Pengaruh Keluarga Asal

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T445B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Salah satu hal yang mesti disadari dalam membangun pernikahan adalah pengaruh keluarga-- di mana kita lahir dan dibesarkan--pada pernikahan kita sekarang. Sudah tentu pada prinsipnya makin sehat latar belakang kita, makin besar kemungkinan kita akan berelasi secara sehat pula dengan pasangan.Berikutakan diuraikan pengaruh keluarga asal pada relasi nikah kita sekarang dan apa yang seharusnya kita perbuat untuk mengurangi dampak negatifnya.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
Salah satu hal yang mesti disadari dalam membangun pernikahan adalah pengaruh keluarga-- di mana kita lahir dan dibesarkan--pada pernikahan kita sekarang. Sudah tentu pada prinsipnya makin sehat latar belakang kita, makin besar kemungkinan kita akan berelasi dengan pasangan secara sehat pula. Nah, berikut akan diuraikan pengaruh keluarga asal pada relasi nikah kita sekarang dan apa yang seharusnya kita perbuat untuk mengurangi dampak negatifnya.

Sesungguhnya ada dua pola relasi yang ikut mewarnai relasi pernikahan kita sekarang :

(1) RELASI PERNIKAHAN ORANG TUA KITA. Singkat kata bagaimanakah mereka memperlakukan satu sama lain berpengaruh pada cara kita memperlakukan pasangan kita sekarang. Sebagai contoh, Ibu adalah seorang yang dominan sedangkan Ayah seorang yang pasif. Jika kita adalah seorang yang dekat dengan Ayah, maka besar kemungkinan kita akan berperilaku kebalikan dari Ibu. Karena kita tidak suka dengan sikap Ibu yang dominan, kita pun bertekad untuk tidak bersikap seperti Ibu. Sebaliknya, bila kita kebetulan dekat dengan Ibu, maka kita cenderung mengadopsi sikap Ibu yang dominan dan akan bersikap dominan terhadap pasangan kita sekarang. Jika kita adalah seorang laki-laki, maka besar kemungkinan kita tidak akan suka dengan sikap Ibu yang dominan dan akan mengembangkan kepekaan yang tinggi terhadap sikap istri yang kita anggap dominan. Juga, ada kemungkinan karena figur ayah yang kita kenal adalah figur ayah yang pasif, kita pun akhirnya mengadopsi sikap pasif ayah. Jadi, dapat kita lihat bahwa pola relasi suami-istri dari Ayah dan Ibu akhirnya berdampak pada relasi pernikahan kita sekarang. Apabila mereka mempunyai relasi yang sehat dan masing-masing menjalankan peran suami-istri secara tepat, hal ini akan memudahkan kita mencontoh pola yang sehat itu dan menerapkannya pada relasi nikah kita sekarang. Sebaliknya, makin buruk pola relasi mereka, makin berat pekerjaan rumah yang tertinggal pada diri kita.

(2) POLA RELASI YANG AKAN MEMPENGARUHI RELASI KITA SEKARANG ADALAH POLA RELASI ORANG TUA-ANAK DI MANA KITA DIBESARKAN DULU. Dengan kata lain, reaksi kita sebagai anak terhadap perlakukan orang tua dulu akan turut mewarnai bagaimana kita berelasi dengan pasangan kita sekarang.

Sebagai contoh, apabila sebagai anak kita kerap menerima pelecehan, maka besar kemungkinan kita akan cepat bereaksi terhadap perlakuan pasangan yang kita anggap melecehkan. Atau, jika kita merasa orang tua terlalu membatasi ruang gerak kita dulu, maka ada kecenderungan kita pun akan mudah bereaksi terhadap sikap pasangan yang kita anggap terlalu membatasi. Tidak heran dalam pernikahan kadang kita mendengar cetusan, "Jangan perlakukan saya sebagai anakmu." Sesungguhnya cetusan ini merupakan reaksi ketidaksukaan kita terhadap perlakuan orang tua dulu. Jadi, makin banyak ketidaksukaan kita terhadap cara orang tua memperlakukan kita dulu, akan makin banyak reaksi yang kita keluarkan kepada pasangan kita sekarang--kecuali bila ia memperlakukan kita 100% kebalikan dari perlakuan orang tua dulu.

Sebaliknya bila kita mengalami perlakuan yang baik dari orang tua, besar kemungkinan kita pun akan mengharapkan perlakuan yang sama dari pasangan kita. Misalkan, jika orang tua tidak memaksakan kehendak dan kita diberikan kebebasan untuk mengutarakan pendapat, maka kita pun akan menuntut pasangan untuk tidak memaksakan kehendak dan memberi kebebasan.

Kesimpulannya adalah relasi pernikahan tidak lepas dari pengaruh keluarga asal. Relasi suami-istri dari orang tua dan relasi orang tua dan kita sebagai anak akan berpengaruh. Pertanyaannya adalah, apakah yang mesti kita perbuat bila kita dibesarkan dalam keluarga yang kurang sehat di mana relasi orang tua tidak sehat dan relasi kita dengan mereka juga tidak sehat ?

1. MENGAKUI BAHWA KITA LAHIR DAN BESAR DI DALAM KELUARGA YANG BERMASALAH SERTA TELAH MEWARISI CARA BERELASI YANG TIDAK SEHAT. Kita mesti mengakui bahwa kita membawa masalah yang berpotensi merusak relasi pernikahan kita. Pengakuan ini penting dilakukan sebab pengakuan ini menempatkan masalah pada posisi yang tepat. Jika kita tidak mengakui, bukankah yang biasanya terjadi adalah kita saling menyalahkan satu sama lain ?

2. BERTEKAD MENGUBAH CARA BERELASI YANG TIDAK SEHAT ITU. Kita tidak boleh membanggakan apa yang tidak sehat sebagai sesuatu baik. Dan, kita tidak boleh menyematkan siapakah diri kita pada cara yang tidak sehat itu. Singkat kata kita harus menjadikan perubahan ini sebagai proyek pribadi seumur hidup.

3. BERANI MEMINTA MAAF KEPADA PASANGAN. Dalam perjalanan menuju pemulihan kita akan melukai pasangan baik melalui perbuatan maupun perkataan. Jadi, mintalah maaf kepadanya. Kita tidak boleh menahan gengsi dan menunggu pasangan meminta maaf terlebih dahulu.

4. MEMINTA DAN MENERIMA PERTOLONGAN DARI PASANGAN. Kita dapat memintanya untuk mengajarkan cara yang sehat untuk menyampaikan sesuatu atau memohon bantuannya supaya kita tidak mudah meledak. Libatkanlah dia dalam proses pemulihan supaya ia pun tahu bagaimana bersikap dan bertindak. Amsal 24:6 mengingatkan, "Karena hanya dengan perencanaan engkau dapat berperang, dan kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak."