dengan mamanya dia anak laki, papanya tidak ada lagi sudah bercerai dengan mamanya. Kecenderungannya adalah dia menggantikan fungsi papanya, dialah yang akhirnya menjadi teman bicara mamanya dan dia tidak bisa tidak karena keadaan dipaksa untuk menjadi lebih dewasa. Atau seorang anak wanita yang harus tinggal dengan papanya kalaupun dia tidak tinggal dengan papanya dia misalkan perwaliannya dengan ibu tapi seminggu sekali bisa pulang ke rumah papanya. Yang cukup umum si anak perempuan ini menjadi seperti mamanya terhadap si papa, menjadi teman bicara, menjadi orang yang mengerti isi hati papanya. Jadi lama-kelamaan si papa ada kekesalan atau apa, cerita dengan anak perempuannya. Jadi betul kata Pak Gunawan akhirnya didorong kuat untuk mengambil alih peran orang tua yang tidak ada lagi dalam rumah tangganya. Secara luar kita melihat sepertinya baik menjadi lebih dewasa tapi sebetulnya secara kedewasaan tidak terlalu baik, karena dia belum siap untuk mengambil alih peran orang tuanya itu.PG : Tepat sekali, dia akan kehilangan masa kanak-kanak itu dan terpaksa menjadi orang dewasa.
PG : Dari yang saya lihat Ibu Ida, kalau orang sudah berpisah, berpisah rumah kemungkinan kembali hampir tidak ada. Justru saya ini berupaya dalam konseling pernikahan yang memang sudah parah brusaha agar jangan mengambil jalan pisah rumah, karena sering kali kalau sudah pisah rumah tidak bisa disatukan lagi.
Kecuali dalam kasus-kasus di mana salah seorang itu benar-benar dalam keadaan terancam misalnya dipukuli secara sadis oleh suaminya. Nah, dalam keadaan seperti itu lebih baik mereka tidak serumah sebab itu sangat membahayakan jiwanya si wanita dan juga sangat membahayakan kesehatan jiwa anak-anaknya, menyaksikan mama dipukuli seperti itu. Dalam keadaan yang begitu rusak saya memang lebih suka melihat mereka tidak serumah, tapi kalau hanya pertengkaran demi pertengkaran saya kira jangan pisah rumah, kalau pisah rumah kemungkinan kembali hampir tidak ada.PG : Betul, mereka sudah rasa damai pisah rumah, dan mereka berpikir 1000 kali untuk gabung dan bertengkar lagi seperti dulu karena sangat menyakitkan hati.
PG : Seperti yang telah kita bahas, pertengkaran itu selalu menambah ketegangan anak, maka anak-anak yang dibesarkan dalam rumah yang tidak harmonis dan penuh pertengkaran sering kali menjadi aak-anak yang penuh keragu-raguan, mudah cemas, mudah takut, tidak percaya diri, tidak aman itu semua adalah dampak dari ketegangan-ketegangan yang harus dipikulnya.
PG : Betul, ada satu hal yang menjadi pengamatan saya Pak Gunawan yaitu kita lebih berani mengakui gangguan fisik dibandingkan gangguan keluarga atau gangguan jiwa. Kita tidak berkeberatan oran mengetahui kita punya sakit jantung, kita punya sakit kanker.
Tapi kebanyakan kita berkeberatan orang tahu kita punya masalah keluarga. Akibatnya kalau kita tahu, kita sakit jantung kita ke dokter jantung. Tetapi kalau kita punya masalah keluarga kecenderungannya kita justru menyembunyikannya. Nah, sering kali persoalan-persoalan ini menumpuk tidak selesai, maka seperti ditulis oleh Marcia Lasswell dalam bukunya No Fault Marriage dia bilang kebanyakan orang mencari pertolongan pernikahan setelah parah dan rata-rata dia sudah hitung sekitar 7 tahun. Jadi rata-rata orang setelah 7 tahun bergumul dalam persoalan mereka, bukannya 7 tahun usia pernikahan bukan, 7 tahun bergumul dalam persoalan itu baru akhirnya mencari orang atau pihak ketiga untuk membantu mereka, konselor atau hamba Tuhan. Tapi setelah 7 tahun masalahnya itu diderita, nah kalau kita sakit kanker 7 tahun kita diam saja, ya sudah stadium 4.PG : Betul, tapi kita berpikir tidak apa-apalah kita diamkan, nanti bisa berubah kok. Memang beginilah pernikahan. Jadi kita sering kali berdalih-dalih kita tidak mau mencari pertolongan atau yng paling umum dalam konteks budaya kita adalah malu.
