Tulang dari Tulangku

Versi printer-friendly
“Anak laki-laki ngga boleh kerja di dapur!” teriak nenek ke adik laki-laki saya dan adik saya pun segera berlari kembali bermain. Dalam benak saya bertanya-tanya, mengapa harus anak perempuan yang membantu di dapur sementara anak laki-laki bebas bermain tanpa harus membantu di dapur atau melakukan pekerjaan rumah lainnya. Meskipun saya tidak mengerti alasannya, tapi saya tidak pernah berani bertanya karena mempertanyakan aturan orang dewasa dianggap tidak menghormati otoritas orang dewasa. Jadi meskipun saya tidak suka dengan perbedaan itu, saya selalu taat mengikuti semua perintah orang tua. Meski ketika saya lelah atau ingin bermain, ingin sekali rasanya menjadi anak laki-laki dan bukan anak perempuan. Bertahun-tahun telah berlalu, dan kini saya mengambil studi S3 di Belanda setelah menyelesaikan S2 di bidang penelitian psikologi. Entah mengapa pertanyaan saya waktu saya kecil kembali muncul. Mengapa hanya anak perempuan yang memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah atau mengawasi adik bayi? Pertanyaan ini muncul karena saya melihat sesuatu yang sungguh berbeda di Belanda. Beberapa kali saya diundang makan oleh beberapa sahabat yang orang Belanda, dan kebetulan mereka perempuan. Menariknya, dalam kesempatan yang berbeda bersama keluarga yang berbeda, ada satu hal mirip yang terjadi. Ketika saya datang, sang istri yang adalah teman saya, yang menemani saya ngobrol sementara suaminya sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan di meja (bahkan memasak). Bukankah akan terjadi sebaliknya jika saya diundang makan di Indonesia? Kemungkinan besar yang terjadi di Indonesia adalah suaminya yang kan menemani saya sebentar hingga istri selesai menyiapkan makanan di meja. Sebelum melanjutkan S3, saya juga sempat bekerja untuk IFES (PERKANTAS) selama setahun dan hampir semua kolega saya bekerja untuk beberapa hari saja dalam seminggu. Pasangan mereka pun bekerja hanya beberapa hari seminggu, tiga atau empat hari. Mereka bergantian bekerja dan suami atau istri yang hari itu tidak bekerja bertugas menjaga anak-anak, termasuk mengantar dan menjemput sekolah, menyiapkan makanan, memasak, mencuci dan membersihkan rumah. Sebuah konsep yang tidak pernah ada dalam pikiran saya sebelumnya bahwa itu mungkin dilakukan. Tentu saja Indonesia dan Belanda sangatlah berbeda dalam hak-hak kaum pekerja. Tidaklah mungkin di Indonesia mengajukan permohonan untuk bekerja hanya tiga hari saja dalam seminggu tanpa resiko kehilangan posisi dalam kariernya. Sementara di Belanda, sangatlah mungkin bekerja salama setengah minggu dan tetap mendapatkan hak penuh sebagai karyawan termasuk tunjangan, hari libur, asuransi, dan pensiun. Perbedaan fenomena ini membuat saya berpikir bagaimana mungkin ini dapat dilakukan? Sebelum menjadi negara sekuler, Belanda adalah negara Kristen dan nilai-nilai kekristenan masih berpengaruh sampai sekarang meskipun 80% penduduknya tidak lagi percaya Yesus. Beberapa nilai Kristen yang masih terus ada antara lain kejujuran dan integritas, persamaan hak dan kewajiban setiap orang tidak peduli jenis kelain, suku dan rasnya. Nilai-nilai ini jelas terbaca dalam banyak hal. Misalnya transportasi umum yang memperhatikan pelayanan untuk kaum cacat dan ibu-ibu yang membawa bayi, sistem pajak berjenjang yang memperkecil kesenjangan si kaya dan si miskin karena orang kaya membayar hingga 60% dari total penghasilannya sementara yang miskin mungkin 0%, atau peraturan ketenagakerjaan yang sangat berpihak pada kesetaraan hal semua orang (gender, ras, kesehatan, dsb). Peraturan ketenagakerjaan ini tidak hanya memungkinkan suami dan istri dapat sama-sama bekerja dan sama-sama punya waktu untuk anak-anak di rumah, tapi juga menyediakan kesempatan kerja untuk lebih banyak orang. Karena satu pekerjaan dapat dilakukan oleh dua orang sehingga bukan Cuma satu orang yang mendapat penghasilan, namun dua orang sekaligus sama-sama mendapat penghasilan. Misalnya anak teman saya yang duduk di kelas 1 sekolah dasar memiliki dua guru kelas, satu guru masuk tiga hari dalam seminggu dan guru yang lain dua hari dalam seminggu untuk mengajar di kelas yang sama. Bukankah sangat ideal jika pria dan wanita menjadi rekan sekerja yang sejajar dalam segala hal, baik dalam urusan domestik maupun karier di luar rumah. Menjadi ‘tulang dari tulangku’dan ‘daging dari dagingku’. Dalam hal ini bekerja membanting tulang bagi keluarga adalah hak dan kewajiban yang sama bagi suami dan istri karena mereka adalah ‘tulang yang sama’, juga suami dan istri bekerja sama merawat anak-anak yang adalah darah daging mereka karena suami dan istri adalah daging yang sama. Hmm.. mungkin sebuah mimpi yang panjang untuk diraih di Indonesia, terlebih lagi karena banyak orang masih memandang wanita memiliki peran kerja yang berbeda dari pria. Beberapa mahasiswa dari China (yang memiliki budaya mirip dengan Indonesia) yang datang untuk makan bersama dengan teman saya yang orang Belanda tadi bahkan berkomentar, “Wah, mungkin seperti inilah surganya orang Kristen ya.. Suami dan istri setara dan dapat bekerja sama dalam segala hal” (mereka melihat sendiri si suami sedang memasak waktu mereka datang, lalu istri mencuci piring selesai kami makan sementara suami membersihkan muka anak-anak yang belepotan karena makanan. Kemudian suami menidurkan anak-anak, sementara istri ngobrol dengan para tamu). Dan mahasiswa-mahasiswa dari China yang tadinya komunis dan tidak percaya Tuhan itu pun sekarang telah dibaptis karena mereka ‘melihat surga’.