Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Saya, Gunawan Santoso, dari Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) akan berbincang-bincang dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling. Perbincangan kami kali ini tentang "Pengaruh Teknologi Informasi pada Relasi Pernikahan". Kami percaya acara ini pasti bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
GS : Pak Paul, rupanya ponsel atau telepon genggam ini sudah merambah kemana-mana hampir tiap orang yang kita jumpai itu pegangannya hanya handphone itu tadi. Dengan adanya jaringan internet yang begitu luas dan fitur-fitur di handphone yang begitu canggih, ini menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Bukan lagi sekadar asal punya, dan tidak punya tidak apa-apa namun telah menjadi kebutuhan. Apalagi harganya juga relatif terjangkau dan mudah untuk memerolehnya.Tetapi dengan adanya peralatan ini Pak Paul, apakah dampaknya itu terasa juga pada relasi pernikahan kita, Pak Paul?
PG : Saya kira ada, Pak Gunawan. Itu sebab kita mau membahas hal ini supaya para pasangan nikah bisa mewaspadai pengaruh-pengaruh yang negatif yang dapat memengaruhi relasi pernikahan mereka. Bila pada masa lalu surat kabar adalah salah satu pengganggu relasi pernikahan maka pada masa kini saya yakin smartphone adalah salah satu pengganggu relasi pernikahan. Kemanapun kita pergi, kita sering melihat pemandangan seperti ini. Mungkin Pak Gunawan juga pernah melihatnya dimana suami istri duduk berhadapan di meja makan tetapi kedua pasang mata mereka tidak tertuju pada satu sama lain melainkan pada smartphone yang ada di tangan mereka. Ada yang sibuk membaca dan menanggapi berita, tapi ada pula yang sibuk browsing alias sibuk mencari-cari berita. Nah, maka kita mau membahas pengaruh perilaku ini atau pengaruh perangkat ini pada relasi pernikahan dan keluarga.
GS : Iya. Tetapi kalau kita tanyakan seandainya kepada orang yang kita jumpai itu, apakah ini mengganggu? Seringkali mereka mengatakan ‘tidak’, karena semua orang melakukan hal seperti itu. Tetapi kalau pun ada pengaruhnya terhadap pernikahan, itu sebenarnya apa, Pak Paul?
PG : Yang pertama, tanpa kita menyadarinya penggunaan smartphone yang berlebihan berpotensi merenggangkan relasi. Saya mau garisbawahi kata ‘berlebihan’, sebab tidak mesti smartphone itu akan merenggangkan relasi, tidak. Tapi penggunaan yang berlebihan berpotensi merenggangkan relasi. Mungkin gara-gara kita sibuk dengan media sosial, kita menjadi tidak sering bertengkar.Tapi masalahnya adalah relasi pernikahan semakin hari semakin merenggang. Pada akhirnya kita lebih menyatu dengan teman-teman di media sosial daripada dengan pasangan sendiri. Semakin hari semakin jarang kita berbagi rasa dan pikiran dengan pasangan, sebaliknya kita semakin sering berbagi rasa dan duka atau suka dengan teman-teman di media sosial. Jadi ini satu hal yang mesti kita waspadai dan yang lainnya lagi adalah pemakaian teknologi informasi yang berlebihan seperti smartphone ini membuka pintu masuknya orang ke dalam hidup kita. Dan, ini yang bahaya juga, mengeluarkan pasangan dari kehidupan kita. Akhirnya orang terdekat bukanlah orang yang berada disamping kita tetapi orang yang berada di dalam smartphone kita itu. Tidak heran ada yang jatuh ke dalam dosa perzinahan oleh karena kedekatan yang berlebihan itu. Itu sebab kita perlu mewaspadai bahaya yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan smartphone yang berlebihan yaitu tanpa disadari benda elektronik ini telah merenggangkan relasi pernikahan.
GS : Iya. Tetapi kalau sampai terjadi yaitu merenggangnya relasi pernikahan itu, Pak Paul, apakah bukan sebenarnya sejak sebelumnya memang hubungan mereka ini sudah kurang baik, Pak Paul? Dan hadirnya smartphone ini menjadi semacam alasan buat mereka untuk tidak lagi berkomunikasi dengan baik, Pak. Jadi memang dasarnya sudah tidak sehat begitu.
