Tragedi

Versi printer-friendly
Penulis: 
Pdt. Dr. Paul Gunadi
Sumber: 
Parakaleo
Abstrak: 
Kematian adalah tragedi yang tidak pernah dapat dipersiapkan dengan sempurna. Di dalam kekurangsiapan itu dorongan untuk menghukum diri menjadi besar. Untuk menangkalnya, diperlukan dua sikap hidup. Pertama, perkecil ruang penyesalandan Kedua, jika penyesalan tetap ada dan waktu sudah berlalu, berubahlah!
Isi: 

Beberapa minggu terakhir ini saya telah menghadiri tiga upacara kematian. Memandang jenazah yang terbujur kaku tanpa ekspresi menghadirkan pelbagai reaksi dan perasaan dalam hati saya. Kematian baik yang diharapkan atau tidak—mengusik sesuatu dalam sanubari kita yang tidak mudah untuk dijabarkan. Pada umumnya kita berupaya mencerna peristiwa ini dengan mengatakan bahwa kematian adalah bagian dari kehidupan di dunia yang sepatutnyalah diterima tanpa keterkejutan. Namun, seringkali kenyataannya tidaklah demikian. Kematian tetap melahirkan reaksi-reaksi yang bermuara pada keterkejutan atau ketidaksiapan kita. Bagi sebagian kita, kematian adalah tragedi dan kita tidak pernah akan dan mau memasukkan tragedi sebagai bagian yang ramah dalam kehidupan kita.

Di dalam bukunya, The Strong Family, Pendeta Charles Swindoll menulis bahwa yang biasanya muncul setelah tragedi adalah rasa bersalah yang tidak rasional. Saya pun membagi pengamatan yang sama. Rasa bersalah mudah sekali mengemuka setelah tragedi, dalam hal ini kematian. Bak seorang pustakawan, kita pun dibuat sibuk mencari “buku-buku” yang tersusun di rak “buku” kehidupan kita. Biasanya tema “buku-buku” itu berkaitan dengan pertanyaan, “Apa yang seharusnya aku lakukan atau tidak lakukan?” Dengan kata lain, kita mulai mengais-ngais informasi sejarah tindakan kita dan berupaya menemukan data yang mengingatkan kita akan “kesalahan” yang telah kita perbuat.

Saya memperhatikan bahwa kesiapan kita menerima kematian seseorang bergantung pada keyakinan bahwa kita telah berbuat sebaik-baiknya kepada dirinya semasa hidupnya itu. Jadi, kita akan lebih siap menyambut tragedi kematian bila kita menyadari bahwa kita tidak “berutang” kebajikan kepadanya. Sebaliknya, makin banyak “utang” yang belum kita bayar, makin besar pula penyesalan kita sebab sekarang kita tidak lagi memiliki kesempatan untuk membayarnya.

Saya kira ada tempat dan waktunya untuk penyesalan. Hidup penuh dengan ketidaksesuaian:ada janji yang tidak ditepati, kepercayaan yang dikhianati, hati yang dikecewakan, jiwa yang dirusak, dan sederet goresan lainnya yang berpotensi membuahkan rasa penyesalan yang dalam tatkala berpapasan dengan kematian. Seharusnyalah demikian! Kematian dapat membangunkan kesadaran dalam diri kita bahwa kita bukan orang yang baik—setidak-tidaknya tidak berlaku cukup baik—kepada manusia yang sekarang terbujur kaku itu.

Namun, adakalanya kita melangkah terlalu jauh. Kita bukan sekadar mengais-ngais sejarah, kita malah menggali-gali “dokumen” kehidupan yang sudah terkubur dan tidak begitu penting, baik baginya ataupun kita pada waktu itu. Dengan kata lain, peristiwa itu sudah diselesaikan, diampuni, dilupakan atau bahkan terlupakan karena tidak begitu besar, dan relasi pun sudah dipulihkan, namun tetap kita bersikukuh bahwa itu semua belum cukup. Seakan-akan masih ada utang perbuatan yang seharusnya terpikir oleh kita untuk dikerjakan. Penyesalan seperti ini sudah menjadi tidak realistik dan tidak rasional. Sesungguhnya, pada titik ini penyesalan telah berejawantah menjadi penghukuman.

Ada perbedaan antara menyesal dan menghukum, antara penyesalan dan penghukuman. Firman Tuhan menegaskan, “Sebab dukacita menurut kehendak Allah (godly sorrow-NIV) menghasilkan pertobatan yang membawa keselamatan dan yang tidak akan disesalkan (leaves no regret), tetapi dukacita yang dari dunia ini menghasilkan kematian.” (2 Kor.7:10) Ternyata penyesalan yang memimpin kepada pertobatan tidak berorientasi ke belakang, melainkan ke depan, yakni perubahan. Sebaliknya, penghukuman berorientasi ke belakang, yaitu ke perbuatan yang telah kita lakukan.

Kematian adalah tragedi yang tidak pernah dapat dipersiapkan dengan sempurna. Di dalam kekurangsiapan itu dorongan untuk menghukum diri menjadi besar. Untuk menangkalnya, diperlukan dua sikap hidup. Pertama, perkecil ruang penyesalan yang berpotensi muncul pada kemudian hari kelak. Dengan kata lain, “Kasihilah sesama kita manusia”—sekarang! Kedua, jika penyesalan tetap ada dan waktu sudah berlalu, berubahlah! Biarlah penyesalan mendorong kita menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tidak jarang Tuhan menggunakan kematian untuk “menghidupkan” manusia baru dalam diri kita.