Pernikahan Dibangun Di Atas Kebaikan, Bukan Kesabaran

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T544B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu pondasi pernikahan ialah kesabaran, dan kesabaran membutuhkan penerimaan serta pengertian kepada pasangan yang berbeda dengan kita. Tidak cukup hanya bersabar, dibutuhkan pula kebaikan terhadap pasangan agar kita dapat menolongnya untuk berubah lebih positif dengan penuh kasih dan kesabaran.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Kita mesti memunyai kesabaran di dalam segala hal, termasuk di dalam pernikahan. Kesabaran berarti menerima kelemahan—dan segala hal yang tidak kita sukai pada pasangan. Kesabaran adalah fondasi pernikahan; tanpa kesabaran, kita terus menuntut dan akhirnya berkelahi. Itu sebab penting bagi kita untuk belajar menerima pasangan apa adanya dan berdoa serta menanti perubahan yang diharapkan. Selain dari kesabaran, ada satu lagi yang penting yaitu kebaikan .Kita mesti memunyai kebaikan di dalam segala hal, termasuk di dalam pernikahan. Kebaikan berarti melakukan perbuatan yang positif dan yang diperlukan untuk melengkapi kelemahan pasangan. Tanpa kebaikan, pernikahan akan terus berada di tahap bertahan hidup—terus menerima kelemahan pasangan. Untuk membuat pernikahan hidup, kita harus berbuat lebih dari sekadar bersabar dan menerima kelemahan pasangan. Kita pun mesti berbuat baik kepada pasangan, mengulurkan tangan untuk menolongnya. Ada banyak kebaikan yang biasanya dibutuhkan oleh pasangan; untuk memudahkan, saya akan memasukkan semuanya kedalam tiga golongan: (a) tidak tahu, (b) tidak bisa dan (c) tidak siap.

  1. Tidak tahu..Ada orang yang tahu banyak. Melalui apa yang terus dibaca dan didengarnya, ia memeroleh banyak pengetahuan. Biasanya orang ini memunyai minat yang luas; ia senantiasa ingin mencari tahu karena pengetahuan membuatnya bergairah. Sebaliknya, ada orang yang tahu sedikit. Pada umumnya orang ini memunyai minat yang terbatas; itu sebab dorongan untuk mencari tahunya lemah. Ia puas dengan apa yang diketahuinya dan tidak memunyai kebutuhan untuk menambahkannya. Orang ini cenderung memandang hidup secara sederhana dan berusaha menghindar dari kerumitan.Ia tidak suka berwacana; ia lebih memilih untuk mengerjakan apa saja secara praktis. Di dalam pernikahan, perbedaan ini berpotensi menimbulkan masalah. Orang yang tahu banyak membutuhkan sesama orang yang tahu banyak untuk berdialog.Jika ia berpasangan dengan orang yang tidak tahu banyak dan berpikir secara sederhana dan praktis, tidak bisa tidak, percakapan menjadi terbatasi. Banyak hal yang ada di benaknya tidak bisa dibagikannya, karena ia tahu pasangannya tidak berminat untuk mendengarkannya. Kalau pun berminat, belum tentu ia dapat memahaminya. Kebaikan ditunjukkan sewaktu kita, bukan saja bersabar melihat dan menerima kelemahan pasangan, tetapi juga berusaha memberitahukan apa yang tidak diketahuinya, tanpa harus memarahinya. Ini tidak mudah. Kecenderungan kita, pada awalnya kita bersabar tetapi lama kelamaan kita kehilangan kesabaran. Bukan saja kita tidak berminat berbicara dengannya—karena kita tahu tidak akan nyambung—kita pun enggan untuk memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Kita lelah. Idealnya pasangan menyadari kelemahannya dan berusaha memerbaiki diri dengan cara menambah pengetahuan. Sudah tentu adalah baik bila ini dapat dilakukannya; masalahnya, besar kemungkinan ini tidak dilakukannya. Pada akhirnya kita mesti bersabar menerima dirinya apa adanya dan berusaha memberitahukan apa yang perlu diketahuinya. Bila kita berhasil melakukannya, pasangan akan menghargai perbuatan kita dan melihatnya sebagai kebaikan. Pada waktu itulah—pada saat ia melihat dan menerima kebaikan kita—ia akan lebih termotivasi untuk menambal kekurangannya.
