Tanggung Jawab, Siapa Takut?
Kehidupan manusia tidak lepas dari tanggung jawab, terlebih lagi bagi orang dewasa. Semakin banyak peran yang dimainkan seseorang, semakin berderet pula daftar tanggung jawab yang harus dipenuhinya. Banyak pria yang harus berperan sekaligus sebagai ayah, suami, direktur, majelis dan konsultan sekaligus. Tidak kurang pula wanita berperan sebagai ibu di rumah, namun sekaligus pula istri, manajer, dan pembina salah satu komisi di gereja.
Bagaimanakah pandangan Alkitab soal tanggung jawab itu? sejak penciptaan Allah telah memberikan tanggung jawab kepada manusia untuk menguasai dan mengolah alam dan binatang-binatang yang ada. Manusia pertama, Adam, bukan saja ditempatkan di taman Eden yang indah untuk menikmati saja, tapi Allah juga memberi tugas dan tanggung jawab untuk mengerjakan tanah dan memelihara taman Eden (
Namun, kasus pertama manusia yang tidak bertanggung jawab juga adalah Adam, yakni saat ia sudah melanggar perintah Allah dan memakan buah pengetahuan yang baik dan yang jahat.
Saat Allah bertanya, atau dengan kata lain meminta pertanggungjawabannya atas pelanggaran yang dilakukan, ia tidak berani mengakui kesalahannya, malahan mencari "kambing hitam" dengan cara menyalahkan istrinya yang seharusnya dilindunginya. Sejak itulah dosa "tidak bertanggung jawab" terjadi secara turun-temurun hingga masa kita.
Melalui pengamatan saya, telah terjadi krisis tanggung jawab di zaman ini. di sekolah misalnya, murid yang tidak belajar sewaktu ulangan tetap tenang saja mengambil jalan pintas dengan menyontek. Remaja putri yang mengalami "kecelakaan" dihamili oleh pacarnya mengalami derita berganda karena ditinggal pasangannya. Suami yang tidak bekerja "memeras" istrinya yang harus membanting tulang di rumah untuk mengurus rumah tangga sekaligus bekerja di luar rumah untuk menghidupi seluruh keluarga. Ibu-ibu menyerahkan tanggung jawabnya merawat anak pada pembantu atau baby sitter, sedangkan sang ibu sibuk bershopping ria dari mall ke mall. Dalam dunia kerja, kita bahkan dapati karyawan yang tidak bertanggung jawab dalam tugas, baik dalam hal absensi kehadiran maupun jam kerja. Di tingkat pejabat sekalipun, kita dapati realita yang tidak jauh berbeda. Demikianlah sebagian realita kehidupan yang diwarnai oleh krisis tanggung jawab.
Dari mana munculnya Rasa Tanggung Jawab? Tidak secara otomatis setiap anak tumbuh dan langsung memiliki rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab harus dipupuk dan dibina semasa pertumbuhan. Boleh dikatakan bahwa setiap masa kehidupan memiliki tigas perkembangan tersendiri. Jika tugas tersebut tidak terselesaikan, maka tugas perkembangan tahap selanjutnya akan terhambat. Untuk itu, keluarga memiliki peran penting untuk menumbuhkan rasa bertanggung jawab kepada anak sejak dini sesuai tahap perkembangannya dan kemampuannya.
Contoh tugas perkembangan masa remaja adalah menemukan identitas dirinya agar memiliki rasa percaya diri yang baik. Jika tahap ini belum diselesaikan dengan baik, mungkin ia akan mengalami hambatan dalam mengembangkan diri, dalam karir maupun membentuk keluarga, sebagaimana menjadi tugas perkembangan masa dewasa awal.
Biasanya orang berkelakar dengan mengatakan "biar kamu yang tanggung, saya yang jawab." Orang yang bertanggung jawab biasanya adalah orang yang berani berbuat juga berani menanggung risikonya, walaupun terasa pahit dan tidak enak. Mereka sekaligus juga adalah orang-orang yang dapat dipercayai, jika diberi tugas dijamin pasti beres pada waktunya dengan hasil yang memadai.