PG : Orang harus sudah mulai mencari bantuan pada pihak ketiga yaitu pendeta atau konselor, untuk membereskan persoalan mereka, jikalau mereka itu tiba-tiba sudah sadar bahwa persoalan yang saa muncul lagi terus menerus.
Berarti apa? berarti usaha mereka untuk memperbaiki tidak lagi efektif. Sama seperti kita misalkan dengan mobil kita, kita coba betulkan sendiri rusak lagi, betulkan rusak lagi, sudah waktunya kita bawa ke bengkel begitu.PG : Betul.
PG : Saya menyadari Pak Gunawan bahwa hidup ini kompleks dan saya juga menyadari bahwa kita ini menikah untuk sungguh-sungguh, langgeng selamanya. Jadi kalau sampai ada orang yang menderita dalm pernikahan sering kali itu di luar kehendak mereka, di luar harapan mereka.
Jadi saran saya adalah sebisanya carilah bantuan, dua-dua, meskipun yang satu merasa saya tidak punya masalah, carilah bantuan karena sering kali ini bukanlah masalah satu atau yang satunya, tapi masalah berdua. Kedua yang saya ingin katakan adalah kita harus tetap kuat di dalam Tuhan, kita tidak bisa mengerti kenapa kita mendapat porsi kehidupan yang seperti ini. Ada kasus Pak Gunawan, memang bukan salah yang satu tapi benar-benar salah yang satunya. Ada yang memang menikah dengan orang yang sangat keliru misalnya sangat jahat dan sebagainya. Akhirnya dia terjebak dalam pernikahan seperti itu juga, kadang kala itulah porsi kehidupan kita yang memang pahit dan harus kita minum. Tapi untuk kasus-kasus yang lebih umum di mana mulai timbul perceraian-perceraian ada firman Tuhan untuk saudara-saudara yang mendengarkan. Firman Tuhan berkata: "Ingatlah, jangan menganggap rendah seorang dari anak-anak kecil ini. Karena Aku berkata kepadamu: Ada malaikat mereka di sorga yang selalu memandang wajah Bapa-Ku yang di sorga." Ini dicatat oleh InjilPG : Betul, saya sering katakan ini Pak Gunawan, mayoritas klien saya dalam konseling adalah orang dewasa tapi mayoritas klien saya adalah orang-orang yang menderita karena mereka membawa problm sejak masa kecil mereka.
Dengan kata lain mereka bermasalah sekarang, sebab pada masa kecil mereka, mereka sudah mengalami masalah akibat perbuatan orang tua mereka.PG : Betul, dan ada yang terputus karena anugerah Tuhan pada usia remaja atau dewasa akhirnya bertemu Tuhan, bertobat mempunyai teman-teman seiman yang mencintainya sehingga dia dibangunkan kemali, disusun kembali, dibentuk kembali menjadi manusia yang berbeda.
PG : Betul tetap masih ada pengharapan.
Jadi demikianlah tadi para pendengar yang kami kasihi kami telah mempersembahkan ke hadapan Anda sebuah perbincangan yang merupakan lanjutan dari perbincangan kami yang lalu tentang dampak perceraian terhadap anak, bersama Bp. Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (Tegur Sapa Gembala Keluarga). Kalau Anda berminat untuk melanjutkan acara tegur sapa ini, kami persilakan Anda menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen atau LBKK Jl. Cimanuk 58 Malang. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Dan dari studio kami mengucapkan terima kasih.
PERTANYAAN KASET T 42 B
- Pada usia berapakah pasangan itu disebut rawan terhadap perceraian?
- Dampak-dampak apa sajakah yang ditimbulkan perceraian terhadap anak?
- Perpisahan sementara sebelum perceraian apakah memungkinkan untuk memperbaiki hubungan?
- Sebaiknya dalam proses yang mana seorang pasangan perlu datang pada pihak ketiga yaitu konselor atau hamba Tuhan?
Ada beberapa hal tahapan yang mendahului sebelum terjadi perceraian.
Mulai mereka temukan ketidakcocokan dalam pernikahan mereka.
Orang akan merasa gagal untuk membereskan masalah atau kemelut ini. Sebab yang akan mereka saksikan adalah masalah yang sama diulang-ulang.
Ini memang ditimbulkan oleh sekurang-kurangnya 2 penyebab.Orang yang bersangkutan tidak mau berubah
Mereka belum menguasai cara untuk menyelesaikan problem.