  2. Tidak bisa. Ada orang yang bisa banyak. Ia bisa bekerja dan membawa penghasilan yang memadai. Ia bisa mengurus rumah—membersihkan dan merawat rumah—dari menyapu sampai membetulkan atap yang bocor. Ia pun pandai memasak dan membeli keperluan rumah secara bijak dan ekonomis. Dalam hal mengasuh anak, ia memunyai talenta alamiah. Ia pandai menggendong dan memandikan anak sewaktu bayi, dan ia pun dapat menidurkan anak dengan mudah. Sebaliknya, ada orang yang tidak bisa banyak. Ia kurang bisa bekerja dan menghasilkan uang, Ia kurang bisa mengurus rumah; ia tidak dapat membersihkan dan merawat rumah secara saksama. Ia juga kurang mahir memasak dan tidak ekonomis dalam membeli keperluan rumahtangga. Dalam hal mengasuh anak, iapun tidak alamiah. Ia mesti belajar menggendong dan memandikan anak, dan ia pun sulit duduk lama mengajarkan anak. Singkat kata, kebisaannya terbatas. Dalam pernikahan, perbedaan ini biasanya memunculkan masalah; yang bisa banyak akhirnya merasa lelah mengerjakan hampir semua tugas rumah tangga. Sebaliknya, yang tidak bisa banyak merasa tertekan karena merasa diharuskan melakukan tugas-tugas yang tidak dikuasainya. Belum lagi ia pun acap merasa minder karena mesti bergantung pada pasangannya dalam banyak hal. Tuntutan dan ketidakpuasan mulai dilontarkan; pertengkaran pun tak terhindarkan. Kebaikan diperlihatkan sewaktu kita, yang bisa banyak, mengerjakan apa yang tidak dapat dikerjakan pasangan, tanpa mengeluh. Kita tidak menuntut apalagi menyalahkannya; sebaliknya, kita berkata bahwa kita mengerti ia tidak bisa. Dan, bagi kita terpenting adalah masing-masing melakukan apa yang bisa dilakukan. Mungkin kita bisa menunjuk pada beberapa hal yang dapat dikerjakan pasangan dengan baik. Pujilah dan hargailah. Katakanlah bahwa buat kita, itu cukup. Nah, kebaikan seperti inilah yang akan memperkuat relasi. Pasangan makin menghargai kebaikan kita dan makin termotivasi melakukan apa yang bisa dilakukannya. Dan, makin sering dan tulus kita menghargai usahanya, makin bersemangat ia untuk belajar melakukan hal-hal yang kurang dikuasainya. Bukan karena terpaksa, tetapi karena berterimakasih kepada kita, yang telah baik kepadanya.
  3. Tidak siap. Adakalanya pasangan tidak mau melakukan sesuatu bukan karena ia tidak mau tetapi karena ia tidak siap. Misalkan, berkali-kali kita mendorong pasangan untuk memulai usaha sendiri. Ia tidak mau, dengan memberi pelbagai alasan. Atau, kita terus meminta pasangan untuk terlibat dalam pelayanan, tetapi ia tidak mau. Sering kali alasan sesungguhnya adalah karena tidak siap, dalam pengertian, tidak siap memikul tanggungjawab dan konsekuensi serta risiko yang terkait. Kebaikan diperlihatkan sewaktu kita menunjukkan pengertian akan ketidaksiapannya memikul tanggungjawab dan risiko. Akui bahwa konsekuensi dan risiko yang ditakutinya memang ada; setelah itu katakan bahwa kita percaya bahwa pada saatnya—sewaktu ia siap—ia pasti akan melakukannya. Katakan bahwa kita mengusulkan semua itu sebab kita melihat potensi yang ada pada dirinya dan bahwa kita pasti akan mendampinginya, serta siap membantunya. Inilah kebaikan yang akan mendorongnya untuk mencoba.
Amsal 22:9 berkata, "Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan si miskin."Seperti orang miskin yang tidak punya apa-apa, begitu pulalah orang yang tidak tahu, tidak bisa dan tidak siap. Kita yang tahu, bisa dan siap akan diberkati bila kita berbagi kebaikan dengannya.