Seorang anak yang tinggal di rumah oleh orangtuanya pada waktu jam belajar, misalnya, akan tetap bisa belajar sendiri dan menyelesaikan tugasnya walaupun tanpa pengawasan langsung. Dalam masa perkebangan dependensinya (kebergantungan pada orang lain), seorang anak mulai dari tahap dependent (bergantung) sepenuhnya, karena bayi masih dalam keadaan tidak berdaya dan bergantung pada ibunya dalam segala hal. Namun dalam perkembangannya, seorang individu harus memasuki tahap independent (mandiri) terutama pada masa remaja sekalipun itu bukanlah tujuan akhir. Sebagai orang dewasa, individu harus memasuki tahap interdependensi (kesalingbergantungan). Pada masa dewasa, individu harus dapat menempatkan diri bilamana diperlukan dan melakukan sendiri pekerjaannya bila tuntutan hidup mengharuskannya demikian.
Pada saat kemampuan motorik dan bicara seorang anak sudah mulai berkembang (pada masa seputar 1-3 tahun) dimana ia sudah mulai mampu menguasai motoriknya dan memiliki kemampuan-kemampuan lebih banyak, ia sudah mampu berjalan, berlari, memegang dan melempar barang-barang. Maka orangtua perlu lebih memberikan kebebasan kepada anak untuk melakukan sesuatu yang dapat ia lakukan sendiri. Dalam teorinya, Erikson menyatakan bahwa krisis perkembangan ego yang terjadi pada masa ini adalah antara kebebasan di satu pihak dan malu atau ragu-ragu di pihak lain. Maksudnya, jika seorang anak dapat menguasai tubuhnya dan melakukan apa yang dikehendakinya maka akan tumbuh perasaan bebas. Sebaliknya, bila dalam masa ini, orang lain masih harus melakukan segala sesuatu baginya, maka akan tumbuh perasaan malu dan ragu-ragu akan kemampuan dirinya. Dalam kesempatan inilah peran orangtua sangat penting untuk mengarahkan perasaan anak sekaligus melatih anak memikul tanggung jawab sesuai kapasitasnya agar anak menjadi lebih bebas mencoba dan bereksperimen dan juga menjadi lebih mandiri. Jika anak tidak dilatih memikul tanggung jawab, maka ia akan menjadi pribadi yang tergantung pada orang lain, sering ragu-ragu pada dirinya sendiri, pemalu dan tidak mandiri.
Selanjutnya, anak-anak usia 3-5 tahun berada dalam masa pengembangan inisiatifnya. Tugas-tugas penting yang harus dipelajari anak menuju pada perkembangan inisiatif meliputi (1) menemukan kemampuan-kemampuan pribadi, (2) belajar melakukan kegiatan rutin dan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi, dan (3) belajar membedakan berbagai peran sosial dan bagaimana berinteraksi dengan orang lain. Pada masa ini, anak memiliki banyak keinginan dan mulai memiliki banyak kemampuan yang mendukung untuk merealisasikan keinginannya. Anak berkeinginan menyalurkan semua inisiatif yang telah dirancangnya, untuk itu dibutuhkan kepercayaan dan kebebasan yang diberikan orang dewasa di sekitarnya. Jika anak dihambat untuk menyalurkan inisiatifnya, akan timbul rasa bersalah dalam diri anak.
Dalam proses mendidi anak agar bertanggung jawab dibutuhkan beberapa faktor yang penting.
Pertama, rasa percaya diri.
Rasa percaya diri ini terbentuk saat seseorang anak mengenali kemampuannya, mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk melakukan apa yang mampu ia kerjakan sendiri, dan memperoleh penghargaan dari orang lain atas apa yang sudah ia kerjakan. Misalnya seorang anak yang sudah mampu untuk mengendarai sepeda roda tiganya perlu diberi kesempatan untuk terus mencoba dan belajar sambil tetap diawasi. Berilah dia pujian atas keberhasilannya dan doronglah dia agar tetap berusaha mencoba. Semakin anak mendapati dirinya mampu, semakin berkembang pula kepercayaan dirinya.Kedua, disiplin.
