Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Mendampingi Anak Di Tengah Pandemi". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Tema yang sangat menarik dan kontekstual, ya Pak, di tengah masa pandemi ini. Apa Pak yang bisa kita pelajari ?
SK : Di tengah suasana pandemi ini memang bukan hanya situasi saat ini, bahasan untuk saat ini saja, Bu Yosie, tapi memang mendampingi anak di tengah pandemi bisa juga gagasan-gagasan yang akan kita perbincangkan ini juga tepat dan kontekstual untuk situasi-situasi lain sekalipun mungkin pandemi ini ke depan pasti akan berlalu, tapi mungkin juga kita akan menghadapi krisis yang mirip seperti ini dimana akan semakin banyak waktu dimana kita perlu mendampingi anak di rumah. Lewat bahasan ini kita mau mensiasati, memahami bagaimana mendampingi anak di rumah ketika berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu kita perlu ada di rumah bersama anak dan bagaimana hak-hak anak tidak kita abaikan.
Y : Benar…benar. Menarik, Pak karena secara kebiasaan kalau tidak pandemi, anak biasanya banyak di luar rumah, sekolah dari jam 7 pagi sampai jam 1 siang, lalu les sampai sore, tiba-tiba anak harus 24 jam di rumah, kadang-kadang kita juga tidak siap sebagai orangtua.
SK : Dalam hal ini, Bu Yosie, perlu diingatkan sejak awal, bahwa sebenarnya minimal ada 4 hak pokok anak. Empat hak pokok anak menurut standard PBB ya atau Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu yang pertama: Hak Anak atas Perawatan dan Pengasuhan, yang kedua : Hak Anak atas Kesehatan, yang ketiga : Hak Anak atas Pendidikan dan Rekreasi. Yang keempat : Hak Anak atas Perlindungan dari Kekerasan Eksploitasi dan Diskriminasi. Maka didalam tantangan ketika mendampingi anak di rumah berhari-hari, berminggu-minggu bahkan sepanjang hari seperti yang tadi Bu Yosie telah sebutkan, satu kali 24 jam maka lebih mudah orangtua fokus pada dirinya, anak sekadar didampingi hanya untuk urusan sekolah di rumah tapi kita lupa hak anak untuk bermain, hak anak untuk berekreasi yang tadi saya sebutkan itu cenderung untuk kita abaikan.
Y : Setuju Pak, jujur saya juga punya tiga anak, kecil-kecil di rumah, saya juga kewalahan bagaimana membuat mereka tetap ‘enjoy’, ‘excited’ karena saya juga kewalahan dengan harus memasak, membelajari mereka, mengumpulkan tugas mereka, ingatkan. Kadang kita fokus pada hak-hak perawatan, pengasuhan, kesehatan, kita sudah bingung memberi vitamin, membuat jamu, masak yang bagus, sudah kelelahan, giliran "Ayo mama main", saya jawab, "Aduh capek mama tidak tidur". Bagaimana untuk menyeimbangkan, Pak ?
SK : Betul, betul, jadi memang dalam hal ini saya cukup respek dengan perjuangan Bu Yosie sebagai ibu dengan tiga anak yang masih dalam masa tumbuh kembang dan itu berarti juga masa keemasan. Kita perlu optimal tapi memang kita menyadari ada keterbatasan. Dalam hal ini satu sisi kita dapat menerapkan prinsip dunia penerbangan.
Y : Seperti apa, ya Pak ?
SK : Kalau kita pernah menggunakan jasa penerbangan, jasa pesawat terbang, kita tahu sebelum terbang biasanya ada salah satu, pramugari atau pramugara mengajarkan tentang hal-hal yang penting diperhatikan untuk keselamatan didalam pesawat terbang, salah satunya ketika pesawat terbang itu mengeluarkan secara otomatis, masker oksigen, maka disarankan orangtua menggunakan lebih dulu masker oksigen sebelum mengenakan kepada anaknya. Jadi pastikan dulu orang yang dewasa untuk selamat, sudah menggunakan pengaman keselamatan itu berupa masker oksigen, setelah memastikan ia bisa bernapas dengan baik, barulah ia bisa menolong sang anak. Bahkan dalam konteks pendampingan di rumah, kita perlu pastikan, kita sebagai ayah dan ibu untuk tercukupi kebutuhan emosi kita. Untuk kita bisa mencukupi kebutuhan emosi anak-anak kita. Kita orangtua perlu "me-time".