PG : Bisa sekali. Jadi memang ada kemungkinan yang pertama, adalah penggunaan smartphone yang berlebihan merenggangkan relasi tapi juga benar ada relasi yang memang pada dasarnya sudah renggang. Nah, kemudian masuklah smartphone sehingga sedikit banyak orang-orang ini atau suami-isteri ini melarikan diri atau bersembunyi dibalik smartphone ini. Jadi akhirnya mereka tidak terlalu merasakan adanya masalah karena adanya benda yang mereka gunakan ini. Pada akhirnya karena terlalu sering melihat smartphone dan sebagainya, maka mereka jarang berinteraksi dan mungkin sekali karena itu jadi jarang bertengkar. Jadi tetap menurut saya kita mesti mewaspadai pengaruh-pengaruh ini sebab bisa merenggangkan relasi, atau justru bisa memupuk atau memertahankan kerenggangan itu dengan cara menutupinya.
GS : Karena yang mereka rasakan sekarang adalah mereka jarang bertengkar jadi seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja, padahal sebenarnya ada masalah.
PG : Betul. Ya jadi kita memang harus bisa buka mata untuk melihat bahwa perangkat ini memang benar-benar memunyai pengaruh yang besar sekali. Setiap kali misalkan saya berada di bandara di Taiwan, pada waktu istirahat siang semua staf sedang keluar makan dan saya perhatikan sembilan, delapan, tujuh orang yang duduk sama-sama hampir tidak berbicara karena setelah mereka duduk mereka semua menggunakan smartphone mereka dan mata tangan berfokus ke smartphone, jarang sekali mereka berbicara. Bahkan sambil makan, satu tangan pegang sendok dan tangan yang lain sedang memegang smartphone. Terus seperti itu, hampir tidak berbicara. Jadi saya bayangkan inilah yang akan menjadi tren, bukan saja di antara teman-teman sekerja tapi juga nanti di dalam rumah tangga dan ini saya kira sering kita lihat. Suami isteri makan, duduk di restoran tapi matanya tidak memandang satu sama lain namun mata mengarah ke smartphone lalu tidak ada yang berbicara, sunyi sekali karena memang rasanya tidak perlu berbicara.
GS : Kalau pun mereka duduk semeja, kadang-kadang mereka saling berkomunikasi dengan smartphone supaya pembicaraan mereka tidak didengar orang lain.
PG : Iya. Ada yang begitu juga.
GS : Dan ada kecenderungan yang lain juga yaitu mengambil foto makanan lebih dulu untuk di-upload ke smartphone, untuk memberitahu "saya berada disini dengan makanan ini". Iya memang itu trennya. Tapi apakah ada hal yang lain yang bisa mengurangi atau mengganggu relasi pernikahan kita itu?
PG : Yang kedua adalah penggunaan smartphone yang berlebihan juga akan mengurangi interaksi dengan anak-anak sekaligus menciptakan pola relasi yang dangkal dalam keluarga. Sewaktu pergi bersama akhirnya masing-masing sibuk dengan smartphone sehingga percakapan di antara keluarga menjadi ala kadarnya. Akhirnya semakin hari anak semakin tidak nyaman berbagi pengalaman hidupnya dengan kita orangtuanya dan cenderung menutup diri. Jika ini berkelanjutan jangan terkejut bila pada akhirnya kita tidak tahu apa-apa lagi tentang anak kita dan kita kehilangan kendali atas hidupnya. Ibarat menanam pohon dimana kita perlu menggali dan menyiapkan lahan yang luas untuk menanam pohon yang besar, kita pun perlu menggali dan menyiapkan lahan interaksi yang luas untuk menanam dan menumbuhkan relasi dengan anak yang kuat dan mengakar. Kita tidak dapat memulai relasi dengan anak di saat dia sudah menginjak remaja dan mengharapkan relasi itu berkembang menjadi relasi yang dalam. Tidak bisa. Jadi jangan sampai relasi dengan anak terganggu gara-gara kita dikuasai oleh smartphone. Papa, mama, anak ketika berada di meja makan akhirnya tidak ada yang berbicara satu sama lain karena semuanya hanya memegang smartphone dan pembicaraan di antara anak-anak dengan orangtua menjadi dangkal sekali. Kalau anak-anak sudah besar baru kita tiba-tiba melihat dan mau tahu tentang anak-anak, tentu anak-anak akan berkata bahwa sudah tidak pernah ada percakapan seperti ini jadinya akan risih ketika ayah ibu menanyakan hal pribadi anak. Sebab dia tidak terbiasa. Nah, yang terjadi adalah tanpa kita sadari kita sudah membuat pola interaksi dalam keluarga kita menjadi interaksi yang ala kadarnya. Jadi kita tidak bisa mengharapkan nantinya anak kita mau terbuka kepada kita.