Yang tidak berhasil, akhirnya terlibat dalam suatu siklus, siklus pertengkaran yang tidak bisa selesai-selesai.
Kalau sudah sampai pada titik ini biasanya kita menyerah.
Kemudian kita akan merasa masa bodoh, akan mendiamkan, memasabodohkan pasangan kita dan tidak menghiraukannya.
Rasa sakit yang berkepanjangan dan tak tertahankan inilah yang seringkali menjadi pencetus atau mendorong orang untuk bercerai.
Anak mulai menderita kecemasan yang tinggi dan ketakutan.
Anak merasa terjepit di tengah-tengah. Karena dalam hal ini anak sulit sekali memilih papa atau mama, dia merasa sangat terjepit di tengah
Anak sering kali mempunyai rasa bersalah.
Kalau kedua orang tuanya sedang bertengkar, itu memungkinkan anak bisa membenci salah satu orang tuanya.
Dalam rumah tangga yang tidak sehat, yang bermasalah dan penuh dengan pertengkaran-pertengkaran bisa muncul 3 kategori anak.
Anak-anak yang memberontak yang menjadi masalah diluar. Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai itu menjadi sangat nakal sekali karena:
Mempunyai kemarahan, kefrustrasian dan mau melampiaskannya.
- Dia harus hidup dalam ketegangan dan dia tidak suka hidup dalam ketegangan
- Dia harus kehilangan hidup yang tenteram, yang hangat, dia jadi marah pada orang tuanya kok memberikan hidup yang seperti ini kepada mereka.
Selain itu, anak korban perceraian jadi gampang marah karena mereka terlalu sering melihat orang tua bertengkar. Namun kemarahan juga bisa muncul karena :
- Waktu orang tua bercerai, anak kebanyakan tinggal dengan mama, itu berarti ada yang terhilang dalam diri anak yakni figur otoritas, figur ayah.
Anak-anak yang bawaannya sedih, mengurung diri, dan menjadi depresi. Anak ini juga bisa kehilangan identitas sosialnya.
Anak-anak yang super baik yang jadi juru selamat rumah tangga.
Tapi untuk kasus-kasus yang lebih umum, dimana mulai timbul tanda-tanda yang menuju pada perceraian ada Firman Tuhan di
Usia perkawinan yang rawan terhadap perceraian adalah :
Masa 5 tahun pertama setelah pernikahan dan juga yang lebih kritis lagi 3 tahun pertama.
Usia pertengahan yaitu usia sekitar 45 - 55 tahunan. Rawan karena pada saat itu saat di mana anak-anak sudah besar. Anak-anak seringkali menjadi pengikat orangtua dan sekaligus merupakan suatu pengalihan problem.
Dampak dari perceraian yang sering kali dialami oleh anak adalah:
Anak merasa terjepit, anak mengalami kesulitan untuk berkata saya memilih mama atau saya memilih papa. Dia merasa terjepit di tengah, siapa yang harus dibela, siapa itu yang dia harus ikuti nantinya kalau misalnya terjadi perceraian.
Anak mempunyai rasa bersalah. Karena anak merasa bahwa dirinya yang menjadi penyebab perceraian.
Anak yang jadi korban keluarga yang bercerai cenderung menjadi anak yang sangat nakal karena:
Anak mempunyai kemarahan, kefrustasian dan dia mau melampiaskannya. Dan pelampiasannya adalah dengan melakukan hal-hal yang berlawanan dengan peraturan, memberontak dan sebagainya.
Anak kehilangan figur otoritas, figur ayah. Waktu figur otoritas itu menghilang anak sering kali tidak terlalu takut pada mama.
Anak kehilangan jati diri sosialnya atau identitas sosialnya. Status sebagai anak cerai memberikan suatu perasaan dia orang yang berbeda dari anak-anak lain.
Pasangan suami-istri seharusnya cepat mencari bantuan pada pihak ketiga yaitu pendeta, konselor untuk membereskan persoalan mereka, jikalau mereka itu tiba-tiba sudah sadar bahwa persoalan yang sama muncul lagi terus-menerus. Jadi kalau sampai ada orang yang menderita dalam pernikahannya yang perlu dilakukan adalah:
Mencari bantuan, dua-dua meskipun yang satu merasa saya tidak punya masalah, carilah bantuan karena seringkali ini bukanlah masalah satu atau yang satunya, tapi masalah berdua.
Harus tetap kuat di dalam Tuhan.