Ketundukan Sejati

Versi printer-friendly
Maret

Berita Telaga Edisi No. 160 /Tahun XIV/Maret 2018


Diterbitkan oleh Lembaga Bina Keluarga Kristen (LBKK) Sekretariat: Jl.Cimanuk 56 Malang 65122 Telp.: 0341-408579, Fax.:0341-493645 Email: telagatelaga.org Website: http://www.telaga.org Pelaksana: Melany N.T., Rr. Fradiani Eka Y. Bank Account: BCA Cab. Malang No. 011.1658225 a.n. Melany E. Simon





Ketundukan Sejati


Berikut akan dipaparkan beberapa masukan untuk menerapkan Firman Tuhan dalam hal ketundukan.

  1. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan; ketundukan sejati keluar dari hati yang mengasihi. Salah satu cara untuk mengasihi suami adalah dengan cara meneropong kelemahannya dari kacamata kekuatannya. Dengan kata lain, bangunlah relasi di atas dasar kekuatan, bukan kelemahan. Peliharalah kekuatan dengan cara menyuburkannya yakni memberi pujian dan dorongan untuk mengembangkan sisi terbaik pada dirinya.
  2. Ketundukan sejati tidak dapat lahir dari keterpaksaan namun demikian ketundukan sejati dipertahankan lewat keterpaksaan. Maksudnya adalah kadang kita harus memaksa diri tunduk kendati tidak ingin dan tidak rela demi mendahulukan kehendak suami. BELAJARLAH UNTUK MENUNDA; jangan memaksakan kehendak. Berhubung suami adalah kepala keluarga, kita tidak bisa dan tidak seharusnya membantahnya secara langsung atau menunjukkan sikap memberontak.
    1. Menunda berarti mencari kesempatan lain yang lebih tepat untuk mendiskusikan suatu hal.
    2. Menunda juga berarti menyiapkan suami untuk lebih dapat memahami keinginan dan pemikiran kita. Adakalanya ia tidak menerima pendapat kita sebab ia tidak mengerti sedalam-dalamnya apa yang terkandung di hati.
    3. Menunda juga berarti mendoakan suami supaya ia rela mengesampingkan egonya dan lebih memikirkan kepentingan kita.
  3. Kita harus menyadari siapakah diri kita. Ada di antara kita yang memang berkarakter keras dan dominan dan kita perlu mengakui fakta ini.
    1. Mungkin kita dibesarkan dalam keluarga di mana ibu berperan sepenuhnya sedang ayah hampir-hampir tidak memunyai peranan apa pun.
    2. Mungkin semua saudara kita adalah perempuan sehingga pada akhirnya kita menjadi suara terbanyak dalam keluarga.
    3. Mungkin memang kita memiliki tingkat keegoisan yang tinggi dan sukar mengalah sehingga kehendak sukar dibendung. Kesadaran ini penting sebab bila kita tidak memiliki kesadaran ini, maka kita cepat menuding suami sebagai pihak yang bersalah, bahwa dialah yang membuat kita marah dan berbuat ini dan itu.

      • Jika kita menyadari memang inilah diri kita—wanita yang keras dan dominan—kita mesti berusaha keras menahan mulut untuk mengeluarkan pendapat dengan segera.
      • Kita pun mesti berusaha menahan diri untuk mengambil keputusan sendiri tanpa mengkonsultasikannya dengan suami. Dari awal pernikahan kita mesti mendisiplin diri untuk mengkonsul-tasikannya dengan suami walaupun ada kemungkinan kita akan beradu pendapat alias konflik.
      • Terpenting adalah secara berkala kita harus mengalah—meski mungkin saja pendapat kita jauh lebih baik daripada pendapat suami. Sikap mengalah yang diperlihatkan secara berkala akan mengkomunikasikan citra kepada suami bahwa kita bukanlah orang yang mau menang sendiri alias egois. Ketika suami melihat bahwa kita tidak egois, ia pun akan lebih terdorong untuk mengalah dan memertimbangkan pendapat kita. Apabila kita dapat memulai dan memertahankan pola relasi seperti ini, pada akhirnya pengambilan keputusan akan menjadi proses pencarian keputusan terbaik, bukan ajang menang - kalah.

Firman Tuhan mengajarkan agar kita tidak mendahulukan kepentingan pribadi; sebaliknya, kita harus mendahulukan kepentingan yang lain. "Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama daripada dirinya sendiri." (Filipi 2:3). Jika kita beranggapan bahwa kita tidak harus tunduk kepada siapa pun—termasuk suami—pastilah kita akan menuai badai konflik terus menerus. Dan, ini bukanlah rencana Tuhan.

Oleh : Pdt. Dr. Paul Gunadi

Audio dan transkrip secara lengkap bisa didapatkan melalui situs www.telaga.org dengan kode T309B.

TELAGA

Tanya

Shalom, Suami saya adalah orang yang malas, khususnya malas dalam bekerja (mencari nafkah), padahal sebenarnya dia mampu. Selama ini kebutuhan saya dan anak dipenuhi oleh ibunya suami (mertua saya) yang terbilang cukup, tapi saya tidak puas bukan karena jumlah melainkan karena saya berharap uang yang saya terima adalah hasil dari keringat suami saya sendiri. Saya pikir tidak akan selamanya orangtua bersama kita, ada saatnya kita berpisah. Apa yang akan terjadi dengan suami saya jika orangtuanya sudah tidak ada, walaupun orangtuanya sudah memikirkan matang-matang.

Saya sudah coba membicarakan ini dengan suami maupun mertua, saya sampaikan harapan-harapan saya. Tapi tidak ada perubahan, karena suami saya sudah diberi jaminan oleh orangtuanya, bahwa, "Kamu dan keluargamu sudah terjamin oleh ibu, sekarang kamu turuti saja maunya ibu. Kamu tidak usah takut sengsara." Padahal roda selalu berputar, ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah.

Saya mengharapkan kemandirian dari seorang suami. Bagaimana lagi saya harus menyampaikan keinginan saya kepada mereka (mertua dan suami)? Mohon masukannya. Terima kasih.

Jawab

Shalom, Ibu yang terkasih, Tidak ada jalan selain terus berbicara kepada suami dengan nada positif, memberinya dorongan untuk mandiri dan mengingatkannya bahwa di dalam dunia tidak ada yang permanen. Tidak usah sering-sering, tapi lakukanlah secara berkala. Selain dari mengingatkan suami akan ketidakkekalan dunia, Ibu juga perlu mengingatkannya bahwa orangtua adalah suri tauladan bagi anak. Singkat kata, anak baru dapat respek dan belajar bekerja bila melihat orangtua bekerja.

Hal kedua yang Ibu bisa lakukan adalah perlahan-lahan mencari lapangan kerja atau mempersiapkan diri masuk ke ladang kerja. Jika suami bertanya, katakan kepadanya bahwa Ibu harus melakukan ini sebab Ibu harus bertanggung jawab menafkahi anak-anak bila sesuatu terjadi pada ibu mertua.

Demikian tanggapan yang dapat saya berikan, mudah-mudahan bermanfaat.

Salam : Paul Gunadi

Doakanlah

  1. Bersyukur dalam rangka HUT Telaga ke-20, dua buku royalti yaitu "Memahami Remaja dan Pergumulannya" dan "Memaksimalkan Karier Anda" (diskon 50%) telah terjual habis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
  2. Bersyukur dalam bulan ini telah direkam 2 judul baru oleh Ev. Sindunata Kurniawan sebagai narasumber.
  3. Bersyukur Telaga dapat ikut memeriahkan acara Konsultasi Misi SAAT ke-IV di SAAT, Malang bersama 21 Yayasan/Lembaga lainnya.mulai tgl. 13 – 15 Maret 2018, ada cukup banyak booklet/buku yang terjual.
  4. Bersyukur 6 rekaman video dan fragmen sudah bisa diunggah ke youtube berkat bantuan dari Sdr. Jethro.
  5. Tetap doakan untuk rencana penerbitan buku "Panduan Bijak Berpacaran Sehat" oleh Literatur SAAT dan "Sayang dan Berharga" oleh C.V. Evernity Fisher Media.
  6. Doakan untuk Seminar yang diadakan oleh Pancaran Anugerah untuk pasutri pada tgl. 12 Maret 2018 di SAAT, Malang dengan tema "Manajemen Konflik" yang disampaikan oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi. Telaga akan ikut memeriahkan acara tersebut.
  7. Doakan untuk rekaman lanjutan bersama Bp. Paul Gunadi sebagai narasumber dalam bulan April 2018.
  8. Doakan agar ada tambahan radio yang bersedia bekerjasama menyiarkan program Telaga.
  9. Bersyukur untuk donasi yang diterima dalam bulan ini dari donatur tetap, yaitu:
    006 – Rp 250.000,- untuk 2 bulan
    010 – Rp 2.000.000,- untuk 4 bulan

Buku Tamu

Catharina Kristanto,

Pendengar Radio Star FM 105,5 MHz Pandaan – Jawa Timur

Sahabat Yesus,
Terima kasih atas siaran TELAGA setiap pagi Senin – Jumat. Saya sangat terberkati dengan acara ini dengan topik yang nyata jaman now.

Semoga Star FM makin diberkati dan jadi berkat lebih lagi.

Informasi

TELAGA mendukung dan memeriahkan Seminar Pasutri yang diadakan oleh Pancaran Anugerah Malang dengan membuka Booth TELAGA. Info mengenai seminar tersebut tersaji dalam gambar di bawah ini: