Memacu Bukan Memacul Anak

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T540A
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 
Kalimat “Kamu harus begini, kamu harus begitu” kendati untuk kebaikan anak, namun tak jarang pula anak-anak akhirnya memiliki jiwa yang tertekan dan malah mengembangkan distorsi dalam berperilaku. Terutama dalam hal tuntutan akademik zaman sekarang yang sangat kompetitif. Apa yang harus orangtua lakukan agar tuntutan itu bisa sedapatnya terpenuhi dan di lain sisi tidak menekan jiwa anak?
Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan
 dpo. Pdt. Dr. Paul Gunadi

Salah satu istilah yang kerap kita dengar adalah "tuntutan zaman." Memang, ada banyak hal yang mesti dilakukan dan dipersiapkan untuk memenuhi tuntutan zaman. Barang siapa tidak bersedia untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman, seperti gerbong yang terlepas dari kereta, ia akan tertinggal. Salah satu tuntutan zaman adalah tuntutan akademik. Saudara, yang memunyai anak di usia sekolah, mungkin akan setuju dengan pengamatan saya bahwa sekolah di zaman sekarang jauh lebih berat ketimbang pada zaman kita dulu. Tugas menjadi begitu banyak sehingga tidak jarang anak harus lembur sampai pagi hari. Belum lagi, materi pengajaran yang makin hari makin tinggi. Dan, makin mendekati tingkatan SMA, makin berat tuntutannya sebab pada akhirnya nilai ujian akhir menentukan di mana berkuliah kelak. Sebagai orang tua, sering kali kita merasa terjepit. Di pihak yang satu, kita kasihan melihat anak menderita namun di pihak lain, kita pun mafhum dengan kenyataan hidup. Jika anak tidak bekerja keras sekarang, ia akan menuai kesulitan untuk masuk ke dunia karier yang telah menjadi begitu kompetitif. Jadi, walau hati tidak tega, terpaksa kita mengeraskan hati untuk memacu anak. Berikut akan dibahas beberapa masukan untuk orangtua supaya tidak sampai melakukan kesalahan sewaktu memacu anak yaitu bukan memacu, malah memacul anak.