GS : Jadi memang sebenarnya harus ada waktu khusus antara suami, isteri dan anak untuk berkomunikasi dan menjauhkan smartphone dari percakapan mereka, Pak Paul ?
PG : Betul. Jadi misalkan kalau kita mau lebih tegas maka kita berkata, "Waktu makan mohon tidak ada yang membawa smartphone. Tinggalkan semua dalam kamar. Dan marilah kita makan dan berbincang." Jangan sampai terganggu oleh smartphone ini. Sebab terkadang ada orang yang mengatakan tidak akan browsing atau melihat smartphone saat makan tapi tiba-tiba telepon berdering atau suara pemberitahuan dari smartphone, WhatsApp atau SMS. Jadi memang kalau mau disiplin maka jangan bawa smartphone ke meja makan.
GS : Tapi selain dari jam makan, saya merasa juga penting kalau di luar jam makan untuk secara khusus mereka bersekutu dan berbincang-bincang secara kekeluargaan begitu.
PG : Iya. Saya kira itu penting sekali karena sekali lagi keintiman tidak bisa dibangun di atas relasi yang dangkal dan relasi itu hanya bisa mendalam kalau kedua orang atau anggota keluarga saling berbicara dengan satu sama lain.
GS : Iya. Yang ketiga apa, Pak Paul?
PG : Yang ketiga, penggunaan smartphone yang berlebihan berpotensi menutupi masalah dan sama sekali tidak menyelesaikan masalah. Pada akhirnya kita tidak menyelesaikan masalah bukan saja karena terbatasnya waktu, tapi juga karena surutnya minat untuk membahas dan menyelesaikan masalah. Karena desakan untuk menyelesaikan masalah menjadi berkurang sebab kita sudah terhibur oleh apa yang tertayang dan terbaca di layar smartphone. Masalahnya adalah masalah yang tidak terselesaikan hanya terkubur sementara bagai bom waktu dimana suatu hari pasti meledak. Nah, bila itu terjadi kita tahu betapa tidak mudahnya mengurai simpul masalah yang berumur panjang. Kita juga mesti menyadari bahwa pertumbuhan baik relasi maupun jiwa baru terjadi tatkala kita berhadapan dengan masalah dan berupaya menyelesaikannya. Sebaliknya semakin sering kita menghindar dari masalah maka semakin kecil pertumbuhan terjadi. Tidak heran bila kita terikat pada smartphone maka pada akhirnya kita berhenti bertumbuh. Kita menjadi tidak terbiasa menghadapi masalah dan semakin cepat memilih jalan pintas. Seperti alkohol atau obat lainnya, smartphone berfungsi sebagai tempat pelarian dari masalah.
GS : Iya. Tapi seringkali memang keluarga tidak memikirkan pertumbuhannya hanya memikirkan "Pokoknya sudah berjalan seperti biasanya, apa adanya setiap hari", sehingga dia tidak menyadari bahwa kehadiran smartphone ini menghambat pertumbuhan relasi suami-isteri dan anak.
PG : Betul. Sebab desakan itu sudah hampir tidak ada, Pak Gunawan. Karena kita harus akui, begitu banyak yang ditawarkan oleh perangkat ini: dari Instagram, Facebook atau lainnya, bahkan orang juga membagi-bagikan apa yang mereka temukan ada yang lucu atau segala macam. Jadi akhirnya hati kita sudah terhibur, kita dipuaskan sehingga keinginan untuk membahas masalah menjadi surut, "Sudah, tidak perlu karena sudah terhibur." Seakan-akan dengan kita tidak membahasnya maka masalah itu selesai dengan sendirinya. Kita tahu masalah itu tidak selesai dengan sendirinya. Nanti pada akhirnya yang terjadi ialah masalah terus ada apalagi ditambah dengan relasi yang semakin merenggang. Kita tahu pada akhirnya membuka pintu terhadap masuknya orang ke dalam hidup mereka. Makanya tidak heran ada begitu banyak masalah perselingkuhan yang memang terjadi lewat benda-benda ini atau difasilitasi oleh benda-benda ini.
