oleh Ev. Sindunata Kurniawan.
Kata kunci: Kita perlu berelasi dengan orang lain tanpa kehilangan identitas dan kedirian kita. Menjadi diri sendiri dan diri yang diharapkan. Ikatan yang sehat menolong rasa solidaritas. Batasan membangun keintiman sejati.
TELAGA 2019
Saudara-Saudara pendengar yang kami kasihi di mana pun Anda berada, Anda kembali bersama kami dalam acara TELAGA (TEgur Sapa GembaLA KeluarGA). Acara ini diselenggarakan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) bekerjasama dengan radio kesayangan Anda ini. Saya, Yosie, akan berbincang-bincang dengan Bapak Ev. Sindunata Kurniawan, MK. Beliau adalah seorang pakar dalam bidang konseling keluarga. Perbincangan kami kali ini tentang "Batasan Yang Sehat". Kami percaya acara ini bermanfaat bagi kita sekalian dan dari studio kami mengucapkan selamat mengikuti.
Y : Pak Sindu, silakan disampaikan tentang apa yang dimaksud dengan "Batasan yang Sehat", tentunya dalam kaitannya dengan relasi ya Pak, dengan siapa dan hal-hal yang lainnya.
SK : Terima kasih, Bu Yosie. Orang yang sehat hidupnya memiliki ikatan dan batasan. Dalam kesempatan yang lalu kita pernah membahas tentang "Ikatan Sehat dalam Relasi" dan itu memang satu hal penting. Sejalan dengan itu kita juga perlu membangun batasan dengan orang lain. Jadi kata batasan ini berasal dari bahasa Inggris ‘boundary’ yang artinya kemampuan untuk memisahkan diri dan menjaga jarak yang sehat dengan orang lain.
Y : Berarti dalam ikatan yang sehat ada batasan yang sehat juga ya, Pak?
SK : Iya. Artinya dua hal itu perlu dihadirkan sekaligus. Coba saya akan memberikan contoh nyata secara konkret fisik tentang batasan. Kita mengenal lintasan jalan raya, bukan? Jadi jalan aspal, misalnya di perkotaan bahkan di desa-desa sudah ada jalan aspal. Kalau kita mau aman kita akan berkendaraan di dalam batas jalan raya itu.
Y : Lintasan tadi yang sudah disediakan.
SK : Itulah juga dalam relasi kita dengan orang lain. Kalau kita mau sehat dan selamat kita perlu berelasi dalam batas-batas tertentu. Sebagaimana juga kita didalam memiliki atau bertempat tinggal di sebuah rumah, umumnya kita memiliki yang namanya pagar rumah. Jadi pagar ini adalah batas yang menegaskan ini adalah bagian saya, milik saya, ruang privasi saya. Di luar pagar adalah....
Y : Tetangga saya.
SK : Iya, orang lain. Dengan adanya pagar rumah, ketika kita ada di dalam rumah yang berpagar ini, memastikan kita bisa merasa aman. Kita bisa melakukan sesuatu dengan leluasa karena ada punya ruang pribadi, privasi. Dan pagar ini juga menegaskan orang lain kamu jangan melampaui pagar, kamu tidak boleh masuk ke rumah saya begitu saja tanpa permisi.
Y : Apalagi menjemur cucian di pagar kita ya, Pak?
SK : Iya. Jadi dengan adanya pagar menolong orang lain menghargai kepemilikan kita, properti kita, menghargai diri kita. Demikian juga didalam kehidupan kita sebagai manusia, kita memiliki bagian tubuh terluar yaitu kulit. Kulit ini adalah batas kita. Jadi diri kita yang sehat tidak akan membiarkan siapapun menyentuh kulit kita.
Y : Sembarangan begitu ya, Pak?
SK : Iya. Menyentuh atau pun misalnya meraba kulit kita. Dan diri kita yang sehat pun akan melindungi batas kulit ini supaya tidak tergores, terluka, berdarah. Kita akan melindungi batas fisik kita yaitu kulit kita. Demikian juga didalam kita berhubungan dengan orang lain secara fisik, kita punya namanya jarak psikologis.
Y : Oh, oke.
SK : Ketika dua orang berhadapan, rata-rata dia akan berdiri kurang lebih jarak 1-1,5 meter. Ketika orang yang kita merasa tidak cukup kenal mendekati kita....
