Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Dan perbincangan kami kali ini tentang "Komersialisasi Anak". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Wah, Pak Sindu, ini tema yang sangat menarik "Komersialisasi Anak", apa sebetulnya komersialisasi anak dan apa kaitannya dengan kita sebagai orangtua tentunya ?
SK : Bahasan ini diangkat dari melihat situasi kekinian Bu Yosie dimana kecenderungan di masa sekarang dan ke depan akan semakin banyak keluarga-keluarga kecil. Kalau dulu KB yaitu keluarga besar. Tapi dengan proses penekanan dari pemerintah di era yang lalu akhirnya orang terbiasa punya anak dua, tiga atau bahkan ada yang satu. Karena menyadari bahwa membesarkan anak itu tidak cukup hanya dengan jumlah tapi kualitasnya bagaimana. Jadi orang sudah lama meninggalkan konsep banyak anak banyak rejeki. Maka lahirlah keyakinan, banyak anak malah semakin buntu.
Y : Banyak anak banyak biaya, Pak.
SK : Iya, biaya besar. Akhirnya lahirlah sebuah kecenderungan satu, dua, tiga anak tapi di-‘push’. Orangtua benar-benar memberi perhatian.
Y : Digali potensinya begitu ya, Pak?
SK : Iya. Memberi perhatian penuh, mengeluarkan uang sebanyak mungkin supaya di masa kecil sudah menjadi ‘star’ atau bintang dilandasi dengan pandangan nantinya supaya masa dewasa menjadi orang yang sukses dan bahagia. Sukses dan bahagia itu tidak jatuh dari langit harus diupayakan. Bahkan sejak anak masih bayi pun. Maka lahirlah studio-studio yang laris manis dari sisi akademis, belajar ketrampilan matematika, membaca, berhitung. Lalu studio-studio yang bersifat seni dan pertunjukan seperti menyanyi, vocal, bermain musik, menari, balet dan berbagai hal. Dan akhirnya lahirlah lomba-lomba termasuk di berbagai stasiun televisi seperti lomba-lomba menyanyi, menari, ‘performance’ yang akhirnya ada hadiahnya. Banyak juga muncul selebritis-selebritis atau artis-artis cilik yang notabene akhirnya menghasilkan uang maka ini adalah ketersambungan komersialisasi anak. Yang lain mungkin tidak komersialisasi menghasilkan uang, tapi anak dalam kondisi mirip seperti itu yaitu kompetitif; di-‘push’, didorong, dikondisikan supaya masih kecil sudah menjadi bintang. Kalau pun tidak menjadi bintang di panggung-panggung dan selebritis atau dunia artis tapi katakan selebritis dalam dunia olahraga, dalam dunia kemampuan akademik dan lainnya untuk menjamin masa depannya.
Y : Sebetulnya Pak, kalau sampai pada pengoptimalan bakat anak dan bagaimana memersiapkan masa depan anak sebetulnya tidak ada salahnya, Pak. Tapi kalau masuk komersialisasi ini yang mungkin perlu kita gali lebih lanjut. Nah, pengertian komersialisasi bagaimana, Pak? Apakah benar-benar anak diperah seperti sapi perahan, dapat uang atau seperti apa, Pak?
SK : Jadi memang kita bisa melihat pada gejala artis-artis dewasa atau usia dewasa yang mudah kita kenali di pelbagai tayangan televisi atau pun bacaan media massa.
Y : Medsos atau media sosial
SK : Iya, medsos atau media sosial. Dimana ayah ibunya terkenal maka lahirlah anak-anak yang bahkan sejak dari bayi menjadi sorotan media; "Lahirnya kapan? Bagaimana berat badannya dan panjangnya?" dan kelucuannya di-shooting bahkan ada acara khusus seminggu sekali untuk mengamati keseharian bayi ini, si anak batita atau balita ini.
Y : Diekspos.....
SK : Dan apalagi di dunia Instagram, Facebook dan berbagai media sosial akhirnya ada banyak pengikut atau followers yang akhirnya menjadi media untuk promosi produk-produk iklan. Bayi sudah menghasilkan uang, anak sudah menghasilkan uang. Dan ini menjadi sebuah daya tarik bagi pasangan-pasangan muda yang bukan artis notabene tapi mereka akhirnya tergelitik juga bahwa anaknya didandani dengan lucu, memunculkan perilaku-perilaku yang lucu bahkan mungkin diarahkan seperti anaknya artis untuk akhirnya ditayangkan. Dan itu akhirnya juga muncul banyak followers atau pengikut.