GS : Iya. Mungkin mereka baru bisa menyadari ada masalah setelah masalah itu membesar, Pak Paul. Jadi kalau masih tidak terlalu besar, mereka tidak merasakan dampaknya. Tetapi ketika membesar dan sulit untuk diselesaikan maka baru mereka menyadari namun telah terlambat sekali.
PG : Betul. Karena memang tidak terbiasa dan akhirnya setelah menumpuk biasanya meledak di hari tua ketika anak-anak sudah dewasa dan keluar rumah tidak tinggal dengan kita. Kita juga semakin tua. Sehingga mata kita juga kurang bisa melihat, tidak bisa lagi melihat smartphone dan akhirnya terpaksa mesti melihat satu sama lain. Maka tiba-tiba baru kita sadari bahwa kita hampir tidak memunyai ikatan dengan pasangan kita. Begitu berbeda, begitu mengejutkan, kita tidak pernah tahu dia seperti ini dan itu. Dan masalahnya mengapa kita tidak pernah tahu adalah karena memang tadinya masalah itu tidak pernah dimunculkan dan tidak pernah diselesaikan.
GS : Tapi ini memang masalah perhatian saja, Pak Paul. Jadi walaupun orang itu tidak terikat dengan smartphone, kalau misalnya orang itu terikat dengan pekerjaan saja maka dia juga bisa mengalami hal yang sama, Pak Paul.
PG : Bisa. Jadi ada orang-orang yang terlalu terikat oleh pekerjaannya, tersedot dan jarang sekali di rumah maka pada akhirnya nanti setelah tua dan pensiun ketika dia menghadapi pasangannya dimulailah penyesuaian. Namun masalahnya setelah menikah 30 atau 40 tahun mau menyesuaikan diri akan sangat sulit karena sudah berakar, sudah mengkristal cara-cara hidup dan sudah berpola.
GS : Jadi artinya sejak awal dibutuhkan untuk kita mengerti pasangan kita dan membina terus pengertian ini sampai pernikahan itu bertumbuh, begitu Pak Paul?
PG : Betul sekali saya kira, Pak Gunawan. Saya setuju dengan komentar saya, bahwa kita ini sebetulnya tidak pernah lulus dalam hal relasi. Tidak pernah lulus. Sebab sewaktu kita berpikir sudah kenal sekarang sudah tahu namun besoknya terjadi lagi suatu masalah yang baru dan kita harus memulai lagi, menyesuaikan diri lagi, dan terkadang harus bertengkar lagi. Ini proses yang tidak berkesudahan. Proses ini yang seharusnya terjadi dalam masa pernikahan. Dengan adanya perangkat-perangkat elektronik seperti ini membuat proses itu terhambat.
GS : Jadi untuk menjalani proses itu sendiri butuh waktu dan butuh perhatian.
PG : Betul sekali.
GS : Dengan hadirnya smartphone ini, seringkali perhatian dan waktu kita terpakai untuk itu Pak Paul.
PG : Betul.
GS : Iya. Ada yang lain, Pak Paul?