Y : Tiba-tiba terlalu dekat di tempat umum.
SK : Iya. Apa yang terjadi, Bu Yosie?
Y : Saya langsung kaget lihat siapa dia ?
SK : Dan ketika dia masuk mendekat.
Y : Saya mundur untuk mengambil jarak.
SK : Tepat. Itulah, Ibu Yosie yang sehat. Diri kita yang sehat akan punya jarak psikologis berhadapan dengan orang lain. Kita akan menjaga jarak yang aman. Kalau orang itu kita rasakan mencurigakan dan bahasa tubuhnya atau tampilannya ....
Y : Membahayakan.
SK : Membahayakan. Kita bukan hanya satu meter, mungkin dua sampai tiga meter.
Y : Bisa lari.
SK : Bahkan lari. Itulah diri yang sehat. Sementara kalau kita merasa dekat, jaraknya bisa kurang dari 1 meter. Bahkan ketika bersentuhan kita oke karena kita merasa aman. Tapi tidak sembarang orang, kita akan pilah pilih.
Y : Sesuai dengan kedekatan relasi kita tentunya ya, Pak?
SK : Iya dan rasa aman kita. Nah, hal-hal inilah ibu Yosie yang menggambarkan juga kita perlu batasan, kita perlu pagar, kita perlu jalur yang melindungi kita secara mental, secara psikologis sebagai diri yang sehat.
Y : Jadi kalau fisik saja memunyai batasan yang sehat, apalagi mental ya, Pak. Yang walaupun tidak kelihatan tetapi kesehatan mental ini yang menentukan pribadi kita didalam berfungsi sebagai pekerja, sebagai pelayan Tuhan, sebagai suami-istri begitu ya, Pak?
SK : Tepat. Jadi dalam hal ini supaya lebih konkret kita perlu jelas: mana yang menjadi tanggungjawab saya, mana yang menjadi tanggungjawab orang lain, mana yang menjadi pekerjaan saya, mana yang menjadi pekerjaan orang lain, mana yang menjadi tugas saya, mana yang menjadi kepemilikan saya, mana yang menjadi tugas dan kepemilikan orang lain. Kita perlu punya batas yang jelas dan kita perlu untuk melindungi apa yang menjadi milik kita dan kita perlu untuk melakukan apa yang menjadi tanggungjawab kita. Dalam hal ini saya mau mengutip dari pernyataannya Henry Cloud dan John Townsend dari buku "Bounderies" dan buku ini sudah ada dalam bahasa Indonesia, dikatakan problem dalam batasan adalah mencakup segala kebingungan tentang tanggungjawab dan kepemilikan dalam kehidupan kita.
Y : Jadi sebetulnya batasan itu dari penjelasan Bapak sepertinya berkenaan dengan identitas kita, jati diri kita: apa yang saya suka, apa yang tidak saya suka, apa yang menjadi tanggungjawab saya dan apa yang bukan, apa yang saya inginkan dan tidak. Sedangkan saya menganggap selama ini batasan itu berkaitan bukan tentang diri kita tetapi dengan orang lain. Maksudnya bagaimana menjelaskannya itu, Pak?
SK : Kedua-duanya.
Y : Oh, oke.
SK : Jadi, supaya makin konkret lagi bahwa didalam misalnya ketika seorang suami dia pemabuk alkohol. Kemudian dia tidak bertanggungjawab, dia tidak bekerja, kemudian dia berjudi dan berutang. Dan kemudian apa yang terjadi, dalam beberapa kasus karena sang keluarga sering didatangi penagih utang maka akhirnya sang istri yang mengambil tanggungjawab, yang bekerja supaya bisa membayar utang.
Y : Paling tidak membayar anak-anaknya sekolah, biaya kehidupan sehari-hari, Pak. Banyak terjadi kasus-kasus seperti itu.
SK : Iya. Dan kemudian dalam beberapa peristiwa sang istri tetap bekerja, tetap membiarkan suaminya mabuk-mabukan, berjudi dan berhutang. Dan istri yang terus bekerja menjadi soko guru ekonomi keluarga dan anak-anak termasuk di dalamnya, sekaligus membayar utang yang berkepanjangan. Nah, disinilah sebuah situasi yang menunjukkan sang istri tidak menegakkan batasan yang sehat.
Y : Sebab dia memikul tanggungjawab yang bukan miliknya, yang seharusnya suaminya pikul.
SK : Iya. Dan sang suami melanggar batas yang sehat. Maka dalam konteks ini sesuai dengan bahasan kita, batasan yang sehat dalam hal ini sang istri perlu menegakkan ketika sang suami menerobos pagar hidupnya. Memang dua menjadi satu.
Y : Iya, maksudnya dalam ikatan pernikahan benar-benar dua menjadi satu sebenarnya.
SK : Ada ikatan, sekaligus ada batasan. Pernikahan tidak meniadakan batasan. Dua menjadi satu ada ikatan tetapi sekaligus diri yang sehat, pernikahan yang sehat membutuhkan batasan antara suami dan istri. Maka apa yang bisa dilakukan dalam hal ini, sang istri bisa berkata, "Suamiku kamu tidak bisa terus-menerus begini. Kalau kamu terus mabuk, berjudi, berutang, tidak bertanggungjawab maka saya akan meninggalkan kamu. Saya akan bawa anak-anak pergi ke rumah yang lain atau kota lain. Kamu jalani hidupmu sendiri. Kamu yang berani berbuat, kamu berani menanggung konsekuensinya. Kamu berani berutang kamu berani membayar utang itu, bukan lagi saya." Disini saya tidak berbicara perceraian, tidak. Tapi saya berkata berpisah demi menyehatkan sang suami. Karena kalau suaminya mabuk, berutang dan terus dirawat berarti......
Y : Merawat kebiasaan buruknya juga.
SK : Iya, sang istri yang menyuburkan perilaku buruk sang suaminya. Sang istri justru bersalah. Jadi dia menarik batas, pergi dengan anak-anak dia bekerja demi anak-anak dan demi dirinya, dia mencari dukungan emosional, spiritual dari tubuh Kristus di kota yang lain. Sementara biarkan suaminya menjalani prosesnya.
Y : Iya. Bagaimana Pak kalau kasus-kasus suaminya marah, mengamuk lalu KDRT, mengancam?
SK : Iya. Disinilah kembali batasan perlu ditegakkan, "Kamu marah karena kamu hendak mengambil kepemilikan orang lain yang bukan hakmu. Kamu marah karena kamu melemparkan tanggung jawab. Jadi maaf, kamu marah silakan marah tapi saya tidak bertanggungjawab terhadap kemarahanmu. Kemarahanmu lahir dari cara pandang yang keliru, sikap egoistik. Kamu sedang menjajah batasan orang lain, kamu sedang melampaui wilayah kesejahteraan istri, wilayah kesejahteraan anak-anak. Anak-anak butuh sejahtera, butuh dilindungi tapi kamu merambah menjadikan anak-anak telantar yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu. Kamu malah meminta anak-anak melayanimu yang seharusnya kamu melayani dan melindungi anak-anak. Saya yang waras, saya yang sehat menegakkan batasan yang sehat. Kamu tidak bisa demikian." Kalau dia tidak bisa menerima dengan nasehat yang baik atau dorongan untuk mencari konselor, "Coba kamu ke konselor kamu butuh ditolong. Masuk kamu ke tempat rehab untuk kamu dipulihkan selama beberapa bulan disana baru setelah itu kembali." Kalau dia tidak mau maka kita yang sehat yang meninggalkan untuk memberi batas yang sehat. Maka dalam hal ini, Bu Yosie, saya mau mengaitkan kata firman Tuhan di dalam Galatia 6:5, "Sebab tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri" jadi tiap-tiap orang akan memikul tanggungannya sendiri, memikul bebannya sendiri, memikul tanggung jawabnya sendiri. Jadi ada batasan tanggung jawab.
Y : Batasan yang tepat.
SK : Iya. Yang memang desain Tuhan menuntut kita punya tanggung jawab dan kalau kita memelajari firman secara lebih luas tiap orang punya panggilan, punya tugas, punya tanggungjawab dan Tuhan akan meminta pertanggungjawabannya; apakah setia atau lalai. Memang sisi yang lain sejalan dengan itu ada di Galatia yang sama, Galatia 6:2 dikatakan, "Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus." Jadi kita perlu bertanggungjawab atas tanggungan kita, tapi ada saatnya kita juga bisa menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan. Tapi menolong orang lain bukan berarti membiarkan.