Y : Juga disponsori begitu ya, Pak?
SK : Iya. Banyak sponsor. Jadi mendorong, memberikan penguatan pada produk-produk komersial tertentu dan dapat uang, dan inilah terjadi juga komersialisasi anak.
Y : Benar Pak. Saya mengamati di media sosial sebenarnya tidak hanya anak artis. Banyak yang akhirnya anak-anak kecil yang lain yang didukung orangtuanya untuk menjadi bintang-bintang; bintang-bintang media sosial.
SK : Iya. Maka dalam hal ini saya mengajak kita untuk melihat bagaimana kebenarannya. Maka saya mengajak kita untuk melihat dari satu ayat surat Efesus 6:4,"Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan." Jadi ayat ini mau menegaskan satu prinsip bahwa anak itu miliknya Tuhan. Orangtua itu adalah wakilnya Tuhan. Jadi sebenarnya anak-anak yang lahir dalam kehidupan kita sebagai pasangan suami istri, sebagai keluarga-keluarga yang dikaruniai anak, anak itu bukan milik orangtua yang melahirkan. Tetapi maaf, orangtua adalah manajernya Tuhan dan maaf dalam bahasa yang lebih tajam ‘jongos’-nya anak-anak itu. Orang kepercayaan yang diserahkan Tuhan untuk mengasuh anak-anak milik Tuhan ini. Jadi makanya orangtua perlu mendidik anak menurut S.O.P–nya Tuhan (standard operating procedure), jika di bahasa Indonesia yaitu prosedur operasi standar. Jadi anak perlu dididik menurut petunjuknya Tuhan, menurut tujuannya Tuhan, petunjuknya Tuhan dan caranya Tuhan; menurut S.O.P-nya Tuhan bukan S.O.P dan kemauan orangtua.
Y : Benar.
SK : Dimana anak-anak itu perlu dihantar untuk mengalami Tuhan secara pribadi, mengenal Yesus sebagai Juruselamatnya, mengenal rancangan khusus Tuhan untuk hidup anak itu dan menghidupinya. Artinya, setiap kita sebagai orang-orang yang telah menjadi milik Tuhan atau dilahirkan kembali, kita sudah diberikan tujuan spesifik atau tujuan khusus yang bukan sebatas hidup memuliakan Tuhan, itu tujuan yang berlaku universal. Tapi ada panggilan khusus seperti ada yang menjadi pendeta, petani, pengusaha, menjadi guru, ada yang dipanggil untuk pekerja sosial, menjadi politisi, menjadi pejabat pemerintah dan sebagainya. Nah, ini orangtua bertugas mendampingi anak supaya ujungnya juga anak tahu panggilan khususnya dan anak diijinkan di masa dewasanya menjalani panggilan khusus ini. Inilah kunci anak yang sukses dan bahagia, yaitu ketika anak mengikuti kemauan Tuhan, ketika anak mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan hidupnya.
Y : Baik, Pak. Berarti yang perlu digarisbawahi tugas orangtua bukan mengarahkan anaknya seperti yang dia mau, tapi justru menemukan panggilan Tuhan dan menghidupi di dalam hidup anak ya, Pak?
SK : Benar. Jadi makanya di dalam Efesus 6:4 dikatakan, "Didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan" koridor batasannya adalah firman Tuhan, rancangan Tuhan. Anak perlu dididik untuk mengenal Tuhan sebagaimana shema; Ulangan 6:1-9 bahwa mengasihi Tuhan itu perlu diajarkan berulang-ulang lewat perkataan dalam keseharian, lewat keteladanan orangtua dan melibatkan komunitas orang-orang percaya sehingga anak mengetahui kehendak Tuhan, mengasihi Tuhan dan mengikuti kehendak pimpinan Tuhan itu.
Y : Sebagai milik Tuhan, apa Pak yang harus kita perlakukan ke anak?
SK : Maka untuk itu anak perlu dikasihi dan dihormati sepenuh hati dengan lewat pendampingan kehadiran orangtua secara konsisten. Jadi bukan di ‘sub-kontrak’kan atau diserahkan ke kakek-neneknya.
Y : Seperti proyek bangunan, di ‘sub-kontrak’kan!