PG : Yang keempat adalah pemakaian smartphone yang berlebihan pada akhirnya membuat kita kecanduan. Jadi sama seperti obat terlarang, smartphone berpotensi menimbulkan kecanduan. Kita tidak bisa hidup tanpa smartphone meski hanya sebentar. Kita terus tergelitik untuk mengecek smartphone baik untuk menjawab atau mencari berita baru. Bila kita berpisah dari smartphone maka kita resah dan kehilangan konsentrasi. Gejala ini tidak sehat sebab ini berarti kita telah bergantung pada smartphone. Tanpa smartphone kita tidak bisa berfungsi. Sebetulnya Pak Gunawan, ada banyak orang yang sudah mengembangkan kecanduan pada smartphone. Kita hanya tidak mau mengakuinya. Jika kita tidak yakin apakah kita kecanduan, coba pisahkan diri dari smartphone selama sehari saja. Rasakan dan perhatikan gejolak yang terjadi di dalam diri kita. Saya yakin akan ada banyak orang yang merasa tidak nyaman, resah dan sulit berkonsentrasi tanpa smartphone di dekatnya. Inilah gejala kecanduan. Tanpa pengendalian smartphone berpotensi menyita aktifitas dan waktu kita, bahkan sampai jauh malam. Bahkan ada yang terus melihat-lihat dan mengetik smartphone sampai subuh. Jadi benar-benar ini adalah sebenarnya kecanduan sama halnya dengan kecanduan narkoba atau hal-hal yang lainnya.
GS : Sebab memang efeknya itu tidak terasa separah kalau kita kecanduan obat-obatan terlarang atau minuman keras yang sampai seseorang itu tidak sadarkan diri atau terus melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Orang yang kecanduan smartphone kelihatannya biasa-biasa saja dan dia tidak merasa bahwa sebenarnya sudah kecanduan.
PG : Betul. Dan salah satu gejalanya adalah sewaktu kita kecanduan kita itu benar-benar hidup untuk mendapatkan benda itu, kalau narkoba ya narkoba dan kalau smartphone maka smartphone. Jadi kita ini selalu hanya memikirkan benda ini. Maunya terus melihat dan tidak bisa tidak, dia tidak bisa menaruh smartphone itu. Karena itu kita terkadang bingung ada orang yang bisa berjam-jam jarinya hanya naik-turun dan sekali-kali mengetik berjam-jam pada layar smartphone. Nah, ini adalah benar-benar sebuah kecanduan, sehingga akhirnya hal-hal lain yang sebetulnya lebih penting itu diabaikan. Ini adalah benar-benar gejala kecanduan sama seperti narkoba. Orang yang menggunakan narkoba hanya mementingkan narkoba dan hal lain yang sebetulnya penting diabaikan dan tidak diperhatikan.
GS : Jadi sebenarnya yang terpengaruh itu apakah otaknya atau perasaannya atau kebiasaannya ?
PG : Semuanya, Pak Gunawan. Jadi sama seperti narkoba akhirnya memang mereka itu terkondisi baik secara otak, emosinya dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya semuanya akhirnya dikuasai oleh satu benda ini.
GS : Iya. Dan itu bisa diatasi atau tidak, Pak Paul?
PG : Memang cara mengatasinya ialah harus mendisiplin diri. Tidak lagi menggunakan smartphone seperti itu. Jadi kita hanya menggunakannya khusus untuk misalnya berkomunikasi. Kita tidak mau lagi browsing atau melihat-lihat internet, tidak mau lagi.
GS : Iya. Kalau kecanduan narkoba misalnya terdapat pusat rehabilitasi khusus supaya mereka ditolong bebas dari narkoba, tapi kalau smartphone harus dibantu orang juga.
PG : Iya. Di Amerika sekarang memang kecanduan barang-barang elektronik ini sudah memang dengan resmi oleh para ahli jiwa dikatakan sebagai kecanduan.
GS : Dan itu mesti ditolong ya, Pak Paul?
PG : Iya. Karena dampaknya itu melalaikan tanggungjawabnya pada hal-hal yang penting. Dan akhirnya hanya mengutamakan penggunaan ini saja.
GS: Mungkin masih ada lagi akibatnya?