Y : Mengambil tanggungjawabnya ya, Pak?
SK : Iya. Bukan mengambil tanggungjawabnya tapi kita menolong supaya dia bisa optimal mengerjakan tanggungjawabnya. Dan ketika kita menolong orang lain bukan berarti kita mengabaikan tanggungjawab kita sendiri.
Y : Dalam kehidupan kita ya, Pak?
SK : Iya. Ketika kita menolong orang lain, disanalah memang ada namanya ikatan. Ikatan yang sehat menolong kita untuk punya rasa solidaritas, rasa belas kasihan, kita merasakan kasih, belas kasihan menolong. Tapi ikatan yang sehat sekaligus butuh batasan yang sehat. Ada batasnya dalam menolong orang lain. Jangan sampai ketika kita menolong orang lain membuat kita jatuh sakit, membuat kita disia-siakan bahkan ikut menanggung utang. Keluarga inti kita menderita karena kita menanggung utang keluarga besar kita. Nah, disinilah ada batas.
Y : Batas yang harus kita tegakkan.
SK : Tepat.
Y : Ternyata memang dalam ya ikatan dan batasan. Kelihatannya sesuatu yang kontroversi atau berlawanan tapi sebetulnya itu menjadi satu di dalam kehidupan kita sebagai manusia yang sehat ya, Pak?
SK : Ya. Jadi dengan adanya batasan, adanya pemisahan itu menegaskan identitas kita sebagai manusia, jati diri kita, seperti yang tadi di bagian awal disinggung oleh Ibu Yosie. Manusia yang sehat adalah manusia yang mengenal dirinya. Mengenal dan memiliki jati dirinya. Mengenal dan memiliki identitasnya. Jadi kita perlu berelasi dengan orang lain, dengan tanpa kehilangan identitas, dengan tanpa kehilangan kedirian kita. Kalau saya pakai istilah teknis tanpa kehilangan individualitas kita. Atau dengan bahasa Indonesia yang lebih lugas tanpa kehilangan kedirian kita. Dalam hal ini memang kita perlu menerapkan seni antara menjadi diri sendiri dengan tanpa kehilangan orang lain. Antara menjadi diri sendiri dan menjadi diri yang diharapkan. Kita ada didalam dua tarikan ini, menjadi diri yang diharapkan yang menyenangkan orang lain sekaligus tapi kita juga butuh ada saatnya kita menjadi diri sendiri dengan keterbatasan dan keunikan kita yang perlu diberi tempat.
Y : Itulah seninya tadi antara ikatan dan batasan ya, Pak. Contohnya ikatan pernikahan, saya dan suami saya. Tapi bagaimana saya tetap bisa menjadi diri sendiri sehingga seandainya satu waktu pun suami saya dipanggil Tuhan saya tidak menjadi gila, tidak kehilangan diri saya dan kehilangan segala-galanya.
SK : Benar. Jadi dalam hal ini Ibu Yosie sebagai istri perlu punya ruang waktu privasi, tidak selamanya harus bersama suami, tidak selamanya harus mengurus anak-anak. Ada waktunya untuk diri sendiri, untuk hobi, untuk berkembang, bertumbuh, untuk mengisi baterai jiwa atau di-charge dalam bahasa Inggrisnya.
Y : Sebagai seorang individu.
SK : Sebagai seorang wanita, sebagai seorang yang punya keunikan sehingga dengan demikian Ibu Yosie juga punya kekuatan jiwa ketika suami tidak bisa menopang Ibu Yosie, bisa menopang dirinya.
Y : Pribadi yang tetap kuat ya, Pak?
SK : Bahasan kita ini, Bu Yosie, bukan bahasan yang sekuler artinya bahasan yang, "Oh ini gagasan psikologi belaka. Gagasan sosiologi, antropologi." Bukan. Ini gagasan teologi, gagasan firman Tuhan. Berbicara tentang ikatan dan batasan sesungguhnya merupakan pantulan dari sifat Allah sendiri. Kita mengenal, Bu ,Yosie, Allah kita adalah Allah Tritunggal; Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus. Allah Tritunggal ini adalah satu Allah, satu oknum Allah. Allah yang terikat, satu kesatuan tapi sekaligus Allah Bapa, Allah Putra, Allah Roh Kudus memiliki batasan masing-masing. Masing-masing adalah pribadi-pribadi Allah yang berbeda dan terpisah. Masing-masing Allah Bapa. Allah Putra, Allah Roh Kudus memiliki identitas, memiliki jati diri, memiliki batas-batas dan tidak kehilangan identitas dan jati diri di dalam kesatuan mereka sebagai Allah.
