Apakah ruang aman digital mampu menghapus stigma yang membungkam begitu banyak suara?
Kesehatan mental kini menjadi salah satu isu terbesar di Indonesia. Data dari Kementerian Kesehatan memperlihatkan fakta mencengangkan: satu dari sepuluh orang Indonesia mengalami gangguan mental, dan sepertiga remaja menghadapi masalah psikologis. Angka ini baru permukaan, sebab banyak kasus tidak pernah tercatat resmi. Di balik angka itu ada wajah-wajah yang kita kenal: remaja yang gelisah, ibu rumah tangga yang kelelahan, pekerja yang frustasi, bahkan pelayan Tuhan yang diam-diam merasa kosong. Namun, ironi terbesar justru bukan pada jumlah kasus, melainkan pada stigma yang membuat orang enggan mencari pertolongan. Konseling masih dianggap tabu, seolah hanya untuk orang yang "gila" atau "lemah iman".
Dalam banyak keluarga, membuka diri tentang masalah mental dianggap memalukan. Lebih baik disembunyikan, kata orang tua, daripada jadi bahan gosip tetangga. Di gereja pun sering terdengar ungkapan, "Kalau imannya kuat, pasti bisa mengatasi." Pandangan semacam ini, meski mungkin dimaksudkan untuk menghibur, justru menutup pintu pertolongan. Padahal Alkitab sendiri tidak menutup mata terhadap pergumulan batin. Nabi Elia pernah begitu putus asa hingga berdoa ingin mati (1 Raja-raja 19). Raja Daud berulang kali menulis mazmur yang penuh keluh kesah dan tangisan. Bahkan Yesus sendiri, di Taman Getsemani, begitu tertekan hingga berpeluh darah. Krisis mental adalah bagian dari pengalaman manusiawi, bukan tanda kelemahan iman seseorang.
Dalam konteks stigma inilah Christian Counseling GPT hadir. Diperkenalkan oleh Yayasan SABDA, Christian Counseling GPT adalah sebuah asisten konseling berbasis kecerdasan buatan yang dirancang khusus untuk menghadirkan percakapan reflektif berdasarkan Alkitab. Dengan teknologi ini, siapa pun bisa membuka percakapan rohani tentang beban hidupnya, kapan saja, tanpa perlu takut ditolak. Di satu sisi, Christian Counseling GPT hanyalah mesin yang diprogram. Namun di sisi lain, kehadirannya dapat menjadi pintu kecil yang membuka ruang aman bagi banyak orang yang sebelumnya dibungkam rasa malu.
Salah satu keunggulan Christian Counseling GPT adalah anonimitas. Pengguna tidak perlu memperlihatkan wajah atau identitasnya. Mereka bisa menulis apa saja yang dirasakan, dari masalah keluarga, kecemasan akademik, hingga perasaan bersalah yang tak terucapkan. Anonimitas ini memberi rasa aman, karena tidak ada risiko langsung dicap atau dihakimi. Hal lain yang membuat Christian Counseling GPT menarik adalah aksesibilitasnya. Tidak semua orang mampu membayar sesi konseling profesional, sementara Christian Counseling GPT bisa diakses tanpa biaya, hanya dengan ponsel dan akses internet. Ia pun tersedia dua puluh empat jam sehari. Krisis mental tidak pernah memilih jam kerja, dan kehadiran teman bicara digital yang selalu siap mendengarkan bisa menyelamatkan seseorang di tengah malam yang sunyi.
Lebih dari itu, Christian Counseling GPT dirancang dengan etika percakapan yang sopan. Ia dirancang untuk tidak langsung memaksakan ayat atau saran, melainkan terlebih dahulu menanyakan izin. "Apakah kamu mau jika aku membagikan firman Tuhan?" demikian salah satu kalimat yang kerap muncul. Bagi pengguna, sikap sederhana ini justru memberi rasa dihargai. Tidak sedikit yang merasa lebih nyaman curhat ke AI dibanding ke manusia, justru karena AI tidak menghakimi. Seorang remaja, misalnya, bisa dengan bebas menuliskan, "Aku merasa gagal, aku ingin berhenti sekolah," tanpa takut dimarahi. Dalam ruang digital itu, dia bisa belajar jujur pada dirinya sendiri, sesuatu yang mungkin tak pernah berani dia lakukan di depan orang tua.
