Natal Tanpa Yesus

Versi printer-friendly
oleh Sdri. Betty Tjipta Sari

Sewaktu aku tinggal di sebuah rumah mahasiswa di pusat kota Tilburg bersama 3 mahasiswa Belanda yang tidak percaya Tuhan, satu orang bertanya "apakah Tuhan itu" menurutku. Sebelum menjawab, aku balik bertanya tentang apa kesan dia atau apa yang dia tahu tentang Tuhan. Dia menjawab dengan lugu bahwa kesan dia satu-satunya tentang Tuhan adalah seorang pria berjenggot seperti ada dalam lukisan-lukisan sebelum abad pertengahan, karena di keluarganya tidak pernah satu kali pun orang berbicara tentang Tuhan. Lalu aku bertanya apa yang dia tahu tentang Yesus, dan dia menjawab tidak tahu. Lalu aku bertanya tentang apa yang dia tahu tentang Natal, dan dia menjawab bagi dia dan keluarganya yang atheis, Natal adalah waktu untuk menerima banyak hadiah dan makan banyak makanan yang lezat. Nama Yesus tidak pernah terdengar satu kali pun (termasuk dalam musik yang mereka dengarkan). Aku pun bertanya apakah dia punya teman Kristen yang merayakan Natal dengan cara berbeda, dan dia menjawab dia tidak pernah punya teman Kristen. Wow!! Aku pun terpana dan tidak mengerti bagaimana mungkin dia tidak pernah bertemu dengan orang Kristen dan tidak pernah mendengar kata "Yesus"disebutkan (kecuali saat orang memaki, misalnya menjatuhkan gelas kristal orang Belanda akan mengeluarkan makian,"O, Jesus!!" karena kesal) di negeri yang penuh dengan bangunan gereja (yang sepi pengunjung) dan selalu merayakan Natal setiap tahun. Kata dia, aku adalah satu-satunya orang Kristen pertama yang dia tahu dan berbeda dari bayangannya tentang orang Kristen. Yang dia bayangkan tentang orang Kristen adalah seorang yang selalu berbaju hitam, tidak pernah tersenyum dan membosankan. Kata dia, aku sama sekali berbeda dari yang dia bayangkan.


Negeri ini memang sudah lama menjadi sekuler dan semua hal yang berbau religius dianggap aneh dan tidak sesuai lagi dengan kehidupan modern. Orang merayakan Natal tanpa Yesus di dalamnya. Semua supermarket mempromosikan makanan spesial Natal tanpa menyebut satu kali pun kelahiran Yesus. Semua orang menghias rumah dan jalanan dengan lampu-lampu yang indah, tanpa menyadari ada terang sejati yang dapat menyinari hati mereka. Banyak toko menawarkan potongan harga untuk hadiah Natal, tapi tidak pernah menyebut ada hadiah yang lebih indah yang Tuhan ingin berikan. Namun, kalau kita telusuri sejarah Natal di negara Barat, memang Natal banyak dikaitkan dengan tradisi pagan sebelum kekristenan datang. Jadi kalau sekarang Natal menjadi budaya sekuler di negara-negara Barat tanpa Yesus di dalamnya, aku pikir Tuhan Yesus pun tidak terlalu pusing dengan sekularisasi Natal. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah "Di mana orang Kristen di negeri ini bersembunyi, sehingga orang tidak pernah melihat Yesus dalam diri mereka?"


Rupanya banyak orang Kristen nyaman tinggal dalam zona aman, berkumpul dengan kelompoknya sendiri, berteman dengan orang yang sama-sama Kristen, dan tidak akan mengungkapkan identitas kekristenannya di tempat kerja karena takut dianggap bodoh dan naif. Observasiku ini pun dikonfirmasi oleh teman-teman Belanda yang juga Kristen. Entah mengapa banyak orang Kristen di sini mengalami ketakutan kolektif untuk tampil sebagai terang, dan menyembunyikan pelitanya di bawah gantang. Bagaimana bisa orang melihat terang Natal dalam diri Yesus kalau orang Kristen tidak mau menampaknya dirinya? Aku pun berandai-andai… mungkin ini alasan mengapa Tuhan membawaku ke Belanda, yang aku pikir tadinya sebelum ada di Belanda, adalah negara Kristen. Tadinya aku heran mengapa Tuhan membawaku ke negara yang sudah banyak orang percayanya, bukan ke tempat lain yang masih perlu Injil. Rupanya, hanya sedikit jumlah orang yang benar-benar percaya pada Tuhan Yesus dan dari yang sedikit jumlahnya ini pun kebanyakan takut bersaksi (jangankan bersaksi, mengaku Kristen saja kadang malu).


"Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang,

melainkan di atas kaki dian, supaya semua orang yang masuk dapat melihat cahanyanya"

(Lukas 11:33)