Y : Sangat dalam berarti ya, Pak?
SK : Jadi hidup memiliki batas itu Alkitabiah.
Y : Bukan berarti egois ataupun humanistik, bukan berarti begitu ya, Pak?
SK : Iya itu ilahi kebenarannya. Termasuk terhadap kita ciptaan-Nya, Allah pun terpisah dari ciptaan-Nya. Allah tahu siapa diri-Nya sebagai Pencipta dan siapa bukan diri-Nya. Dia bukanlah Allah yang menyatu dengan ciptaan-Nya. Allah kita adalah pribadi yang terpisah dari kita ciptaan-Nya. Namun Dia adalah Allah yang mampu memiliki relasi dengan kita. Dia adalah Allah yang merindukan kita, mengasihi kita. Dia adalah Allah yang berduka oleh karena ketidaktaatan kita bahkan Allah yang sedemikian mau mengorbankan milik-Nya yang berharga, Putra Tunggal-Nya Yesus Kristus untuk mati menyelamatkan kita. Tapi pada saat yang sama Allah kita tidak kehilangan identitas, Dia punya kedirian-Nya sebagai Allah. Disini kita melihat perjumpaan antara ikatan dan batasan.
Y : Ikatan dan batasan yang sempurna di dalam Tuhan.
SK : Dan itulah yang menjadi contoh kita. Kita mengasihi suami, istri, mengasihi anak, mengasihi orangtua, mengasihi sahabat kita. Kita menolong tapi sekaligus kita punya batas dimana kita bisa eksis dengan diri kita, kebutuhan, keunikan kita.
Y : Karena banyak juga yang salah ya Pak, konsep yang salah tentang ikatan dan batasan ini. Misalnya saya bertanggungjawab terhadap semua orang atau bahkan saya tidak peduli dengan semua orang tadi yang sempat disinggung di awal.
SK : Iya. Jadi dengan adanya batasan ini kita sesungguhnya melindungi diri kita dan melindungi orang lain. Dengan adanya batasan ini kita sedang membangun keintiman yang sejati.
Y : Iya. Tadi banyak orang yang berpikir, "Oh, orang Kristen harus selalu memberi, menolong. Saya sendiri tidak boleh memiliki kebutuhan" atau ‘selfless’ ya, Pak? Padahal itu salah ya, Pak?
SK : Iya. "Menyangkal diri, pikul salib ikut Yesus berarti hilangkan dirimu", bukan?
Y : Bukan pengertiannya ya, Pak?
SK : Bukan. Itu konteksnya adalah tidak egoistik, menyangkal diri ikut salib Kristus adalah kita tidak egoistik tetapi mengikuti kemauan Allah dimana kita melayani Allah. Tetapi jangan lupa kebenaran-Nya bahwa melayani Allah bukan berarti kehilangan jati diri keunikan kita. Allah malah pakai keunikan kita. Malah ada kata firman Tuhan juga, "Kerbau yang membajak tidak boleh diberangus", artinya....
Y : Menerima makanannya.
SK : Iya. Terkadang orang pikir "Kamu ‘kan hamba Tuhan, kamu murid Kristus maka layani, layani tanpa pamrih sehingga kamu mati kekeringan, kemiskinan, anakmu telantar itu resikomu sebagai murid Kristus", maaf itu namanya ‘spiritual abuse’. Itu kekerasan spiritual, itu penyalahgunaan kebenaran firman.
Y : Bukan itu yang Tuhan kehendaki di kehidupan anak-anak-Nya ya, Pak?
SK : Iya. Melayani Allah, menolong orang lain tetapi juga kita butuh makan bagi diri kita. Merawat tubuh kita, jiwa kita. Merawat orang-orang yang ada dalam keluarga kita.