SK : Iya. Bukan diserahkan kepada guru-guru les, di ‘sub-kontrak’kan kepada kursus-kursus, sekolah-sekolah atau pada gereja. Mereka-mereka ini ada boleh; kakek-nenek, paman-bibi, guru les, tempat kursus, sekolah ataupun gereja. Tapi mereka adalah mitra sukses dalam pengasuhan anak, bukan pengganti peran orangtua kandung untuk mengasihi dan mendampingi tumbuh kembang anak secara sehat. Itulah arti mengakui bahwa anak miliknya Tuhan; mendidik anak menurut S.O.P-nya Tuhan. Yang kedua, bahwa anak perlu diberi tempat untuk setiap minat yang sehat, apa minatnya. Kita beri tempat, perlu disalurkan. Anak juga perlu digali dan dikembangkan bakatnya untuk mengenali panggilan khusus bukan untuk mencari uang, bukan untuk dikomersialisasi.
Y : Iya. Berarti itu batasannya ya, Pak? Anak boleh digali potensinya, bakat minatnya. Boleh, sah-sah saja. Tetapi tujuannya yang membedakan, bukan untuk mencari uang, komersialisasi tapi untuk menemukan panggilan Tuhan dan menggenapinya.
SK : Betul. Dan satu lagi, anak perlu dihormati hak-haknya.
Y : Nah, ini menarik Pak. Apa hak-hak anak, Pak?
SK : Hak-hak anak itu sudah diakui di level dunia, yaitu dari Konvensi Hak-hak Anak PBB (organisasi Persatuan Bangsa-Bangsa). Organisasi dunia ini sudah mengeluarkan sebuah ketetapan bahwa setiap anak di dunia ini di Negara mana pun dalam kondisi apapun memiliki sepuluh hak dasar. Bahkan konvensi hak anak sudah disahkan 20 Nopember 1989 dan negara Indonesia salah satu dari banyak negara yang sudah menandatangani. Dan diantara sepuluh hak ini yang relevan dengan topik kita yaitu setiap anak punya hak untuk bermain, setiap anak punya hak untuk mendapatkan pendidikan, setiap anak mendapatkan hak untuk mendapatkan perlindungan, setiap anak mendapatkan hak untuk rekreasi.
Y : Jadi ketika pun kita tadi mendidik dia, kita mengarahkan potensinya tidak boleh melanggar batasan hak-haknya ya, Pak?
SK : Betul.
Y : Untuk tetap bermain, untuk bisa rekreasi, untuk tetap juga harus dididik untuk mendapatkan pendidikan formal dan sebagainya ya, Pak?
SK : Betul. Jadi memang menjadi orangtua jaman sekarang, orangtua di masa sekarang dan ke depan, memang layak kita diberi hikmat diberi fasilitas oleh kemajuan teknologi, globalisasi, informasi tinggal kita klik di handphone kita maka kita sudah tahu situasi dunia dan peluang-peluang dunia; beasiswa, lomba, fasilitas dukungan. Oke, mari kita manfaatkan tapi ada batasannya, yaitu bagaimana hindari anak untuk dieksploitasi. Bukankah di dalam Efesus 6:4 dikatakan "Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu," artinya jangan berikan luka, jangan lukai hati anakmu. Anak ialah masa tumbuh kembang dasar, level dasar. Masa dimana anak lebih banyak membutuhkan masa bermain. Jadi belajar itu lewat bermain, dimana anak perlu merayakan sukacitanya menjadi anak. Akrab dalam telinga kita ‘masa kecil kurang bahagia’. Ini sudah masa dewasa, kakek-nenek masih menyukai permainan petak umpet (sembunyi-sembunyi) dan berlaku kekanak-kanakan dan hal-hal yang aneh sebagai orang dewasa. Mungkin karena masa kecil kurang bahagia. Dan itu memang psikologis. Kalau anak kurang mendapatkan rekreasi, kebebasan untuk menjadi anak sebagai haknya lewat bermain, lewat hidup yang lebih rileks maka nanti menjadi masalah psikologis yang dibawa sampai masa tuanya. Ini berarti kita melakukan kekerasan pada anak. Semula kita berpikir, "Demi anak-anak"…
Y : "Demi masa depan mereka" begitu Pak?