Tanggung jawab juga berhubungan erat dengan disiplin. Hal yang penting dalam disiplin adalah peraturan, konsistensi, dan imbalan/hukuman. Peraturan perlu untuk memberikan batasan atau standar yang jelas tentang perilaku yang diharapkan dan yang perlu dihindari. Konsistensi dalam penerapan disiplin perlu agar tidak membingungkan anak. Untuk itu antara ayah dan ibu diperlukan adanya kesepakatan yang jelas tentang hal-hal yang boleh dan tidak. Selain itu konsistensi juga dituntut atas apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan. Apa yang orang tua katakan harus benar-benar diterapkan. Faktor imbalan-hukuman akan sangat efektif mendukung proses pendisiplinan anak, karena perilaku yang mendatangkan imbalan akan cenderung diulangi lagi dan perilaku yang mendatangkan hukuman akan dihindari.
Ada beberapa hal yang menghambat terbentuknya karakter bertanggung jawab dari seorang anak:
Pertama, orang tua yang mengambil alih tanggung jawab anak.
Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya selalu merasa senang dan berhasil. Oleh karena itu, orang tua cenderung menggantikan posisi anak jika ia melihat anaknya mulai tidak senang atau mengalami kesulitan. Contoh paling jelas adalah jika anak kesulitan buat PR maka orang tuanya tidak akan keberatan untuk menyelesaikan bagi anaknya, ataupun jika ada ulangan maka orang tuanya yang panik sampai-sampai tidak bisa tidur. Atau jika kita memberi tugas kepada anak untuk membereskan tempat tidurnya, tapi ia tidak melakukannya juga setelah beberapa kali diingatkan, sering kita akan belajar bahwa selalu ada orang lain yang menggantikan dirinya atau melakukan tugasnya.Kedua, orang tua yang menilai segala sesuatu ditinjau dari hasil yang sempurna.
Anak-anak tetap berbeda dengan kita, demikian pula kualitas kerja mereka. Jadi jangan menuntut hasil usaha mereka harus sama dengan kita. jangan kecewa atau pun memarahi anak jika hasil kerjanya tidak sesuai dengan harapan kita agar tidak timbul rasa bersala dan keengganan untuk mencoba lagi. Biasanya hal ini banyak terjadi pada orang tua yang perfeksionis, yang menuntut segala sesuatu diselesaikan dengan sempurna baik pada dirinya sendiri maupun pada diri orang lain.Ketiga, orang tua yang menilai dari sefi efesiensi dan efektivitas.
Memang jika semua dikerjakan oleh orang tua sendiri, maka semuanya akan beres lebih cepat dan hasilnya lebih baik. Namun jika ingin mulai mendidik anak untuk mandiri dan bertanggung jawab, maka prinsip efisiensi dan efektif tidak bisa diterapkan. Yang lebih dibutuhkan adalah kesabaran dan pengertian. Orang tua perlu memahami dan lebih sabar mengikuti langkah anak sesuai kemampuannya. Maksudnya jika ia berbuat kesalahan atau banyak kekurangan, itu adalah hal yang wajar. Demikian juga bila anak membutuhkan waktu lebih banyak untuk melakukan tanggung jawabnya dibandingkan dengan kita.Keempat, orang tua yang sangat mengasihi anaknya sehingga cenderung over-protective.
Orang tua sudah pasti sangat mengasihi anaknya dan berusaha melindungi mereka terhadap ancaman dari luar. Ini sangat baik dan wajar, namun jangan sampai berlebihan. Bukankah kita hidup dalam dunia yang penuh tekanan dan hal ini tidak dapat dihindari. Selain itu, kita semua adalah orang berdosa yang bisa berbuat salah. Terkadang ada orang tua yang beranggapan bahwa anak mereka selalu benar dan anak orang lain yang salah, dan dunia dilihat sebagai ancaman bagi anak. Hal ini membuat oran tua menempatkan dirinya sebagai pembela anaknya tanpa mempertimbangkan siapa yang benar dan salah. Jika anak lain bertengkar dengan anaknya, maka anak laki itu yang akan dimarahi. Ataupun jika anaknya dihukum guru, maka orang tua akan menghadap guru dan mengusahakan berbagai cara agar anaknya tidak dihukum. Selain itu, anak tidak diizinkan pergi sendiri tanpa pengawasannya. Kalau anaknya mau pergi, selalu harus dengan orang tua, atau pembantu. Anak seperti ini akan terbiasa menyalahkan lingkungan atau mencari kambing hitam sehingga kurang bertanggung jawab.