  1. Kita mesti melihat kemampuan anak secara jelas dan menerima dirinya apa adanya. Sebetulnya sejak kecil kita mulai dapat melihat kemampuan dan minat anak. Misalkan, ada anak yang sejak kecil sudah menunjukkan minat terhadap musik. Begitu mendengar suara musik—baik itu alat musik atau pun nyanyian—ia akan mendengarkan, dan tidak jarang, berusaha mendekati sumber musik itu. Ada anak yang sejak kecil sudah memerlihatkan minat terhadap benda seperti mobill-mobilan atau robot. Dari semua mainan yang kita belikan, ia akan terus kembali ke mobil atau robot dan ia akan dapat bermain dengan benda kesayangannya selama berjam-jam, tanpa jenuh. Ada pula anak yang sejak kecil menunjukkan minat yang tinggi terhadap menggambar, duduk berjam-jam menghabiskan berpuluhan kertas untuk menggambar. Semua contoh ini mengingatkan kita bahwa sebenarnya sejak kecil anak sudah memerlihatkan minatnya. Tatkala anak bersekolah, anak akan mulai menunjukkan minatnya secara lebih spesifik. Akan ada mata pelajaran yang disukainya dan dikerjakannya dengan baik; ada pula mata pelajaran yang tidak disukainya dan hasilnya tidak begitu memuaskan. Sudah tentu sebagai orangtua kita mesti mendorong anak untuk menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Kita bisa berkata kepadanya bahwa kita mengerti, ia tidak menyukai pelajaran itu tetapi ia tetap harus menyelesaikannya dan memersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Hal yang dapat menjadi jendela untuk melihat kemampuan anak adalah seberapa cepatnya anak menangkap atau mengerti penjelasan yang diberikan. Pada kenyataannya kebanyakan anak tidak memunyai kemampuan yang sama pada semua bidang. Kebanyakan anak kuat dalam bidang tertentu, biasa-biasa saja dalam banyak bidang, dan lemah dalam bidang tertentu. Kunci untuk mengetahui semua ini adalah terlibat dalam hidup anak. Jika kita tidak terlibat dalam hidupnya, kita tidak akan bisa mengetahui semua itu. Jadi, penting kita turun tangan dalam membesarkan anak sejak kecil. Jangan sampai kita mendelegasikan semua urusan membesarkan anak kepada pengasuh dan guru les. Kita mesti terlibat supaya dapat mengenal anak apa adanya, dan terpenting, menerima dirinya apa adanya. Pada akhirnya kita mesti bersedia mengesampingkan keinginan pribadi dan mengedepankan kepentingan anak. Akhirnya relasi kita dengannya terganggu sebab ia akan berusaha menjauh dari kita atau malah melawan kita. Tidak bisa tidak, bila ini terjadi maka performa akademiknya secara umum akan merosot. Bukannya terpacu, anak malah terpacul.
  2. Mengisi hari-harinya dengan interaksi yang santai. Oleh karena sekolah menduduki tempat teratas dalam hal penggunaan waktu, akhirnya kegiatan sekolah menjadi kegiatan utama anak. Dari pagi sampai sore, anak menghabiskan waktunya di sekolah, dan dari sore sampai malam, anak menghabiskan waktunya mengerjakan tugas sekolah. Sekolah menjadi bagian terbesar dari aktivitas anak dan relasi kita dengan anak berubah menjadi seperti guru les dan murid. Anak memerlukan orangtua, bukan guru les. Jadi, janganlah sampai kita lengah dan akhirnya mengubah peran kita dari orangtua menjadi guru les atau guru pengawas. Kita mesti mengisi waktunya dengan banyak interaksi yang santai dan melibatkan pelbagai topik, tidak hanya sekolah. Bermainlah dengannya, berguraulah, menyanyilah dengannya, pergilah dengannya, tertawalah bersamanya. Sewaktu tengah bermain atau bersantai dengannya, janganlah kita menanyakan soal-soal ujian. Jika kita sering melakukannya, anak akan menjauh dan menolak untuk bersantai dengan kita, sebab ia sudah mengantisipasi bahwa di tengah suasana santai, kita akan menanyainya soal ulangan. Jadi, sebaiknya sewaktu bersantai, bersantailah. Kedekatan dan hubungan yang baik dengan anak dibangun di atas semua ini. Makin banyak waktu santai dihabiskan bersama, makin dekat anak dengan kita dan makin positif ia memandang relasinya dengan kita. Dan, makin ia mendengar dan menerima usaha kita untuk memacunya. Kedekatan dan hubungan yang baik dengan anak akan menjadi modal besar tatkala ia masuk ke masa remaja yang sarat pergolakan. Sebaliknya, tanpa kedekatan dan hubungan yang baik, anak sanggup melakukan perbuatan yang sangat buruk.
  3. Kita mesti membedakan antara memberi yang terbaik dan menjadi yang terbaik. Tidak seharusnya kita menuntut anak menjadi yang terbaik di kelasnya. Menjadi yang terbaik bukanlah sasaran kita dan tidak seyogianya menjadi sasaran hidupnya pula. Memberi yang terbaik seharusnya menjadi sasaran kita bersama. Singkat kata, tolok ukurnya bukanlah orang lain, melainkan diri sendiri. Ia bisa menjadi yang terbaik di kelasnya tetapi tidak mesti ia telah memberi yang terbaik. Sebaliknya, mungkin saja ia menempati urutan terbelakang, tetapi ia telah memberi yang terbaik. Sudah tentu kita hanya dapat mengetahui dengan pasti bahwa ia telah memberi yang terbaik bila kita melihatnya belajar atau mengeluarkan usaha. Ingat, sama seperti kita, anak pun adalah orang berdosa. Jika anak tahu bahwa kita hanya menuntutnya memberi yang terbaik, ia dapat menggunakan alasan itu untuk mengelak dari tanggungjawab. Sebenarnya ia tidak memberi yang terbaik, tetapi ia berkata, ia telah memberi yang terbaik. Jika kita tahu dengan jelas minat dan kemampuannya, maka kita pun akan tahu kebenaran perkataannya itu.

Di dalam Injil Markus 12:41-44 terdapat kisah Yesus, Tuhan Kita, berkomentar tatkala melihat seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam kotak persembahan. Sebagaimana kita ketahui, satu peser adalah hitungan mata uang terkecil. Yesus berkata, "Aku berkata kepadamu sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak dari pada semua orang yang memasukkan uang kedalam peti persembahan." Perkataan itu keluar dari mulut YesusTuhan Kita, setelah Ia melihat orang kaya memasukkan uang dalam jumlah yang besar. Ada satu pelajaran yang dapat kita petik dari kisah ini yaitu, Tuhan mengukur nilai persembahan bukan dari besaran jumlahnya melainkan dari besaran pengorbanan atau usahanya. Jumlah pemberian orang kaya jauh melampaui jumlah yang diberikan si janda miskin, tetapi jumlah yang besar itu tidak keluar dari pengorbanan yang besar. Sedang, jumlah yang kecil itu berasal dari usaha atau pengorbanan yang besar dari si janda miskin itu, seperti kata Yesus Tuhan Kita, "Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya—semua yang ada padanya yaitu seluruh nafkahnya."

Inilah yang mesti kita terus tanamkan pada diri anak. Tuhan tidak mengukur dirinya berdasarkan nilai yang dihasilkannya tetapi berdasarkan usaha yang dikeluarkannya. Karena itulah kriteria Tuhan, seyogianyalah itu menjadi kriteria kita pula. Jika kita lebih menekankan untuk menjadi yang terbaik di kelasnya, maka dasar prestasinya adalah kelasnya alias orang lain. Selama ia merasa tertantang dan selama ada orang yang mesti dikalahkannya, ia akan berprestasi .Nah, ini yang mesti dihindarkan sebab ini menandakan jiwa yang terpacul.