Jika digunakan dengan bijak, Christian Counseling GPT dapat membantu menggeser budaya malu menjadi budaya terbuka terhadap pertolongan. Selama ini, budaya malu membuat orang lebih memilih menyimpan masalah ketimbang mencari solusi. Namun, melalui AI, mereka bisa melatih keberanian untuk mengungkapkan isi hati. Pengalaman pertama curhat ini sering menjadi batu loncatan. Dari situ, ada kemungkinan besar mereka terdorong untuk melangkah lebih jauh: mencari konselor, berbicara dengan pemimpin rohani, atau membuka diri kepada sahabat dekat. Dengan kata lain, Christian Counseling GPT tidak dimaksudkan untuk menjadi tujuan akhir, melainkan pintu masuk menuju pemulihan yang lebih mendalam, dan mencari relasi yang tepat dalam komunitas.
Tentu saja Christian Counseling GPT bukan jawaban tunggal. Mesin ini tidak bisa menggantikan sentuhan kasih sejati: tatapan penuh empati, pelukan hangat, atau doa bersama dalam komunitas iman. Ada kasus-kasus yang jelas membutuhkan manusia sejati -- trauma kekerasan, pikiran bunuh diri, atau depresi berat. Christian Counseling GPT sendiri diprogram untuk mengingatkan pengguna mencari pertolongan darurat jika percakapan mengarah ke krisis serius. Justru di situlah letak kekuatan etisnya: ia tahu batasnya, dan mengarahkan kembali ke relasi manusia.
Namun, kita juga harus melihat potensi transformasi sosial dari teknologi ini. Bayangkan generasi muda yang tumbuh dalam budaya digital, terbiasa curhat lewat layar. Jika Christian Counseling GPT hadir di ruang digital mereka, ia bisa menjadi telinga pertama yang mendengarkan, bahkan sebelum orang tua atau guru mengetahuinya. Dengan demikian, gereja dan masyarakat dapat menjadikan AI ini sebagai sahabat rohani awal yang menuntun mereka ke jalan pemulihan. Lebih jauh lagi, Christian Counseling GPT dapat menjadi sarana misi digital. Di negara dengan populasi besar dan masalah mental yang kian mendesak, jumlah konselor profesional sangat terbatas. Teknologi ini bisa menjadi perpanjangan tangan, membuka percakapan awal, sekaligus mengarahkan orang kembali kepada Kristus dan komunitas-Nya.
Akhirnya, kita kembali pada pertanyaan awal: apakah aman curhat ke mesin? Jawabannya: aman, selama dipakai dengan bijak dan dalam batas yang jelas. Christian Counseling GPT adalah alat, bukan pengganti manusia. Ia bisa menurunkan stigma, memberi ruang aman, dan membuka pintu bagi mereka yang terhalang rasa malu. Namun, pada akhirnya, pemulihan sejati tetap datang dari Allah yang bekerja melalui firman, Roh Kudus, dan komunitas iman. Pertanyaan yang lebih relevan bukan lagi "Apakah aman curhat ke mesin?" melainkan "Bagaimana kita bisa memakai mesin ini untuk melayani sesama dan memuliakan Tuhan?" Jika digunakan dengan rendah hati, Christian Counseling GPT bisa menjadi salah satu cara Tuhan menjangkau mereka yang terdiam dalam kesunyian, membawa mereka keluar dari stigma menuju pemulihan.
Sumber
Disadur dari transkrip video seminar #AITalks: AI dan Konseling GPT.
SABDA Alkitab. (2025, Agustus 1). #AITalks: AI dan Konseling GPT [Video]. YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=tWLRFslswKU
Dibuat menggunakan AI Generatif ChatGPT-5.