Tantangan Penggembalaan: Tetap Mendarat

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T557B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Tantangan seorang gembala adalah bagaimana untuk tetap mendarat; dalam pengertian tetap bisa mengerti pergumulan jemaat, tetap menyatu dengan jemaat, tidak terus menerus melambung sehingga akhirnya tidak lagi bersentuhan dengan kehidupan yang nyata. Masalahnya semakin dihargai semakin besar pula kemungkinan kita besar kepala dan angkuh, tidak peduli dengan perasaan orang, dan semakin melambung ke atas.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Makin lama kita melayani sidang jemaat, makin besar kemungkinan kita akan diterima dan dihargai. Sudah tentu ini hanya akan terjadi bila kita melayani dengan baik. Masalahnya adalah, makin dihargai, makin besar pula kemungkinan kita besar kepala. Akhirnya kita menjadi angkuh, tidak peduli dengan perasaan orang dan makin melambung ke atas. Singkat kata, kita makin tidak bersentuhan dengan kehidupan dan pergumulan jemaat. Berikut akan dipaparkan beberapa saran agar kita sebagai gembala tetap mendarat, meski disanjung jemaat.


  1.  Kita Senantiasa Mesti Mengingatkan Diri Bahwa Kita Adalah Pelayan. Sebagai gembala kadang kita harus memimpin dan mengatur, tetapi pada dasarnya kita adalah pelayan. Tuhan Yesus memanggil kita untuk melayani, bukan untuk dilayani; dan Ia telah memberi teladan untuk itu. Jadi, biasakan diri untuk tidak menuntut; bukankah pelayan tidak menuntut, melainkan melayani tuntutan? Juga, biasakan diri untuk berpikir secara riil, bukan teoritis, dan bertanya, "Bagaimana saya bisa melayani jemaat dengan lebih baik?" Di dalam menyampaikan Firman Tuhan, sedapatnya kita tidak membicarakan diri sendiri. Adakalanya kita perlu menceritakan pergumulan pribadi supaya jemaat tahu bahwa kita pun mengalami pergumulan yang sama. Namun, jangan sampai kita asyik membicarakan diri sendiri. Jangan sampai kita jatuh ke dalam godaan untuk memerlihatkan, betapa pandainya dan berpengetahuannya kita. Ingat, seorang pelayan tidak membicarakan dirinya; ia hanya mengerjakan perintah tuannya. Jadi, dalam menyampaikan Firman, kita harus tetap fokus pada Firman Tuhan; ingat, pergeseran dimulai sewaktu mata mulai sering memandang diri sendiri.
  2. Kita Harus Memilih Untuk Merendah. Ada banyak kesempatan yang muncul untuk meninggikan diri dan kita mesti melawan godaan itu. Keberhasilan adalah topik pembicaraan yang bukan saja memuaskan tetapi juga menguatkan. Membicarakan keberhasilan membuat kita merasa diri benar dan baik; dan ini makin memperkokoh kepercayaan diri sekaligus mengingatkan orang untuk lebih mendengarkan perkataan kita. Kita adalah pelayan Kristus; jadi, nantikanlah pujian Kristus, bukan manusia—baik itu diri sendiri ataupun orang lain. Kadang kita tergelitik untuk mengingatkan orang bahwa apa yang kita katakan dulu terbukti benar. Kita ingin orang mengakui bahwa pemikiran dan saran kita baik; apalagi bila orang tidak menggubrisnya dulu, makin besar keinginan untuk mengingatkan orang bahwa pendapat kita ternyata benar. Jangan sampai kita terjebak masuk ke perangkap meninggikan diri sebab sekali masuk, kita susah keluar. Kita akan sulit merendahkan diri. Lukas 14:11 mengingatkan, "Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."
