Kewajiban dan Kemarahan dalam Pernikahan

Versi printer-friendly
Kode Kaset: 
T018B
Nara Sumber: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Abstrak: 

Setiap pasangan suami istri harus mengkondisikan tanggung jawab masing-masing. Harus sampai pada suatu kesepakatan apa itu yang menjadi tanggung jawab istri dan suami. Kewajiban itu seharusnya dilihat secara fleksibel. Dan tuntutan-tuntutan yang tidak terpenuhi cenderung menimbulkan kemarahan.

Audio
MP3: 
Play Audio: 
Ringkasan

Masing-masing pasangan suami-istri oleh Tuhan sudah diberikan tanggung jawab atau kewajiban untuk menjalankan perannya atau fungsinya masing-masing. Namun seringkali terjadi perbedaan pandangan di dalam pelaksanaan peran itu sehingga banyak terjadi konflik.

Ada aspek yang melatarbelakanginya:

  1. Adanya anggapan bahwa kalau kita sudah menjalankan kewajiban kita maka rumah tangga kita akan beres, dengan asumsi atau harapan pasangan kita juga akan melakukan bagiannya. Tapi masalahnya adalah hal itu tidak selalu terjadi, sebab memang pada akhirnya tergantung pada komitmen masing-masing pada pernikahan itu, tatkala seorang suami tidak lagi mempunyai komitmen atau dedikasi atau perhatian terhadap pernikahannya dia tidak akan lagi menjalankan kewajibannya.

Ada hal yang perlu kita lakukan untuk dapat menciptakan suasana yang baik antara suami dan istri yaitu:

  1. Sebelum menikah memang kedua belah pihak mulai harus mengungkapkan harapan dan tuntutannya. Saran Norman Wright seorang pakar konseling pernikahan, kepada sepasang kekasih yang merencanakan untuk menikah dalam konseling pranikah, dia meminta kedua orang itu untuk mendaftarkan 50 hal yang dia tuntut dari pasangannya. Misalnya siapa yang akan membawa piring ke meja, waktu engkau mau minum kopi siapa yang akan membuat kopi dsb. Jadi Norman Wright mau membuat pernikahan itu menjadi sangat realistik sekali dan itulah yang disajikannya kepada 2 orang yang akan melangsungkan pernikahan, agar mereka menyadari hal itu.

Ada yang beranggapan bahwa kemarahan merupakan sesuatu yang tidak boleh ada dalam keluarga dan menganggap kemarahan itu seperti bom yang bisa menghancurkan rumah tangga. Kenyataannya justru tidak, jadi kemarahan yang sepantasnya ya diekspresikan dan dibagikan, justru ini suatu channel suatu/penyaluran yang sangat baik. Karena pasangan kita akhirnya mengerti bahwa ada hal-hal yang mengganggu kita dan karena mengganggunya terlalu berat maka diekspresikan dengan kemarahan. Jadi kemarahan tidaklah harus kita takuti tapi di pihak lain tidak dianjurkan agar kita ini seenaknya saja memarahi pasangan kita.

Galatia 6:2, "Bertolong-tolonganlah kamu menanggung bebanmu, demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus. Ayat 4, Dan baiklah tiap-tiap orang menguji pekerjaannya sendiri, maka dia boleh bermegah melihat keadaannya sendiri dan bukan melihat keadaan orang lain." Pelajaran Firman Tuhan yang bisa kita ambil adalah kalau kita mau menikah berarti kita harus siap memikul beban atau problem pasangan kita, jadi di satu pihak kita mesti siap untuk memikul bebannya, problemnya yang memang jelas-jelas bukan problem kita tapi problem dia.

Tapi begitu dia menikah dengan kita problemnya menjadi problem kita pula. Namun di pihak lain lagi adalah tiap orang juga harus menguji pekerjaannya sendiri, dalam pengertian kita mesti bisa juga mengintrospeksi siapa kita dan apa yang telah kita lakukan. Berbahagialah pasangan yang bersedia memikul beban yang satunya dan juga bersedia melihat dirinya dan tidak hanya melihat diri orang lain.