Y : Setuju Pak, setuju.
SK : Suami istri perlu punya waktu untuk "recharge", mengisi tangki emosinya dengan hobi yang sehat, dengan komunikasi yang sehat, dengan kehidupan saat teduh yang dipertahankan. Saat teduh merenungkan firman, memuji Tuhan, baik secara pribadi maupun lewat ibadah keluarga. Dengan cara itu dia perlu energi emosi maupun energi spiritual, termasuk energi fisik lewat makan dan olah raga yang teratur, cukup istirahat, untuk dia bisa mendampingi anak secara fisik, secara emosi maupun secara spiritual.
Y : Ya… menarik, Pak.
SK : Jadi tidak apa-apa, ayah ibu, suami dan istri berbagi tugas. Jam ini, dua jam ini kamu yang mendampingi, suamiku, nanti setelah itu aku yang mendampingi. Tidak apa-apa, kita berbagi waktu dan peran, aku sedang kewalahan, aku sedang tidak sabar, aku butuh satu jam untuk keluar dari situasi bermain dengan anak-anak, mendampingi anak-anak, aku lelah jiwa, aku keluar dulu dari situasi ini, aku menyepi di pojok, di halaman, di kamar, setelah satu dua jam "recharge" mengisi energi emosi, spiritual diri baru aku terjun lagi dalam kancah dengan anak-anak. Bisa kita terapkan hikmat, strategi seperti ini. Itu baik dan cerdas.
Y : Ya, menarik Pak. Terima kasih, Pak. Lanjut ke mendampingi anak, setelah orangtua betul saya setuju "recharge", cerdas emosi dengan dirinya sendiri, apa yang bisa kita lakukan untuk mendampingi anak di rumah sehingga kebutuhan tadi, anak tidak hanya sehat badani, tapi jiwani boleh tercukupi ?
SK : Dalam hal ini kembali dunia anak itu dunia bermain. "Main bikin hidup, tidak main tidak hidup". Mungkin kira-kira begitu mottonya anak-anak di dalam masa 0 sampai 12 tahun, bahkan masa SMP atau SMA mereka pun butuh bermain sekalipun bentuk permainannya bisa berbeda-beda. Termasuk kita juga istilahnya "homoloGene" (mahkluk bermain), kita pun butuh bermain sekalipun bentuknya bisa berbeda sesuai tahapan usia. Dalam hal ini yang bisa dikreasi bagi anak, yang pertama, kita bisa hidupkan kembali "dolanan anak-anak" atau permainan tradisional anak-anak yang bisa kita lakukan di rumah. Misalnya "petak umpet", dakon, memakai papan yang ada lubangnya, engklek (kalau saya cek, ini rupanya permainan tradisional yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan bahkan diduga ini dari Belanda, dibawa oleh kolonial Belanda karena ini juga ada di Eropa). Ini permainan yang sehat, olah raga, sportivitas, kejujuran, kerjasama terjadi. Jadi mari kita bisa hidupkan permainan anak-anak tradisional yang mungkin waktu kita kecil pernah kita alami, tetapi karena kemajuan zaman kita anggap "jadoel" atau zaman kuno, ada permainan digital, kita abaikan. Tapi justru kesempatan kita mendampingi anak di masa pandemi dimana satu kali 24 jam, 7 hari dalam seminggu ada di rumah, mari kita jadikan itu sebagai salah satu pilihan, permainan tradisional anak-anak, yang kita lakukan, orangtua bersama anak atau bersama orang-orang yang ada, yang tinggal serumah dengan kita.
Y : Menarik pak, pasti anak-anak senang. Apalagi yang bisa kita gali?
SK : Yang kedua, permainan papan atau board game. Permainan catur, ular tangga, halma, monopoli dan kita juga bisa membuat papan simulasi kalau misalnya kita pernah hidup di era Orde Baru, tahun 80an, itu terkenal di masa pemerintahan Orde Baru adalah P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dimana salah satu pembelanjaran P4 menggunakan papan simulasi P4. Itu gagasan di luar yang diadaptasi oleh P4, itu cara yang baik dimana lewat permainan papan yang dirancang itu di antaranya muncul kartu-kartu pertanyaan, ada juga kartu-kartu bonus mirip seperti permainan papan monopoli, cuma kartu-kartu pertanyaan itu berisi pertanyaan-pertanyaan tentang sila-sila Pancasila. Bagaimana anda menerapkan sila kelima dalam kehidupan bertetangga? Jawablah, kalau jawabannya benar dapat bonus ini, kalau jawaban keliru mendapat sanksi ini. Kita bisa membuatnya sendiri dengan pertanyaan-pertanyaan tentang moralitas, tentang etika, bagaimana ketika kamu menghadapi situasi, ketika guru membuat ulangan mendadak sementara kamu belum belajar ? Apa yang kamu lakukan, yang pertama kiranya kamu akan menyontek, yang kedua kamu akan menjawab apa adanya dan dapat nilai nol. Kamu memilih yang mana dan apa alasannya ? Nah dari sana akan terjadi diskusi antara orangtua anak lewat permainan papan simulasi seperti itu. Itu bisa kita kreasi.
Y : Menarik, ya Pak juga untuk memancing konsep-konsep anak tentang kehidupan. Kesempatan kita juga untuk memasukkan atau mengajar anak tentang nilai-nilai.
SK : Betul, yang ketiga kita juga bisa olah raga bersama di halaman rumah, kalau kita memunyai halaman rumah sempit, atau di jalanan kalau itu sepi di sekitar rumah kita tanpa berkerumun dengan orang lain, karena ini untuk masa menjaga jarak untuk kesehatan, perlindungan dari infeksi virus, kita bisa bermain bulutangkis secara sederhana, bermain lempar bola pingpong supaya tidak memecahkan kaca, daripada bola kasti yang berat dan bisa memecahkan kaca, atau kita bisa bermain kelereng. Anak suka, atau kita berkebun di halaman, anak kecil suka menggali tanah, kalau kita memang punya lahan tanah sebagai pekarangan kita, kita bisa gunakan bermain dengan anak. Tidak kotor tidak belajar, justru dengan berani kotor, anak akan belajar, belajar tentang keberanian, belajar tentang eksplorasi, belajar berpetualang kecil-kecilan, habis itu bisa cuci tangan, bisa mandi, bersih. Kalau anak terlalu steril dari tanah, dari lumpur, malah anak akan lebih mudah sakit dan dia tidak punya jiwa petualang dalam dirinya, terlalu "over-protective", terlalu kita lindungi, itu kurang sehat untuk jiwa anak kita.
Y : Menarik ya, pak.
SK : Kemudian juga bercocok tanam, kembali berkebun bisa secara vertikal, kalau kita tidak punya halaman, kita punya tembok. Kita bisa membuat digantung lewat pot yang digantung atau memanfaatkan botol-botol bekas, kita lubangi, kita berikan tanah, pupuk atau kita memakai briket, itu bisa kita cari tahu informasi bagaimana berkebun vertikal. Lewat dunia maya, dunia internet kita bisa dapat informasi. Anak senang karena melihat "Oh bertumbuh, oh ada buahnya".
Y : Biasanya menanam kacang hijau saja kalau bertumbuh senang, pak. Cambah, itu.
SK : Cambah bisa kita manfaatkan untuk pangan di rumah. Lombok bertumbuh, tomat dan kita buat tanaman-tanaman yang usia panennya pendek, sekian hari atau sekian minggu. Dan itu memberi sukacita dan disana juga pembelajaran iman terjadi. Kamu lihat ‘kan bagaimana Tuhan memelihara? Menumbuhkan ? Ayo kita doakan tanaman ini, konon memang beberapa orang mempraktekkan kalau tanaman mau baik, diajak bercakap-cakap. Saya pikir, ini bukan mitos tapi ada kebenarannya, maksudnya dari sisi bahwa tanaman itu juga perlu suasana tertentu. Ini bisa kita kaji lagi secara ilmiah, tapi secara proses saya memercayai ini juga bagian dari kerjasama antara ciptaannya Tuhan. Dan itu baik, anak juga bisa bertumbuh penghargaannya atas lingkungan. Ada istilahnya masa beberapa tahun terakhir, "go green", anak mencintai lingkungan, mencintai penghijauan dan itu bisa kita lakukan di tengah situasi pandemi lewat berkebun vertikal.
Y : Ya, menarik sekali, ya Pak, karena ternyata kalau kita mau berpikir, kalau mau kreatif sebetulnya banyak hal yang bisa dilakukan, cuma kita kadang tertutup oleh emosi-emosi negatif kita, ke"bete"an kita, kebosanan kita, ya pak.
SK : Benar, memang dalam mengatasi emosi negatif ini tidak selalu ketika mendampingi anak kita akan kelelahan jiwa, tapi juga bisa mendapat kesegaran jiwa misalnya ketika bercocok tanam bersama, berolah raga bersama.
Y : Kita pun senang mendapat hormon yang baik ketika berolah raga, atau pun bercocok tanam.
SK : Hormon endorfin, hormon yang menciptakan rasa ketenangan, rasa kesejukan jiwa. Kita mengenal sebuah motto, "Men sana in corpore sano", di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat. Mari kita lakukan bersama anak-anak, baik lewat olah raga fisik atau pun kegiatan bercocok tanam atau kita membuat sesuatu, membuat makanan.
Y : Oh iya ya ya, menciptakan sesuatu ya.
v
SK : Misalnya kita pun tidak bisa tahu cara membuat kue, misalnya kita tidak pernah, kita bisa mencari resep, kembali kita bisa manfaatkan dunia maya, dunia digital, lewat HP kita, atau lewat dunia internet, kita mencari informasi kita berkreasi bersama dari membuat bolu, bolu kukus, kue nastar, kue kering atau mungkin sesuatu yang tidak selalu harus berat, misalnya pancake, pudding.
Y : Pudding, anak saya senang, Pak, disuruh mengaduk susunya, senang mencetak. Merasa waktu berhasil itu senang, "Bagus ya, Ma!"
SK : Suasana emosi positif itu dimunculkan karena kita berkreasi, membuat sesuatu. Memang Tuhan menciptakan kita makhluk yang berkreasi, sebagaimana Allah Pencipta maka kita sebagai gambar Allah membawa juga sifat ingin menciptakan sesuatu dan kita puas ketika bisa menciptakan, berkreasi, menghasilkan sesuatu. Mari wadahi bersama anak kita. Atau kita bisa sama-sama bersihkan kamar mandi, ayo kamu yang membersihkan ini, papa yang begini, mama yang begitu. Ayo cuci baju bersama-sama.
Y : Kerja bakti keluarga.
SK : Ya, seperti itu.
Y : Anak-anak juga senang, anak saya yang laki begitu, "Ayo Ma, saya bantu". Kami baru membeli vacuum cleaner baru, jadi dia semangat. "Aku ya yang menyedot !"
SK : Disanalah justru kesempatan, "Sambil menyelam minum air", dan tentunya tidak perlu sampai tenggelam ! Sambil kita bersih-bersih dan masak-masak bersama-sama, sambil menciptakan keakraban dan kesehatan. Jangan lupa bahwa orangtua itu tuhannya anak-anak, artinya kalau orangtua akrab dengan anak, ayah ibu hadir dalam jiwa anak maka ia juga akan dengan mudah melihat figur Allah Bapa. Dia dekat dengan ayah ibunya, maka dengan mudah ia juga akan mengakui dan mengamini Allah Bapa yang memelihara hidupnya. Orangtua wakil Allah, kalau orangtua gagal artinya kita menjauh dari anak, tidak peduli, berarti anak akan lebih mudah mempersepsi Allahku juga Allah yang hanya bisa memerintah, memberi instruksi, tapi Allah yang tidak peduli dengan kebutuhan emosiku. Hati-hati ! Jadi justru kalau kita hadir, ayah dan ibu. Ayahnya juga hadir, jangan hanya "Tugasnya ibu mendampingi anak-anak, tugasnya ayah bekerja mencari uang !", maaf itu pikiran yang keliru. Pikiran rancangan Allah bukan hanya ibu yang mengasuh anak, tapi ayah juga. Karena ibu membawa sifat feminin, ayah membawa sifat maskulin. Kalau hanya ibu yang berperan, tidak heran akhirnya anak laki-laki kita sangat feminin, kewanita-wanitaan, atau seorang anak gadis akan tumbuh haus cinta laki-laki, ingin pacaran dini karena sang ayah tidak hadir mengisi tangki emosinya. Jadi mari ayah-ayah juga mau "turun gunung", justru kesempatan, harus bekerja di rumah inilah ayahnya juga mari bermain. Canggung, tidak apa-apa, lewati masa adaptasi tapi mari kita hadirkan diri kita. Kita bisa berdoa meminta pertolongan Tuhan, kita bisa sharing sesama lelaki, mungkin lewat media sosial kita supaya ayahnya juga berperan.
Y : Menarik sekali ya, Pak. Mari jadikan momen ini menjadi momen juga kita tidak hanya dekat secara emosi dengan anak-anak, tapi sungguh-sungguh memuridkan anak-anak kita, seperti yang Tuhan mau.
SK : Jadi benar kata Bu Yosie, memuridkan itu kata kunci, Tuhan memerintahkan dalam Ulangan 6 (shema, dengarlah), bahwa tugas orangtualah membawa anak-anak mengenal, mengalami dan mencintai Tuhan. Gereja secara institusi, pendeta atau pun guru Sekolah Minggu atau pembina remaja itu hanyalah mitra sukses, tapi tugas utama adalah orangtua. Jadi kalau sampai anak-anak di masa remaja, masa dewasa menolak Tuhan, bersikap agnostik, atheistik terhadap Tuhan, maaf, 60%-70% itu sumbangsih orangtua, bukan kesalahan gereja, Sekolah Minggu atau Sekolah Kristen. Maaf kalau saya katakan, 60%-70% itu kegagalan orangtua karena kembali orangtua membawa figur Allah pada anak-anaknya. Orangtua yang hadir dan mau memuridkan anak-anak akan menghasilkan anak-anak yang akan mengasihi Tuhan dan mengalami Tuhan di masa remaja dan di masa dewasanya. Maka dalam hal ini mari juga kita bisa buka album foto kita. Ayah ibu buka album fotonya mulai dari bayi hingga masa dewasa, lewat kisah-kisah dari foto itu kita membangun keakraban, termasuk kisah perjalanan iman. "Ini papa waktu usia ini, papa suka menyontek. Ibu waktu masa usia itu sedang bandel-bandelnya, ibu akhirnya mendapatkan hukuman. Ayah mendapatkan pengalaman ini, kemudian ayah mengalami berjumpa dengan Tuhan secara pribadi lewat peristiwa ini. Dan ayah menyadari pentingnya Tuhan". Kita bisa cerita.
Y : Pengalaman rohani kita secara nyata, ya Pak.
SK : Pengalaman kita di sekolah, pengalaman sebagai anak, pengalaman kenakalan kita, kegagalan kita, tidak apa-apa ceritakan, bukan untuk membenarkan diri tapi untuk menolong menjadi pelajaran iman bagi anak-anak kita.
Y : Betul, dengan melihat contoh atau teladan yang hidup, saya percaya anak-anak itu mengalami Tuhan yang nyata.
SK : Kisah-kisah bukan hanya kisah Perjanjian Lama atau Perjanjian Baru tapi juga kisah-kisah kita menjadi media pembelajaran iman, media pembelajaran karakter, media pembelajaran nilai-nilai penting kehidupan. Dalam hal ini kita juga bisa mengisahkan pohon keluarga kita masing-masing sebagai ayah dan ibu. Ayahmu punya kakek dan nenek, hidupnya seperti ini, ayahmu punya kakak dan adik, hidupnya seperti ini. Disini kita bukan berniat menggosip dan menghakimi tapi semangat kita semangat membangun, artinya kita bicara "Ini terjadi karena begini, ini terjadi karena begitu dan berakibat begini, ini tujuannya supaya kamu waspada", karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Bagaimana supaya tidak mengulangi kesalahan kakekmu, kesalahan nenekmu, kesalahan paman bibimu, atau kesalahan ayahmu sendiri. Ini pentingnya kamu mengenal Tuhan, mengalami Tuhan.
Y : Berjalan dalam jalan Tuhan.
