Gangguan Depresi Berat

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Eunike
Abstrak: 
Tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres. Dukungan sosial mencakup (a) dukungan emosional, seperti rasa dikasihi; (b) dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.
Isi: 

Major Depressive Disorder (MDD) merupakan gangguan jiwa yang dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Sekitar 15% penderitanya meninggal karena bunuh diri. Bagi penderita yang berusia di atas 55 tahun, angka kematiannya mencapai empat kali lebih tinggi. MDD sering kali berhubungan dengan penyakit medis lainnya; 20%-25% penderita penyakit seperti diabetes, gangguan jantung, kanker, dan stroke, berpotensi mengidap MDD.

Angka MDD dua kali lebih tinggi di kalangan wanita, baik yang remaja atau yang sudah dewasa. Angka MDD di kalangan wanita adalah antara 10%-25%, sedangkan di kalangan pria antara 5%-12%. Angka MDD lebih tinggi di kalangan orang yang berusia 25-44 tahun dan lebih rendah pada yang berusia di atas 65.

MDD dapat menyerang pada usia berapa pun namun pada umumnya pertengahan duapuluhan. MDD dapat sembuh secara total atau parsial; sepertiga dari kasus MDD tidak sembuh sama sekali. Sekitar 50%-60% kasus MDD terulang kembali dan 70% dari kasus pengulangan membuka peluang terjadinya serangan ketiga. Bagi yang pernah mengalami tiga penyerangan MDD, 90% berkemungkinan mengalami serangan keempat. Bagi yang mengalami penyembuhan parsial atau tidak tuntas, kemungkinan terkena kembalinya lebih besar.

Biasanya stres yang berat mendahului munculnya MDD, misalnya kematian seseorang yang dikasihi atau perceraian. Penyakit medis yang kronis atau ketergantungan narkoba (terutama alkohol atau kokain) juga memberi sumbangsih pada kemunculan MDD atau memperparah gejalanya. Angka MDD 1,5 sampai 3 kali lebih tinggi di kalangan kerabat kandung (first-degree biological relatives) dibanding masyarakat pada umumnya.

Dysthymic Disorder dibedakan dari MDD dalam hal keparahannya (severity), berapa kronisnya (chronicity), dan berapa alotnya (persistence). Pada MDD, suasana hati yang penuh depresi menguasai si penderita hampir sepanjang hari dan hampir setiap hari, selama sekurang-kurangnya 2 minggu. Pada Dysthymic Disorder, hari-hari yang ditandai dengan suasana hati yang depresif lebih sering muncul daripada yang sebaliknya, selama sekurang-kurangnya 2 tahun.

Ciri dan Kriteria

Untuk dapat didiagnosis dengan MDD, perlu adanya lima (atau lebih dari lima) gejala di bawah ini selama 2 minggu, yang menandakan perubahan fungsi sehari-hari. Salah satu dari gejala-gejalanya haruslah suasana hati yang depresif atau hilangnya minat atau kesenangan.

  1. Suasana hati yang depresif hampir sepanjang hari, hampir setiap hari, misalnya merasa sedih atau kosong, atau ditunjukkan melalui tangisan.
  2. Menurunnya minat atau kesenangan pada aktivitas sehari-hari, hampir sepanjang hari, hampir setiap hari.
  3. Menurunnya berat badan secara drastik meski tidak sedang berdiet atau bertambahnya berat badan, atau menurun atau bertambahnya selera makan hampir setiap hari.
  4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
  5. Bertambah cepat atau melambannya gerakan tubuh hampir setiap hari.
  6. Rasa letih atau kehilangan energi hampir setiap hari.
  7. Merasa tidak berharga atau merasa bersalah secara berlebihan atau tidak pada tempatnya, hampir setiap hari.
  8. Menurunnya kemampuan untuk berpikir atau berkonsentrasi, atau bingung dan ragu-ragu (indecisive), hampir setiap hari.
  9. Munculnya pikiran tentang kematian (bukan hanya takut mati), keinginan untuk membunuh diri walau tanpa rencana yang matang, atau mencoba membunuh diri atau merencanakan dengan matang untuk membunuh diri.

Stress

(Disadur dari Health Psychology: Clinical Methods and Research, oleh Charles K. Prokop, Laurence A. bradley, Thomas G. burish, Karen O. Anderson, Judith E. Fox)

Model biologis dari Hans Selye

Selye mendefinisikan stres sebagai respons umum dari tubuh terhadap segala jenis tuntutan (stresor) yang diberikan kepadanya. Menurut Selye, pada waktu menghadapi stresor, tubuh mengeluarkan reaksi-reaksi yang disebutnya general adaptation syndrome (GAS).

GAS terdiri dari tiga tahapan yakni:

  1. The alarm reaction
  2. , tahap di mana terjadi persiapan untuk melawan stresor;
  3. The stage of resistance
  4. , tahap di mana terjadi perlawanan terhadap stresor, dan
  5. The stage of exhaustion
  6. , tahap melemahnya perlawanan akibat keberadaan stresor yang berkepanjangan.

Model Psikofisiologis dari Richard Lazarus

Teori Lazarus berkembang dari pertanyaan, mengapa sesuatu bisa menjadi stresor bagi orang yang satu namun bukan stresor bagi orang yang lain. Menurut Lazarus, kuncinya terletak pada persepsi orang itu sendiri, yakni ia merasa terancam oleh stresor tersebut, dan bukan pada stresornya. Lazarus mendefinisikan stres sebagai kaitan tertentu antara seseorang dan lingkungannya di mana ia menilai kondisi itu sebagai sesuatu yang membebaninya atau melebihi kesanggupannya dan membahayakan kesejahteraannya.

Model stresnya terbagi dalam tiga tahapan. Pada tahap pertama, appraisal, seseorang membuat penilaian awal (primary appraisal) terhadap suatu stimulus, yakni berapa pentingnya stimulus itu terhadap kesejahteraannya. Jika ia menilai bahwa perjumpaan dengan stimulus itu tidak mempunyai pengaruh apa pun terhadapnya, maka kesimpulannya adalah irrelevant. Bila ia menganggap bahwa perjumpaan dengan stimulus itu malah akan melindungi atau memperkaya kesejahteraannya, maka kesimpulannya ialah benign-positive. Namun, manakala perjumpaan dengan stimulus itu mengandung bahaya, kehilangan, ancaman, atau tantangan, maka kesimpulannya adalah stress-appraisal.

Sewaktu penilaian stress-appraisal dibuat, orang itu pun melakukan penilaian berikutnya (secondary appraisal), yaitu apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi perjumpaan yang mengandung stres itu. Proses secondary appraisal digabung dengan primary appraisal menentukan reaksi emosional dan kadar stres yang dialaminya.

Tahap kedua ialah mengatasi stimulus yang dinilai membawa stres dengan menggunakan strategi yang dipikirkan pada secondary appraisal. Semua upaya untuk mengatasi stres dapat dikelompokkan dalam dua golongan: problem-focused coping dan emotion-focused coping. Problem-focused coping berusaha untuk mengubah atau menguasai stimulus yang membawa stres itu. Emotion-focused coping berupaya untuk mengubah atau menguasai respons emosional orang itu terhadap stimulus yang membawa stres, misalnya menyangkal keadaan, melemaskan badan, mendapatkan dukungan, atau memperoleh makna hidup.

Tahap ketiga ialah hasil (outcome) yang terbagi dalam tiga kelompok: (a) berfungsi kembali dalam pekerjaan dan kehidupan sosial; (b) memperoleh kepuasan hidup; dan (c) sehat jasmani.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres

  1. Faktor perilaku
  2. .

    Tatkala seseorang menjumpai stresor dalam lingkungannya, ada dua karakteristik pada stresor tersebut yang akan mempengaruhi reaksinya terhadap stresor itu yaitu:

    1. Berapa lamanya (duration) ia harus menghadapi stresor itu dan
    2. berapa terduganya stresor itu (predictability).
  3. Faktor psikologis
  4. .

    Ada tiga faktor psikologis yang terlibat di sini.
    Pertama adalah perceived control yakni keyakinan bahwa seseorang dapat menguasai stresor itu. Orang dengan internal locus of control (peristiwa yang terjadi sangat dipengaruhi oleh perilakunya) cenderung lebih mampu mengatasi stres dibanding dengan orang dengan external locus of control (peristiwa yang terjadi bergantung pada nasib, keberuntungan atau orang lain).

    Kedua, learned helplessness adalah reaksi tidak berdaya akibat seringnya mengalami peristiwa yang berada di luar kendalinya. Produk akhirnya adalah motivational deficit (menyimpulkan bahwa semua upaya adalah sia-sia), cognitive deficit (kesulitan mempelajari respons-respons yang dapat membawa hasil yang positif) dan emotional deficit (rasa tertekan karena melihat bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa dan situasinya tak terkendalikan lagi).

    Ketiga ialah hardiness (keberanian, ketangguhan) yang terdiri dari tiga karakteristik:

    1. Keyakinan bahwa seseorang dapat mengendalikan atau mempengaruhi apa yang terjadi padanya;
    2. Komitmen, keterlibatan, dan makna pada apa yang dilakukannya hari demi hari; dan
    3. fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi, seakan-akan perubahan merupakan tantangan untuk pertumbuhannya.
  5. Faktor sosial
  6. .

    Peristiwa penting dalam hidup seperti pernikahan atau kehilangan pekerjaan merupakan stresor sosial yang berpengaruh. The Social Readjustment Rating Scale oleh T. H. Holmes dan R. H. Rahe di bawah ini mendaftarkan peristiwa penting dalam hidup dan kandungan stresornya.

    1. Kematian suami/istri 100
    2. Perceraian 73
    3. Perpisahan nikah 65
    4. Dipenjarakan 63
    5. Kematian anggota keluarga dekat 63
    6. Kecelakaan atau sakit berat 53
    7. Pernikahan 50
    8. Pemutusan hubungan kerja 47
    9. Rujuk nikah 45
    10. Pensiun 45
    11. Perubahan kesehatan atau perilaku anggota keluarga 44
    12. Kehamilan 40
    13. Problem seksual 39
    14. Bertambahnya anggota keluarga 39
    15. Perubahan dalam pekerjaan (merger, bangkrut) 39
    16. Perubahan besar dalam keuangan (baik atau buruk) 38
    17. Kematian sahabat 37
    18. Pindah karier 36
    19. Perubahan frekuensi pertengkaran dengan pasangan 35
    20. Berhutang 31

Selain peristiwa penting, ternyata tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan jiwa, seperti kecemasan dan depresi. Dukungan sosial turut mempengaruhi reaksi seseorang dalam menghadapi stres.

Dukungan sosial mencakup:

  1. Dukungan emosional, seperti rasa dikasihi;
  2. Dukungan nyata, seperti bantuan atau jasa; dan
  3. Dukungan informasi, misalnya nasehat dan keterangan mengenai masalah tertentu.

Comments

Artikel yang bagus ! Barangkali artikel "gangguan depresi" berikut juga berguna bagi rekan rekan lainnya. Klik -> Gangguan Depresi ?