  3. Kita Harus Tetap Menyisihkan Waktu Untuk Berkunjung. Saya mengerti betapa tidak mudahnya membagi waktu di dalam pelayanan, apalagi bila kita makin dikenal dan makin sering diundang. Dalam kesibukan biasanya bagian pelayanan yang kita kurangi adalah perkunjungan. Pada awalnya kita TERPAKSA mengurangi tetapi lama-kelamaan kita TERUS mengurangi sampai akhirnya berkunjung bukan lagi bagian dari pelayanan kita. Tugas pastoral pun terpangkas menjadi dua: memersiapkan dan menyampaikan. Pada akhirnya kita pun makin terpisah dari jemaat dan makin jauh melambung ke atas—jauh dari kenyataan. Berkunjung adalah pintu masuk ke dalam kehidupan jemaat; lewat perkunjungan kita berkesempatan melongok kebutuhan dan pergumulan jemaat. Alhasil kita pun turut merasakan kemenangan dan kegagalan mereka. Jadi, dapat kita simpulkan lewat perkunjungan kita disatukan dengan jemaat; kita mengerti dan merasakan denyut jantung mereka. Bukan saja khotbah kita tetap mendarat, sikap kita pun makin mendarat, tidak muluk dan tidak angkuh. Tuhan Yesus menghabiskan waktu-Nya bersama dengan para murid dan orang yang dilayani-Nya. Ia tidak menunggu orang datang mencari-Nya di Bait Allah; sebaliknya, Ia mencari mereka. Dengan kata lain, Tuhan Yesus mengunjungi orang di mana mereka berada—ada yang berada di perigi sumur, ada yang berada di tepi pantai, ada yang berada di danau, ada yang berada di rumah, ada yang berada di jalanan, ada yang tengah berduka, dan ada yang tengah bersuka. Tidak heran, Ia mengerti pergumulan kita, sebagaimana diungkapkan dalam Ibrani 4:14-15, "Karena kita sekarang mempunyai Imam Besar Agung, yang telah melintasi semua langit, yaitu Yesus Anak Allah, baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita. Sebab Imam Besar yang kita punya, bukanlah imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahankelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Ia telah dicobai; hanyalah tidak berbuat dosa."
  4. Kita Mesti Mencegah Jemaat Untuk Mengidolakan Kita. Mungkin kita berpikir, selama kita tidak meninggikan diri, itu sudah cukup. Sesungguhnya, itu belum cukup. Kita harus berbuat lebih; kita mesti berusaha mencegah jemaat meninggikan kita. Ada banyak cara untuk mencegah jemaat mengidolakan kita, salah satunya adalah dengan mengakui kelemahan atau kekeliruan kita secara terbuka. Jangan ragu untuk mengakui pergumulan kita sewaktu kita tengah mengkhotbahkan sesuatu yang kita sadari, kita pun masih bergumul untuk melakukannya. Jangan sampai kita memberi kesan bahwa hidup kita ibarat jalan tol tanpa hambatan. Tidak. Ibarat di jalan tikus, hidup ini berliku dan berlubang. Cara lain adalah dengan tidak memberi umpan kepada jemaat untuk memuji kita. Memang benar kita tidak dapat menghentikan jemaat memuji kita, tetapi kita bisa menghentikan jemaat untuk TERUS memuji kita. Jangan tampik pujian orang; berterima-kasihlah, kemudian lanjutkan percakapan. Di dalam acara atau kegiatan gerejawi, biasakan orang lain memberi sambutan; tidak selalu harus kita yang mendapat kehormatan itu.
  5. Kita Mesti Bertekad Untuk Tidak Meninggalkan Jejak Kaki Kita di Pelayanan. Ya, jejak kaki yang mesti ditinggalkan adalah jejak kaki Yesus, Tuhan dan Juruselamat kita. Sejak awal memulai pelayanannya, Dr. James Dobson, seorang psikolog Kristiani yang dikenal luas di Amerika, memutuskan bahwa ia tidak mau meninggalkan jejak kakinya di pelayanan yang dirintisnya, Focus on the Family. Ia mempersembahkan pelayanan itu sepenuhnya kepada Tuhan. Secara perlahan ia pun mulai melepaskan diri dari pelbagai jabatan yang dipegangnya dan pada akhirnya ia meninggalkan pelayanan itu untuk memulai pelayanan yang baru. Ya, kita hanyalah hamba; kita hanya mengerjakan apa yang ditugaskan oleh tuan kita, Yesus Putra Allah.