Pasangan yang Menyiksa

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T524A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Bila kita menikah dengan orang yang gemar menyiksa pasti menderita di tangannya. Hampir dapat dipastikan orang yang senang menyiksa sesamanya adalah orang yang sebenarnya tersiksa. Ia menyiksa karena didalam dirinya tertimbun banyak kemarahan terhadap kekerasan yang dialaminya pada masa kecil. Diharapkan ia menyesali perbuatannya dan menunjukkan pertobatan serta berubah, hal ini biasanya memerlukan waktu yang tidak singkat. Jangan lupa untuk berdoa bersama di pagi dan malam hari serta membaca firman Tuhan serta hafalkan sebuah ayat yang dapat menjadi pemandu hidup untuk hari itu.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kelima adalah pasangan yang menyiksa. Sebagai manusia berdosa, dalam kemarahan kita sanggup melakukan hal-hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, seperti memukul atau melukai orang. Namun pada dasarnya kita bukanlah orang yang seperti itu; kita tidak mau dan tidak suka melukai orang. Sebaliknya, kita justru ingin menyenangkan hati orang.

Topik bahasan kita bukanlah orang yang seperti itu melainkan orang yang senang menyiksa, terutama orang yang dekat dengannya. Orang ini mendapatkan kepuasan bila ia membuat orang sakit. Singkat kata, ia menyiksa karena ia menikmatinya. Memang tidak banyak orang yang seperti ini, tetapi ada. Bila kita menikah dengannya, kita pasti menderita di tangannya. Mungkin kita bertanya, apakah penyebabnya sehingga ia senang menyakiti orang? Hampir dapat dipastikan orang yang senang menyiksa sesamanya adalah orang yang sebenarnya tersiksa. Sewaktu kecil ia kerap mendengar dan menyaksikan teriakan sakit akibat perbuatan ayah atau ibunya terhadap satu satu sama lain. Alhasil, pertumbuhan jiwanya terganggu sebagai dampak dari kekerasan yang terjadi di keluarganya. Berawal dari ketakutan yang amat sangat, akhirnya ia mengembangkan reaksi kompensasi untuk mengatasi rasa takutnya. Ia pun menjadi sama seperti orangtua yang berperan sebagai pelaku kekerasan di dalam hidupnya. Mungkin saja orangtuanya bukanlah tipe penyiksa; sebenarnya orangtuanya menggunakan kekerasan sebagai pertahanan akhir—bukan awal—untuk menyelesaikan konflik. Namun, karena kekerasan terlalu sering terjadi, akhirnya si anak mengembangkan perisai untuk melindungi dirinya dari kekerasan yang disaksikannya. Perisai itu adalah ketumpulan nurani dan perasaan—begitu tumpulnya sampai-sampai ia sulit merasakan apa pun. Ibarat telinga yang tuli, untuk mendengar ia harus meningkatkan volume sekeras mungkin. Nah, untuk merasakan sesuatu, ia pun harus membuat orang mengeluarkan reaksi sekeras mungkin, seperti kesakitan dan ketakutan, lewat penyiksaan. Ia pun menyiksa karena di dalam dirinya tertimbun banyak kemarahan terhadap kekerasan yang dialaminya pada masa kecil. Jadi, penyiksaan merupakan ungkapan kemarahan yang seharusnya ditujukan kepada orangtua yang menyiksa itu. Tetapi, oleh karena ia tidak pernah membereskannya, maka kemarahan itu terus bersarang di hatinya. Dan, setiap kali ia marah—apalagi bila persoalannya memiliki kesamaan dengan masalah orangtuanya dulu—kemarahan akan keluar sebagai ledakan, yang disusul dengan penyiksaan. Tidak bisa tidak, bila kita hidup serumah dengannya, kekerasan akan mewarnai hidup kita pula. Posisi kita serba sulit. Jika kita melawan, kita akan menjadi korban yang lebih parah; sebaliknya, bila kita membiarkan, ia akan terus merajalela. Dan, anak-anak pun harus menjadi korban—dan tidak jarang—menjadi generasi penerus siklus penyiksaan itu.

Apakah yang mesti kita perbuat? Pada hakikinya respons kita bergantung pada pasangan yang menyiksa itu. Jika ia menyesali perbuatannya dan menunjukkan pertobatannya dengan cara berusaha sekeras mungkin untuk tidak mengulangi perbuatannya, ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Sebaliknya, jika ia tidak menyesali perbuatannya tetapi malah terus menyalahkan kita sebagai penyebab mengapa ia marah dan menggunakan kekerasan, maka tidak ada pengharapan bagi rumah tangga kita. Langkah terbaik dan terbijak adalah berpisah dengannya.

Kita berpisah bukan saja untuk melindungi diri sendiri, tetapi juga anak-anak. Bukan saja untuk melindungi anak-anak dari kekerasan orangtuanya, tetapi juga untuk melindungi anak-anak dari kemungkinan mereka menjadi seperti orangtuanya. Memang ini bukanlah keputusan yang mudah; ada banyak hal yang mesti kita pertimbangkan masak-masak. Ingat, perpisahan menyelesaikan satu masalah tetapi juga menciptakan masalah lain. Jadi, kita harus memperhatikan segala risiko yang mesti ditanggung.

Bila pasangan menyesal dan ingin berubah, kita tinggal dan tidak berpisah dengannya. Nah, yang perlu kita sadari adalah, mulai dari titik penyesalan sampai ke titik perubahan biasanya memerlukan waktu yang tidak singkat. Proses ini pun tidak mulus dan kadang, ditandai oleh penyiksaan. Itu sebab penting bagi kita untuk memperhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Sudah tentu kita mesti mengintrospeksi diri bila ada perbuatan atau perkataan kita yang menyakiti hatinya. Jika ada, mintalah maaf kepadanya. Dengan meminta maaf, kita pun memperlihatkan kepadanya sebuah gaya kehidupan yang baik dan berkenan kepada Tuhan. Mudah-mudahan ia mencontoh tauladan yang kita berikan.
  2. Mintalah ia untuk mendaftarkan situasi atau perbuatan dan perkataan kita yang dapat memicu reaksi kekerasannya. Daftar ini dapat menolong kita mengenali pemicu dan menghindar dari reaksi tak terkendalinya.
  3. Ajaklah pasangan untuk bekerja sama, yaitu manakala dorongan untuk menyiksa timbul, mohon beritahukan kita, supaya kita dapat menghindar darinya. Jika ia masih sanggup menguasai dirinya, mintalah agar ia berupaya untuk mengungkapkan kemarahannya dengan cara yang lain, misalkan dengan membicarakannya.
  4. Buatlah sebuah mekanisme penyelamatan untuk diterapkan sewaktu ia lepas kendali, misalkan dengan berteriak memanggil nama Yesus. Kita tahu bahwa ada kuasa di dalam nama Yesus, jadi, berteriaklah memanggil nama Yesus untuk menyadarkannya.
  5. Kita harus berdoa bersama di pagi hari dan di malam hari. Bacalah Firman Tuhan dan hafalkan sebuah ayat yang dapat menjadi pemandu hidupnya untuk hari itu.

Tuhan tidak meminta banyak; Ia hanya meminta kita untuk mau menjadi orang benar—dan orang benar adalah Mazmur 112:4 berkata, "Di dalam gelap terbit terang bagi orang benar; pengasih dan penyayang orang yang adil" . Jadi, untuk dapat keluar dari cengkeraman kekerasan, mulailah dengan bersikap adil. Terang pun akan terbit dari kegelapan.