SK : Pentingnya kamu mau belajar. Disinilah ayah cerita, ibu cerita, supaya kamu tidak perlu mengulangi. Sekarang kalau anak kita misalnya sudah usia 9 atau 10 tahun, "Silakan kamu boleh mengoreksi, apa yang menurut kamu kurang pas dalam diri ayah, ibu ini. Apa yang kurang pas dalam diri papa mamamu ini". Justru ini kesempatan kita juga mau menerima umpan balik. "Iya ini ayah sibuk saja di luar rumah, tidak mau mendampingi, baru sekarang ini mau mendampingi. Kami juga ingin bukan hanya sekarang ini saja, tapi seterusnya". Kita mendengar, kita juga bisa menerima umpan balik, mendapatkan motivasi dari kejujuran dan keterusterangan anak kita. Kita bisa mengatakan, "O ya, minta maaf ya anakku, ayah mengakui salah dan ayah mau untuk kali berikut tidak seperti dulu, tolong ingatkan untuk masa-masa selanjutnya supaya bisa tetap setia mendampingi kamu sekalipun masa pandemi berakhir tapi bukan alasan untuk ayah meninggalkan, sibuk lagi, mengabaikan waktu untuk kamu".
Y : Wow, saya melihat luar biasa ya Pak, tidak hanya terjadi kreasi, kebersamaan, keakraban, tapi terjadi pemulihan, Pak, kalau kita lakukan ini dalam keluarga. Indah sekali !
SK : Betul, betul.
Y : Saya sekarang mengerti mengapa Tuhan ijinkan, pandemi ini meskipun sulit, meskipun banyak tantangan, tapi pasti ada sesuatu yang Tuhan ijinkan untuk kebaikan kita.
SK : Amin, amin, Bu Yosie, betul ini saya sepakat, pemulihan ya. Jadi disini yang Tuhan ijinkan ada kembali sebuah istilah "Blessing in disguise", berkat yang terselubung yang bisa kita rayakan lewat keluarga yang dipulihkan, keluarga yang akrab kembali.
Y : Apakah ada ayat firman Tuhan yang bisa menjadi pendukung bagi perbincangan kita, Pak ?
SK : Saya bacakan dari kitab Maleakhi 4:6, "Maka Ia akan membuat hati bapa-bapa berbalik kepada anak-anaknya dan hati anak-anak kepada bapa-bapanya, supaya jangan Aku datang memukul bumi sehingga musnah". Jadi dalam bagian kitab Maleakhi ayat yang terakhir ini bisa mengkaitkan bahasan kita, Bu Yosie, tentang rancangan pemulihan Allah lewat kedatangan Yohanes Pembaptis, kedatangan Kristus itu juga Allah maksudkan sampai kepada sektor keluarga dimana hubungan orangtua dan anak, diwakili bapa dan anak, itu dipulihkan. Karena itu ketika keluarga dipulihkan maka kehadiran penyelamatan Tuhan akan semakin genap dialami. Karena Allahlah yang punya ide tentang gagasan keluarga, itu gagasannya Tuhan, gagasan penciptaan manusia. Dalam hal ini mari kita pakai kesempatan mendampingi anak di tengah pandemi sebagai kesempatan untuk menumbuhkan keluarga kita, memulihkan keluarga kita. Memang tidak mudah bagi kita yang punya rekam jejak jauh dengan anak, apalagi kita dibesarkan di masa kecil kita, jauh dari orangtua kita. Maka berarti kita butuh dipulihkan lebih dahulu, maka pakailah kesempatan pandemi ini untuk cari konselor. Ada beberapa layanan konseling secara daring, secara online yang ditawarkan berbagai kelompok pelayanan, terimalah, carilah untuk pemulihan kita. Aku sadar aku butuh dekat dengan anak, tapi aku sadar aku tidak mampu, apa yang bisa aku lakukan? Konselor yang dipakai Tuhan akan menolong kita untuk memulihkan diri dari luka masa lalu kita lewat sebuah perjalanan proses tentunya untuk kita semakin sembuh dari luka kita dan kita lebih berdaya, lebih mampu memulai era baru kita dekat dengan anak-anak kita, keluar dari lingkaran masa lalu kita yang jauh dari orangtua kita. Dari sinilah maka pakailah krisis masa pandemi menjadi berkat lewat kesediaan kita sebagai orangtua dipulihkan, bertumbuh dan kita mendampingi anak-anak kita maka anak-anak kita akan menjadi anak-anak yang diberkati dan berbahagia.
Y : Amin, terima kasih banyak Pak Sindu untuk perbincangannya yang sangat memberkati. Para pendengar sekalian, terima kasih. Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Penginjil Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Mendampingi Anak Di Masa Pandemi". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK), Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhirnya dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.