PG : Penggunaan smartphone yang berlebihan berpotensi membuka pintu relasi yang intim dengan orang dan sekaligus merahasiakannya. Tidak ada alat komunikasi lain yang lebih mempermudah arus berita daripada smartphone. Masalahnya adalah bukan hanya mempermudah tapi juga menambah kerahasiaan. Bayangkan dengan dalih melihat-lihat berita kita dapat menjalin relasi yang akrab dengan orang dan satu lagi kita pun dapat menjalinnya secara rahasia, sehingga pasangan tidak mudah mendeteksinya. Kalau kita punya password maka pasangan kita tidak bisa membuka itu. Banyak relasi di luar nikah dijalin lewat media komunikasi ini. Singkat kata meski benda adalah sesuatu yang bersifat netral, namun di tangan orang yang salah benda dapat menjadi alat untuk berdosa. Bukan saja alat untuk berdosa tapi alat komunikasi ini bisa menjadi alat untuk memperbanyak dan memperparah dosa. Kita mesti mewaspadai gejala yang buruk ini dan mencegah agar tidak terjerumus ke dalam dosa perzinahan lewat media komunikasi ini. Dan cara untuk mencegahnya adalah dengan membatasi pemakaiannya. Kita gunakan perangkat elektronik ini untuk keperluannya yang utama yaitu berkomunikasi dan mengetahui berita. Selain itu kita pun mengurangi frekuensi arus bolak-balik supaya komunikasi tidak mudah berkembang dan menjadi intens.
GS : Iya. Memang awalnya kita hanya menggunakan untuk komunikasi dan mencari berita. Tapi yang namanya berita memang bermacam-macam sifatnya, ada yang menghibur, menambah pengetahuan. Inilah yang merangsang kita untuk terus menerus lebih banyak menerima berita, bahkan seringkali ditawari berita-berita baru. Sehingga tanpa kita sadari akhirnya kita kecanduan seperti tadi.
PG : Dan berita ini sekarang ini yang kita tahu bukan hanya berita politik atau situasi saja, namun salah satu berita yang disukai ialah berita kehidupan orang lain yaitu para selebritis. Akhirnya semua itu tersedot dan hal-hal yang seharusnya penting, seharusnya dibahas menjadi diabaikan.
GS : Iya. Jadi kalau seseorang itu menyadari akan dampak negatif smartphone ini akan menolong orang agar tidak menggunakannya sampai kecanduan. Tapi pengaruh di sekitarnya sangat kuat juga, Pak Paul, misalnya pasangannya atau teman-teman kerja. Misalnya dia ingin mengajak temannya berbicara, temannya sedang sibuk dengan smartphone akhirnya dia sendiri juga lari ke smartphone.
PG : Betul.
GS : Nah, sehubungan dengan ini, Pak Paul. Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa memberikan pedoman bagi kita supaya kita bijak menggunakan alat ini, Pak Paul?
PG : Firman Tuhan di Amsal 13:3 mengingatkan, "Siapa menjaga mulutnya, memelihara nyawanya, siapa yang lebar bibir, akan ditimpa kebinasaan." Meski media komunikasi modern tidak menggunakan mulut melainkan jari tapi tujuannya sama yaitu berkomunikasi. Tuhan menghendaki kita untuk menjaga apa yang kita komunikasikan kepada orang. Tuhan tidak ingin kita menjadi orang yang lebar bibir alias tidak dapat menjaga apa yang keluar dari hati dan pikiran. Barangsiapa menjaga maka ia memeroleh hidup. Barangsiapa tidak menjaga ia akan menuai kebinasaan alias ditimpa musibah. Untuk dapat menjaga mulut kita langkah pertama adalah bersikap jujur dengan diri sendiri. Jangan mendustai diri bahwa ini adalah pertemanan. Jangan! Inilah awal dari perjalanan menuju dosa. Jadi kita mesti mengakuinya kemudian berhentilah.
GS : Iya. Tapi memang dosa yang ditimbulkan smartphone ini bukan hanya dosa perzinahan tetapi juga dosa untuk menyakiti hati orang lain dan sebagainya begitu. Jadi semua itu yang harus kita hindari.
PG : Sebab kalau kita lihat, Pak Gunawan, tidak ada alat yang menyita perhatian orang sebesar ini. Jika dulu ada televisi atau apa tapi tidak pernah ada yang sampai seperti ini. Kemanapun dibawa benda itu dan benda itu yang selalu dilihat.Tidak ada dalam sejarah manusia benda yang lebih berkuasa dari benda smartphone ini.
GS : Iya. Kita masih belum tahu Pak Paul, di masa depan mungkin ada juga alat-alat yang lebih menyita perhatian kita dan lebih bisa hebat lagi daya tariknya.
PG : Bisa.
Y : Terima kasih sekali untuk perbincangan kali ini, Pak Paul. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Pdt. Dr. Paul Gunadi dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Pengaruh Teknologi Informasi pada Relasi Pernikahan". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.