Saran-saran praktis untuk mengembangkan tanggung jawab anak adalah sebagai berikut:
Pertama, berilah kesempatan kepada anak untuk melakukan sendiri apa yang ingin ia lakukan selama itu tudak membahayakan dirinya, sambil tetap diberikan pengarahan, pemantauan dan pendampingan.
Misalnya seorang yang mau makan sendiri, biarkan ia melakukannya walaupun hasilnya nasih akan berceceran di meja dan memenuhi mukanya. Tugas-tugas rutin lainnya seperti mandi, berpakaian, gosok gigi, mengembalikan mainan di tempatnya, hendaknya dipelajari sejak dini. Pada mulanya kita perlu mendampingi, dalam arti kehadiran kita akan sangat berarti bagi mereka.Kedua, berilah penghargaan berupa pujian dan dorongan atas apa yang sudah diusahakannya.
Jangan terfokus pada kekurangannya, tetapi pada usaha dan apa yang sudah dikerjakannya. Apabila mereka gagal, kita dapat juga menceritakan pengalaman kita dulu waktu seusia dengan mereka. Kata-kata dorongan dan penghargaan dari orang tua sangat bermakna bagi perkembangan kepercayaan diri anak.Ketiga, berilah tugas yang sesuai dengan kemampuan anak.
Jangan menuntut anak melakukan sesuatu melampaui kemampuannya. Sebagai orang tua kita masih memiliki bagian dari tanggung jawab untuk membimbing anak. Misalnya anak punya tanggung jawab untuk belajar agar bisa naik kelas. Ini tidak sepenuhnya tanggung jawab anak. Sebagai orang tua kita memiliki bagian tanggung jawab memantau, mengingatkan, membantu jika anak mengalami kesulitan. Hal ini penting saat kita memarahi anak, di mana kita juga perlu mengoreksi diri kita sehingga tidak melimpahkan kesalahan seluruhnya kepada anak.Keempat, libatkan anak dalam tugas-tugas yang menyangkut kepentingannya maupun keluarga.
Misalnya, jika anak diminta membawa saputangan, mintalah anak mengambilnya di lemari pakaian dan memasukkannya sendiri ke dalam tasnya. Jika pembantu pulang, anak yang sudah bisa membantu membersihkan rumah dapat dilibatkan. Atau anak yang dulunya biasa dibukakan sepatunya diajar untuk melepas sepatunya sendiri dan menaruh di tempatnya.Kelima, berilah ganjaran/imbalan yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Ini termasuk salah satu bentuk disiplin. Misalnya, seorang anak yang sudah diperingatkan untuk tidak menggambar di tembok tapi dia tetap melakukannya, maka anak diminta untuk membersihkan tembok tersebut walaupun mungkin tidak akan bersih sama sekali. Tapi setidaknya dia sudah merasakan akibat dari pelanggaran yang dilakukannya. Demikian juga jika anak ketinggalan agenda di rumah dan kita melihatnya, tidak perlu diantar ke sekolah. Mungkin anak kita akan dihukum karenanya, tapi mereka juga perlu merasakan bahwa jika mereka melakukan kesalahan maka mereka sendiri yang harus menanggung akibatnya. Hal penting lainnya yang perlu dilakukan adalah memberi pengertian kepada anak bahwa hukuman yang diberikan adalah akibat dari kesalahannya sendiri, bukan karena kejahatan dari pihak penghukum. Anak juga perlu memahami bahwa dengan menghukum bukan berarti orangtua tidak mengasihinya lagi.
Sebagai orang tua, sebelum kita menjadikan anak kita orang yang bertanggung jawab, marilah kita jalankah terlebih dahulu tanggung jawab kita sebagai orangtua. Karena hanya orangtua yang bertanggung jawab yang dapat menghasilkan anak yang bertanggung jawab. Dengan demikian kita ikut berperan membangun generasi manusia Indonesia yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarga, orang lain, bangsanya, serta Tuhan penciptanya.
- Log in dulu untuk mengirim komentar
- 12983 kali dibaca
Comments
Anonymous (tidak terverifikasi)
Kam, 26/02/2009 - 11:31pm
Link permanen
mo tanya
TELAGA
Rab, 04/03/2009 - 2:11pm
Link permanen
Saudara terkasih, Biasanya