Pasangan yang Berfungsi Secara Tidak Efektif

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T522B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Menghadapi pasangan yang hidup secara tidak efektif memaksa kita untuk hidup bijak dan berhati-hati. Secara finansial, kita harus selalu menyisihkan uang dan mengamankannya, bukan untuk diri sendiri tapi untuk masa depan anak-anak. Berkaitan dengan pergaulan, kita pun terpaksa membatasi ruang geraknya dalam lingkup pergaulan kita karena kita tidak mau ia merusakkan hubungan kita dengan teman atau sanak saudara kita.
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Kedua adalah pasangan yang berfungsi secara tidak efektif. Ada beberapa ciri yang termaktub di dalam kategori "tidak efektif." Pertama adalah TIDAK DAPAT MENGAMBIL KEPUTUSAN DENGAN BIJAK—terus melakukan kesalahan—terutama di dalam keputusan yang berkaitan dengan usaha atau pekerjaan. Akhirnya banyak uang terbuang, dan kadang, membangkrutkan usaha. Jika kita menikah dengan pasangan yang seperti ini, tidak bisa tidak, hidup kita akan jauh dari tenang. Kita tidak tahu kapan ia akan melakukan kesalahan lagi dan menderita karenanya. Oleh karena masalah ini telah terjadi berulang kali, maka kita pun mengambil langkah untuk mengamankan uang keluarga. Mungkin kita harus membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan keluarga atau membayar utangnya. Atau, mungkin kita harus terus menutupi kelemahannya di mata pegawai atau sanak keluarga dan teman-teman supaya ia tidak malu. Apa pun itu yang kita lakukan, pada akhirnya itu akan makin menyusutkan respek kita kepada pasangan. Begitu respek surut, maka kasih pun mulai pudar dan keintiman terganggu.

Masalahnya adalah sikap kita akan memancing reaksi dari pasangan. Mungkin ia marah karena merasa tidak dihormati dan tidak dilayani dengan baik. Mungkin karena emosi, kita pun pernah lepas kendali dan melontarkan perkataan yang merendahkannya. Mungkin kita menolak untuk berdekatan dengannya karena tidak nyaman. Apa pun itu, yang pasti adalah relasi pernikahan merenggang dan yang lebih serius lagi adalah, akhirnya kita tidak lagi peduli dengannya. Kita merasa letih terus mengawasinya, seperti mengawasi seorang anak kecil. Ada pasangan yang hanya marah-marah sewaktu kita mengeluarkan sikap seperti itu, tetapi ada pula yang mengamuk alias menggunakan kekerasan fisik guna memperoleh respek yang ia dambakan namun terhilang. Bila ini terjadi, maka relasi nikah akan terus terjun bebas tanpa hambatan. Kita makin tidak suka dengan pasangan karena makin tidak menghormatinya.

Selain dari kesalahan dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan dan uang, "tidak efektif" juga dapat berhubungan dengan PERGAULAN. Berkali-kali ia berteman dengan orang yang akhirnya memanfaatkannya. Kita tidak dapat mengerti mengapa ia terus berteman dengan orang seperti itu; meski sudah diingatkan, terus saja ia memulai dan memertahankan pertemanan dengan orang yang tidak bermotivasi murni. Pemanfaatan bisa berbentuk uang—meminjam uang—atau meminta bantuan lainnya. Kita kesal karena melihat bahwa pasangan diperlakukan seperti kuda tunggangan, tetapi ia tidak merasa demikian. Jika efek dari pemanfaatan hanya terbatas pada dirinya saja, mungkin kita masih sanggup menoleransinya. Masalahnya adalah, sering kali pemanfaatan itu berdampak pada keluarga. Selain uang, hal lainnya adalah waktu—begitu banyak waktu terbuang buat teman-teman yang memanfaatkannya. Dan, itu berarti waktu yang seharusnya diberikan kepada keluarga sekarang habis terpakai untuk meladeni teman-temannya itu. Tidak bisa tidak, bila ini terjadi berulang kali, kita akan sulit respek kepada pasangan. Kita pun tidak mau berkenalan, apalagi bergaul dengan teman-temannya dan ini akan makin memperlebar jurang di antara kita dan pasangan. Ia merasa kita tidak mendukungnya dan merendahkannya di hadapan teman-temannya. Alhasil, ia pun marah kepada kita. Untuk membalas, ia bisa melarang kita bergaul dengan teman-teman kita sendiri. Atau, ia berusaha merendahkan kita di hadapan teman-teman, sanak saudara, bahkan anak-anak. Upayanya merendahkan kita sebenarnya adalah upaya terselubungnya untuk membuktikan bahwa ia masih lebih baik daripada kita dan bahwa teman-temannya lebih baik daripada teman kita.

Terakhir, "tidak efektif" berkaitan dengan PERKATAANNYA—ada saja kata-kata yang keluar dari bibirnya yang membuat orang tersinggung atau terluka. Mungkin ia bermaksud baik, tetapi tetap hasil akhirnya bukan baik, malah buruk. Hal yang tidak perlu diucapkan, malah diucapkan. Canda guyonnya membuat orang tersinggung karena berlebihan dan tidak tepat. Akhirnya orang menjauh darinya, dan tidak menghormatinya. Kita pun enggan mengajaknya masuk ke dalam pergaulan kita karena kita takut ia akan melontarkan perkataan yang tidak semestinya. Atau, kalaupun ia mesti berada di situ, kita menjadi repot dan was-was; kita harus cepat mengoreksi perkataannya atau mencegahnya mengatakan sesuatu.

Sebagaimana telah saya utarakan, pada akhirnya hidup dengan pasangan yang tidak efektif membuat kita kehilangan respek dan kasih. Menikah dengannya membuat kita kehilangan banyak. Meski kita tidak menikah untuk memperoleh keuntungan, tetapi kalau terus menerus kita dirugikan dalam pelbagai aspek, akhirnya kita sulit untuk mengasihi apalagi respek kepadanya. Kita sulit mempercayai keputusannya dan cenderung meragukannya karena bukti kegagalan dan kesalahan sudah terlalu banyak.

Menghadapi pasangan yang hidup secara tidak efektif memaksa kita untuk hidup bijak dan berhati-hati. Secara finansial, kita harus selalu menyisihkan uang dan mengamankannya, bukan untuk diri sendiri tetapi untuk masa depan anak-anak. Berkaitan dengan pergaulan, kita pun terpaksa membatasi ruang geraknya di dalam lingkup pergaulan kita karena kita tidak mau ia merusakkan hubungan kita dengan teman atau sanak saudara kita. Kita terpaksa membatasi hampir semua aspek kehidupan, termasuk kerohanian. Maksud saya, janganlah sampai kita terlalu banyak mengeluarkan kata-kata yang rohani kepadanya sebab dalam keadaan marah karena merasa tidak dihargai, ia akan makin marah dan tidak suka dengan hal-hal yang bersifat rohani. Ia akan menganggap kita munafik dan berkedok rohani, sebab ia tidak dapat melihat dirinya sebagai penyebab. Jadi, sebaiknya batasi pula kata-kata yang berbau rohani supaya relasi tidak memburuk. Sebaliknya, tunjukkan kerohanian lewat perbuatan kita, agar ia, "tanpa perkataan dimenangkan oleh kelakuan" kita (1 Petrus 3:1)