SK : Benar demi anak. "Oh anak senang. Anak bahagia." Benar anak senang dan bahagia? Tanyakan dengan jujur. Kalau kita ragu, karena kita sudah punya vested interest dalam bahasa Inggris, yaitu sudah punya kepentingan tertentu yang kadang kita dengan mudah menutupi. Mari bawa ke konselor, bawa ke psikolog, bawa ke orang yang mengerti anak untuk interview anak kita tanpa orangtua. Karena kalau ada orangtua anak akan merasa terintimidasi, takut begitu. Coba tanya untuk klarifikasi. Jadi libatkan pihak ketiga untuk menguji apakah anak kita bahagia dengan les-les itu, dengan lomba-lomba itu, dengan di-posting di media sosial, dengan dijadikan selebritis cilik atau selebgram yang dikenal untuk istilah selebritis di dunia Instagram. Apakah anak bahagia, rileks tidak, menikmati tidak maka kita bisa melibatkan pihak ketiga untuk mengujinya.
Y : Kalau begitu apa, Pak saran untuk orangtua supaya kita ini bisa mengobati kebanggaan semu kita yang tidak perlu sebetulnya? Harusnya bagaimana, Pak untuk mengarahkan, karena kita tidak terlepas dari kepentingan butuh bangga kepada anak kita, butuh merasa "ini anak siapa dulu" pasti ada begitu, jadi bagaimana, Pak?
SK : Jadi itu manusiawi. Benar yang disampaikan Bu Yosie, tidak apa anak kita dipuji "Pintar ya. Cantik ya. Berprestasi ya. Hebat ya." Tentu tidak apa merasa bahagia, bangga tapi maaf ada batasannya. Jadi mari sadari kembali bahwa anak milik Tuhan dan perlu diasuh menurut S.O.P Tuhan. Yang kedua, jaga jarak yang sehat dengan anak; ini anakku dan ini bukan aku! Kadang tanpa sadar orangtua menganggap apa yang terjadi pada anak itu yang terjadi pada mereka; apa yang terjadi pada anakku berarti itulah yang terjadi pada ku. Kalau anakku sukses maka aku sukses.
Y : Aku yang ikut hebat.
SK : Anakku dipuji berarti aku dipuji. Anakku dicela, maka aku dicela. Tidak. Ada jarak. Anak adalah individu yang terpisah dengan kita sebagai pribadi ayah ibu dari anak itu. Jadi dengan demikian bahwa artinya mari bangun dan suburkan harga diri orangtua berdasarkan penerimaan sejati Tuhan, bukan apa kata orang lain. Bukan apa kata uang yang kita miliki, berapa banyak uang. "Sedikit. Kamu tidak berharga. Aku minder karena uangku sedikit, penghasilanku kecil." Atau "Aku merasa hebat karena aku kaya raya dan aku punya pekerjaan yang luar biasa, dihormati banyak orang." Itu penghargaan diri yang palsu. Penghargaan diri yang sejati, yang sehat adalah dibangun karena aku dikasihi Tuhan. Aku diterima Tuhan apa adanya, berhasil atau gagal. Lancar jaya atau terhambat karirku, situasiku, keluargaku seperti apapun aku menikmati rasa aman yang sejati dari Tuhan. Sehingga ketika aku bekerja mengasuh anak bukan untuk menambah kebanggaanku lagi, rasa amanku. Karena rasa bangga sejatiku, rasa aman sejatiku sudah cukup bersama penerimaan Tuhan. Inilah sebuah situasi spiritualitas, hidup rohani, hidup iman yang perlu kita jalani. Kalau kita memiliki iman yang mati, spiritualitas yang kering, hidup rohani yang palsu maka tidak heran. Mungkin kita aktif di gereja, mungkin kita hamba Tuhan tapi kita mengeksploitasi anak kita. Kita melakukan kekerasan atau pemaksaan anak kita.
Y : Untuk memenuhi perpanjangan kepentingan tadi ya, Pak?
SK : Iya.
Y : Kalau kita boleh membangun diri kita atas penerimaan Tuhan tentunya kita tidak akan menuntut anak misalnya kalau anak tidak berprestasi pun dan tidak dipuji orang lain maka kita tidak merasa terintimidasi ya, Pak?
SK : Betul. Jadi itu bukan lagi menjadi sasaran dan tujuan. Itu hanya semacam efek samping atau bonus. Bonus artinya tidak dapat tidak apa-apa, kalau dapat puji Tuhan syukur tapi tidak dikejar; maka itu artinya bonus. Jadi kembali yang disasarkan bagaimana aku tahu pimpinan Tuhan untuk anak ini apa. Ada minat ini, aku fasilitasi, aku sediakan kesempatan, pendampingan. Kalau ada uang butuh guru les aku carikan guru les, kalau tidak ada guru les maka apa yang bisa aku lakukan, maka aku lakukan. Tujuannya bukan supaya anakku terkenal maka bapaknya terkenal, ibunya terkenal. Bukan itu, itu sudah bias. Maaf sudah sesat dari awal. Jadi motif kita murni apa pimpinan Tuhan pada anak ini. "Oh ini, maka oke aku lakukan" bagaimana anak ini mengerti karunianya, talentanya, panggilannya dan menjalaninya. Kalau memang dia dipanggil menjadi artis maka boleh saja tapi artis untuk memuliakan Tuhan. Dia dapat banyak uang, boleh, tapi bukan untuk membangun menara Babel untuk dirinya tapi membangun kerajaan Allah lewat dia terkenal. Lewat banyak uang dia berikan bagi orang-orang lain menjadi berkat, menyatakan kemuliaan Allah lewat uang yang dia miliki yang dia berikan. Lewat ketenarannya dia mempromosikan hal-hal yang positif untuk dunia ini dan nama Allah dimuliakan. Nah, itu kembali motivasi akan menentukan hasil, menentukan cara kerja. Kalau ada yang salah dalam cara kerja kita, cara mengasuh anak, maka itu maaf berarti ada yang keliru di motivasi kita dan di cara pandang kita tentang anak.
Y : Berarti pentingnya orangtua juga untuk mengenali kebutuhan kita pribadi ya, Pak atau dinamika kepribadian kita sendiri, kebutuhan-kebutuhan yang tidak tersadari ya Pak? Menjadi dewasa.
SK : Betul, betul. Maka dalam hal ini, Bu Yosie, sangat sehat kita sebagai orangtua sebagai orang dewasa di usia berapa pun memiliki komunitas iman yang otentik dengan KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), punya komsel (komunitas sel) dimana kita bisa saling terbuka, saling mengaku, saling mengecek isi hati kita, saling memertanyakan.
Y : Belajar terus untuk mengenali diri sendiri
SK : Iya. Mengenali motif, tujuan, cara, ada yang memertanyakan, dan bukan untuk menghakimi tapi untuk …
Y : Untuk menajamkan
SK : Betul. Menajamkan. Menolong kita untuk konsisten hidup dalam koridornya Tuhan. Tanpa itu wajar kita akan tersesat. "Untuk Tuhan. Untuk anak" tapi ujung-ujungnya untuk diri sendiri.
Y : Yang berikutnya, Pak. Kalau untuk obat rasa khawatir yang berlebihan, Pak? Tadi saya tertarik pada pola asuh memaksa atau push-parenting, karena push-parenting itu sebetulnya karena orangtua khawatir anaknya gagal atau anaknya tidak menjadi seperti yang dia inginkan?
SK : Iya. Jadi memang sebagian situasi komersialisasi anak itu sisi yang lain orangtua mudah masuk kepada pola asuh memaksa atau yang Bu Yosie sebut dengan kata push-parenting atau memaksa anak. "Kamu harus belajar matematika ini. Kamu harus dapat seratus!"
Y : Sembilan delapan saja dicubit, Pak.
SK : "Apa kamu bangga dengan sembilan? Sepuluh itu baru anaknya mama, sepuluh itu baru anaknya papa." Ini push-parenting, memaksa. "Harus juara 1 tidak boleh juara harapan, juara utama." Bahkan beberapa kasus yang kadang terjadi orangtua membeli piala itu supaya anak juara. Apa yang terjadi, akhirnya anak-anak itu,maaf, mengalami semacam gangguan jiwa. Banyak masalah kepribadian muncul ketika di masa remaja dan dewasanya, karena pola asuh memaksa. Maka yang pertama, cara mengatasinya kembali pada poin, sadari anak milik Tuhan termasuk masa depannya.
Y : Bukan kita yang merancang dan menentukan.
SK : Yang kedua, tugas orangtua kembali adalah mengasuh anak menurut S.O.P–nya Tuhan dan mendampingi anak menemukan panggilan khususnya. Yang ketiga sadari, ketika orangtua mengasuh anak menurut S.O.P-nya Tuhan, maka akan lahir anak-anak yang sehat, bermental sehat, berkarakter Kristus, cerdas dalam menjalankan hidupnya dan mampu berbahagia dan sukses di kehidupan dewasanya dalam menjalani panggilan khususnya dan hidupnya pasti tidak akan berkekurangan.
Y : Matius 6:33, "Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu."