Y : Benar, Pak. Keseimbangan menjadi satu poin yang harus kita perhatikan ketika kita berbicara tentang ikatan dan batasan yang sehat ya, Pak?
SK : Benar. Jadi maka dalam hal ini memang secara fisik kita perlu memberikan porsi untuk makan yang sehat, makan teratur, istirahat yang cukup, olahraga. Jadi jangan berpikir, "Aku melayani Tuhan........"
Y : "Tidak perlu fisik-fisikan", ya Pak?
SK : Iya. "Apa itu yang suka nge-gym itu duniawi. Yang suka makan sehat, makan itu apa adanya. Layani Tuhan, kalau kita layani Tuhan kita urus pekerjaan Tuhan, Tuhan akan urus kita. Saya membantu pekerjaan Tuhan, Tuhan akan membantu kebutuhan saya dan anak-anak, istri suami saya. Saya tidak perlu urus mereka" keliru.
Y : Harus seimbang, Pak. Emosi juga ya, Pak dan intelektual juga harus seimbang sebagai salah satu kebutuhan kita sebagai pribadi yang sehat.
SK : Iya. Jadi kita butuh waktu untuk punya hobi sehat bahasa Inggrisnya ‘me-time’ waktu pribadi, belajar hal-hal yang baru, "Saya sudah eksis dengan pekerjaan saya, karier saya, status saya sebagai pendeta tidak perlu belajar. Orang lain yang belajar dari saya" itu juga keliru. Kita perlu memiliki diri yang segar, yang dinamis adalah belajar, terbuka.
Y : Membaca... Kalau secara sosial Pak, penerapan keseimbangan seperti apa, Pak?
SK : Iya. Kita perlu punya waktu untuk mengisi energi psikis kita lewat pertemanan yang otentik, pertemanan yang rileks, kita punya persahabatan yang kita bisa menampilkan diri apa adanya ada prinsip kasih karunia. Jadi membangun ikatan. Kemudian dengan pasangan dan keluarga, kita sengaja memberi waktu kencan dengan istri kita, seberapa pun usia pernikahan kita. Kencan dengan istri berarti merawat pernikahan, itu penting. Karena juga di dalam pernikahan yang dirawat itu bukan hanya untuk menunjang pekerjaan profesi karier dan pelayanan tapi disanalah Kristus dan jemaat, misteri kesatuannya sedang kita alami sedang kita rayakan, mengalami kebenaran firman Tuhan lewat merawat pernikahan kita. Apalagi untuk hal-hal spiritual seperti saat teduh, retreat pribadi, memberi waktu hari Sabat dalam mingguan kita, bulanan kita, tahunan kita. Jadi ini satu kesatuan, bagian dari batasan. Jangan sampai ketika kita mengisi lumbung orang lain, lumbung kita pribadi, lumbung pernikahan kita, lumbung makanan kita, lumbung....
Y : Spiritual kita.
SK : Iya. Lumbung emosi kita, lumbung anak-anak atau pasangan kita,yang masih menjadi tanggungan kita, kita abaikan. Disinilah berarti kita sedang bersalah, tidak menjadi penatalayan yang benar dari karunia yang Tuhan percayakan kepada kita.
Y : Terima kasih banyak, Pak Sindu atas uraiannya. Dan bahkan penerapannya sehingga dapat langsung diaplikasikan. Saya percaya ini bermanfaat bagi kita semuanya. Para pendengar sekalian, kami mengucapkan terima kasih, Anda telah mengikuti perbincangan kami dengan Bapak Sindunata Kurniawan, MK dalam acara TELAGA (TEgur sapa GembaLA KeluarGA). Kami baru saja berbincang-bincang tentang "Batasan Yang Sehat". Bagi Anda yang berminat untuk mengetahui lebih lanjut mengenai acara ini, silakan menghubungi kami lewat surat. Alamatkan surat Anda ke Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Jl. Cimanuk 56 Malang. Atau Anda juga dapat menggunakan e-mail ke alamat telaga@telaga.org. Kami juga mengundang Anda mengunjungi situs kami di www.telaga.org. Saran-saran, pertanyaan, serta tanggapan Anda sangat kami nantikan. Akhir kata dari studio kami mengucapkan terima kasih atas perhatian Anda dan sampai jumpa dalam acara TELAGA yang akan datang.