SK : Betul. Apa yang dikhawatirkan orang-orang yang tidak mengenal Allah, "Aku pakai baju apa ya? Aku tinggal di rumah mana ya? Aku akan hidup seperti apa ya?" Tuhan mengatakan itu dicari dengan penuh susah payah oleh orang-orang yang tidak mengenal Tuhan. Tapi bagi kita mari utamakan apa kehendak Allah dalam hidup kita. Taati, ikuti pimpinan Tuhan maka semuanya itu pasti Tuhan tambahkan. Memang bukan berarti kita kaya raya menjadi konglomerat. Tapi artinya kita pasti hidup cukup. Kita pasti berbahagia bukan hanya karena konteksnya bahagia ukuran materialisme tapi bahagia sejati adalah bahwa kita memiliki sukacita, hidup yang bermakna, hidup yang berdampak, hidup yang berelasi intim dengan Tuhan dan dengan orang-orang di sekitar kita. Betapa banyak orang kaya raya, sukses, selebritis tapi di sisi yang lain kosong. Anaknya bunuh diri, istrinya lari dengan pria lain, dia jatuh ketagihan obat-obatan supaya bisa tidur, dia jatuh kepada perselingkuhan. Apa itu bahagia? Bukankah itu hidup yang neraka di dunia?
Y : Walaupun bergelimang uang ya, Pak?
SK : Betul.
Y : Benar, Pak. Saya mengamati karena orang jaman sekarang, di tengah jaman yang sangat kompetitif ini seperti penuh kekuatiran kalau anak saya tidak bisa bersaing nantinya, apalagi 10 tahun 20 tahun lagi anak-anak kita dewasa bagaimana? Makanya dari kecil dipaksa tadi yaitu push-parenting tadi. Mereka lupa ya Pak, bahwa ada pertolongan Tuhan.
SK : Jangan lupa ada satu kata kunci yang mungkin kita sudah familier, sudah akrab yaitu kecerdasan emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan seseorang untuk bisa membaca emosi dan perasaannya, membaca emosi dan perasaan orang lain, kemampuan untuk tangguh mengalami kesulitan dan dia bisa tetap melakukan, bisa tekun dalam kesulitan itu dan menjadi pemenang dalam tantangan-tantangan kehidupan. Dan itu bukan produk anak yang ditindas, bukan produk anak yang dikomersialisasi tapi produk dari anak yang dicintai dan dihormati hak-haknya. Diberikan apa yang sehat, yaitu disiplin yang sehat, kasih sayang yang sehat menurut batasan S.O.P-nya Tuhan.
Y : Menarik sekali, Pak. Terima kasih banyak sebab banyak membukakan. Saya percaya ini bermanfaat juga untuk orangtua. Satu menit terakhir Pak, apa kesimpulan Bapak atau pesan yang boleh berguna buat orangtua tentunya.
SK : Mari yang pertama, jadilah orangtua yang punya rasa aman yang sehat di dalam Kristus. Kalau kita punya rasa aman di dalam Kristus dan kita menjadi orangtua yang bergaul intim dengan firman Tuhan, kita tidak akan ikut arus dunia. Mengkomersialisasikan anak atau memaksa anak menjadi seperti yang kita mau atau ingini. Yang kedua, yakinlah kita mungkin bukan orang yang kaya raya, kita bukan menjadi selebritis di masa hidup di dunia ini tapi kalau kita hidup menurut poin yang pertama tadi yaitu mengasihi Tuhan, hidup bergaul dengan Tuhan, memiliki rasa aman sejati dalam Kristus maka yakinlah anak-anak kita akan berterima kasih dan akan menjadi anak-anak berbahagia. "Papa mama, ayah bunda, aku mau mengatakan aku berterima kasih. Aku tidak punya papa mama, ayah bunda yang kaya raya yang terkenal seperti orang lain tapi aku mengalami benar bahwa aku dikasihi. Aku menjadi pria, wanita yang mantap dalam hidup ini, menatap ke depan dengan yakin pimpinan Tuhan dan yakin pemeliharaan Tuhan karena papa mama yang mau mengasihi, menghormati dan mengasuh aku menurut batasannya Tuhan. Terima kasih." Bukankah kata-kata ini jauh lebih indah daripada anak kita ditekan, dikomersialisasi, dipaksa ini itu memang menjadi terkenal, kaya raya, selebritis. Tapi tumbuh menjadi anak yang terluka, pahit karena penindasan orangtuanya dan tidak bisa mengasihi dan berterima kasih dengan tulus.
Y : Iya baik, Pak. Terima kasih banyak untuk penjelasannya dan pasti ini bermanfaat. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Komersialisasi Anak". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat mengirimkan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.